Jalan-jalan di hampir tiap ahad pagi, saat mentari mulai malu-malu menampakkan diri, menjadi salah satu rutinitas di keluarga kecil kami. Setidaknya ada tiga rezeki yang kami dapatkan: udara segar, sinar UVB sebagai perangsang munculnya vitamin D, dan yang tak kalah penting adalah Family Time.
Menjalaninya tidak harus ke arena Car Free Day di Malang kota. Walaupun beberapa pagi pernah kami lalui bersama di kawasan bebas kendaraan itu. Rute rutin kami hanya ke kampung-kampung sebelah. Persis seperti titah Tere Liye: “Berpetualanglah melihat dunia, meski hanya ke kampung sebelah.” Sebuah pesan bijak dan… hemat. Yups, meski hanya ke kampung sebelah tapi banyak pelajaran yang bisa kami dapatkan dan yang bisa anak kami amati.
Jalan-jalan pagi murmer ala keluarga saya 😊 |
Di kampung paling dekat masih ada hamparan persawahan. Walaupun luasnya jauh menyusut dibandingkan masa kecil saya dulu, berganti dengan deretan rumah yang mewujud perkampungan baru. Ah, akankah persawahan itu kelak lenyap sama sekali di masa dewasa anak-anak saya? Sunatullah, sih. Penduduk terus bertambah sementara lahan yang ada tetap.
Saya jadi teringat sebuah tradisi masyarakat yang mungkin bisa memberi sedikit pengaruh terhadap bertahannya lahan persawahan. Pernahkah Anda mendengar istilah mbangkoni? Mbangkoni berasal dari kata bangku, sedangkan artinya adalah menempati. Secara istilah maