Jelang akhir bulan Desember 2015 kemarin, tuntas sudah pe-er membaca sebuah novel yang disebut sebagai novel pembangun jiwa by Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik; Ayat-Ayat Cinta 2. Tak menyangka bahwa setelah hampir sepuluh tahun, akhirnya muncul kisah lanjutan tentang Fahri Abdullah dan Aisha.
Saya membaca novel AAC 1 saat masih menunggu jodoh, 😊 sekitar awal tahun 2005. Berulang-ulang membacanya sampai nangis-nangis, akhirnya novel edisi pertama itu saya hadiahkan untuk saudara agar beliaunya juga mendapatkan hikmah dengan membacanya. Jadi terkenang juga tentang filmnya yang menjadi fenomenal saat itu. Salah satunya karena saat itu belum banyak film Indonesia yang mengambil lokasi syuting di luar negeri, juga tentang tema poligaminya itu lho... ehem. Bagi saya sendiri, film AAC membangkitkan sebuah kenangan akan seorang teman akhwat yang berpulang tepat dua pekan setelah pernikahannya 😠Saat itu, Maret 2008, film AAC yang masih tergolong baru diputar di serambi masjid tempat walimatul 'ursy beliau dilangsungkan. Ah, ukhti... Engkau hanya sebentar mengecap predikat sebagai pengantin, seperti Maria. Tapi, Insya Allah engkau sedang berbahagia kini dalam tidur panjangmu.
Kembali lagi ke AAC 2. Begitu tahu bahwa ada Pre Order, tetiba rasa ingin memiliki novel itu begitu menggebu, tak seperti biasanya. Mungkin ini yang namanya ngidam 😊 Biasanya saya cukup sabar menunggu untuk membeli buku pada saat digelar Malang Islamic Book Fair. Alhamdulillah, orderan datang tepat waktu, dapet tanda tangan Kang Abik plus ada bonus novel AAC 1. Yeaay... Memang saya punya e-book nya sih. Tapi sungguh, membaca via e-book sensasinya tak sama dengan memegang langsung kertas-kertas itu. AAC 1 disimpen dulu, biar dibaca mbak Afra jika sudah besar nanti. Now, fokus ke AAC 2 yang ... tebelnya, bo! Dan sebelumnya saya sengaja tidak mencari resensi novel tersebut. Cukup membaca testimoni singkat orang-orang yang tertera di sampul novelnya saja. Biarlah saya rasakan sendiri kejutan apa yang ada di dalamnya.
Begitu masuk bab pertama, jadi merasa surprise karena kali ini ternyata Fahri bermukim di Eropa. Kirain masih setia tinggal di Mesir. Dia yang sekarang bergelar Doktor di bidang Filologi*), menjadi dosen tidak tetap di salah satu universitas terbaik di dunia yang terletak di Skotlandia, University of Edinburgh. Terus terang, saya baru tahu tentang kampus ini, yang gedungnya dijadikan cover novel. Deskripsi awal tentang kecantikan ibu kota Skotlandia yang dijuluki Athens of The North ini begitu menggoda untuk melahap halaman demi halamannya. Lanjuuut... But wait, mana Aisha? Setelah membaca lebih jauh dan mendalami sikap Fahri yang galau, ternyata Aisha dikisahkan telah hilang tak tentu rimbanya saat melakukan perjalanan ke Gaza, Palestina. 😠Ah, Kang Abik bisa aja ya bikin alur cerita yang tak terduga.
Fahri kini tinggal bersama supirnya, seorang pria Turki paruh baya yang dipanggilnya Paman Hulusi. Hoca Fahri (baca: Tuan Guru) yang dulunya anak penjual tape ini sekarang dikisahkan juga sebagai seorang pengusaha sukses yang mempunyai butik, minimarket, dan restoran. Sebenarnya itu semua adalah bisnis Aisha yang terus dijalankan oleh Fahri sepeninggal istrinya. Tak dikisahkan konflik yang terjadi antara Fahri dengan para bawahan dan karyawannya. Tapi konflik dibangun dengan kehadiran tokoh-tokoh baru seperti Nyonya Janet dan dua anaknya, Keira dan Jason. Juga Brenda dan Nenek Catarina yang beragama Yahudi. Mereka semua adalah tetangga Fahri di perumahan Stoneyhill Grove. Juga kemunculan tokoh Sabina, perempuan berhijab yang buruk rupa dan menjadi peminta-minta.
Acara membaca saya agak tersendat karena si Abi ternyata juga tertarik. Dan tenggelamlah si Abi membaca novelnya, sampai agak cuek dengan anak istri, hehe. Iya sih, waktu beliau di rumah memang hanya Jumat malam sampai Ahad malam. Biarlah beliaunya ngebut dan saya membaca buku yang lain saja dulu. Kebetulan bulan kemarin saya memang membeli beberapa buku baru. Jurus speed reading si Abi akhirnya mengantarnya finish pas Ahad malam. Beliaunya mesam-mesem ba'da ngebut itu. Padahal sebelumnya serius banget. Saya mewanti-wanti agar tak mengkisahkan endingnya, ntar gak seru dong! So, saya lanjut deh agenda membacanya di tengah rasa mual yang melanda.
Saya dibuat terkagum-kagum dengan cara Fahri menyelesaikan konflik dalam kesehariannya yang berisi beragam karakter orang. Masih seperti yang dulu, akhlaqul karimahnya mantep! Sikapnya itu rasanya juga pasti dilakukan oleh muslimin yang tinggal di negara-negara barat sana sebagai kaum minoritas. Jika di AAC 1 dulu ada yang berpendapat bahwa sifat Fahri itu terlalu sempurna dan masih berpendapat yang sama untuk yang kali ini, rasanya yang berpendapat seperti itu perlu menengok realita.
Sekarang banyak sekali muslimin Indonesia yang bertebaran di Eropa atau Amerika, baik untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan. Kisah-kisah nyata mereka bertaburan di media cetak, elektronik atau pun media sosial. Mereka rata-rata akan berusaha menunjukkan jati dirinya sebagai muslim yang baik, sebagai bentuk syiar Islam kepada dunia. Paling gampang adalah merujuk kepada 99 Cahaya di Langit Eropa, misalnya. Jadi, jika di sini Fahri dinilai terlalu baik, oh come on! Belajar menjadi sepertinya, yuk! Walaupun ia hanya tokoh rekaan, tapi sebenarnya banyak kisah fiksi yang diangkat dari kenyataan.
Di novel ini banyak dikisahkan tentang acara makan-makan berikut nama-nama makanan khas Turki dan Skotlandia. Unik-unik. Pastinya sih, penyebutan jenis-jenis makanan tersebut memang untuk memberi penekanan setting tempatnya. Begini lho kuliner di Skotlandia itu. Ini lho kudapan yang khas Turki itu. Yups, karena Fahri masih dikelilingi oleh orang-orang Turki, keluarga dari pihak ibunya Aisha. Ada Ozan, sepupu Aisha yang dipercaya mengelola AFO Boutique yang sukses pesat. Nah, si Ozan ini mempunyai adik perempuan cantik yang bernama Hulya. Si cantik yang pandai bermain biola ini dijodoh-jodohin dengan Fahri yang telah lama menjomblo. Padahal ada tawaran juga dari Syeikh Utsman, guru Fahri di Mesir dulu, agar Fahri mau menikah dengan cucu cantiknya, Yasmin. Dari dulu koq Fahri jadi rebutan, hihi... Pilih yang mana dong? Yang jelas, Fahri masih belum juga move on dari Aisha. Duh, suami setia!
Bab demi bab yang nikmat pun terlalui. Hampir tak ada yang tak berkesan. Salah satunya adalah sesi debat ilmiah tentang amalek (sebutan dari Yahudi pro Zionisme untuk orang di luar mereka) yang bertempat di kampusnya sendiri. Debat yang mempertemukan Fahri dengan Baruch, tentara Yahudi tengil dan seorang Rabi Yahudi, juga dengan seorang Profesor ahli sejarah gereja. Debat berlangsung seru dan Fahri berhasil menunjukkan kesalahan fatal faham Zionisme yang sangat rasis itu, justru dengan merujuk kitab suci mereka yang sebagiannya masih menunjukkan ketetapan Allah terhadap Bani Israil.
Kalimat-kalimat Fahri yang mengalir penuh ilmu itu mengajarkan bahwa kita sebagai muslim memang harus lebih keras belajar daripada mereka. Masya Allah... Walau pun hal itu tak cukup membuat Profesor Charlotte, partner Fahri yang mengajar di universitas tersebut, untuk memeluk Islam. Profesor sepuh itu melihat bahwa realitanya "Al Islamu mahjuubun bil muslimin" alias Islam tertutup oleh umat Islam. Sungguh ini bukan hanya fiktif tapi betul-betul menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua agar wajah Islam tergambarkan lewat tingkah laku dan pemikiran kita dalam keseharian. Persis seperti yang pernah disampaikan oleh Syaikh Muhammad Abduh, ulama terkenal dari Mesir itu.
Kalimat-kalimat Fahri yang mengalir penuh ilmu itu mengajarkan bahwa kita sebagai muslim memang harus lebih keras belajar daripada mereka. Masya Allah... Walau pun hal itu tak cukup membuat Profesor Charlotte, partner Fahri yang mengajar di universitas tersebut, untuk memeluk Islam. Profesor sepuh itu melihat bahwa realitanya "Al Islamu mahjuubun bil muslimin" alias Islam tertutup oleh umat Islam. Sungguh ini bukan hanya fiktif tapi betul-betul menjadi pekerjaan rumah besar bagi kita semua agar wajah Islam tergambarkan lewat tingkah laku dan pemikiran kita dalam keseharian. Persis seperti yang pernah disampaikan oleh Syaikh Muhammad Abduh, ulama terkenal dari Mesir itu.
Perjuangan belum berakhir. Fahri yang tampil mengesankan pada debat itu diberi kesempatan untuk tampil mewakili institusinya di ajang debat yang lebih menantang: Oxford Union, the world’s most prestigious debating society. Dan posisi Fahri di sini mirip kondisi nyata Mehdi Hasan, seorang wartawan muslim Inggris yang tampil gemilang di Oxford Union dalam membela agamanya yang terkena fitnah pada Juli 2013 yang lalu. Fahri harus berhadapan dengan dua sosok yang punya pemikiran ekstrim yang bertentangan, Profesor Mona Bravmann yang memandang semua agama sama dan Profesor Alex Horten yang ingin meniadakan semua ajaran agama. Berhasilkah Fahri tampil gemilang dan mematahkan argumen lawan-lawan debatnya?
Finally, karena novelnya disebut sebagai novel pembangun jiwa, pastinya happy ending lah ya kisahnya. Karena secara fitrah, manusia menyukai kegembiraan dan berusaha menolak kesedihan. Lalu, dimanakah letak happy endingnya? Baca sendiri ya 😊
Tentang happy ending, saya mah seneng-seneng aja kalo tokohnya lives happily everafter. Lagian, jika setelah membaca trus saya jadi sedih, kacian dedek yang di dalam sini *elus-elus perut. Janin yang dirindukan ini adalah calon anak yang kedua, sama seperti Ayat-ayat Cinta yang barusan saya kulik sedikit isinya.
~Khalas~
Pakisaji, 5 Januari 2016
Coretan pertama di tahun ini
Coretan pertama di tahun ini
Tatiek Ummu Hamasah Afra
==========================================
*Filologi adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik.
*Filologi adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik.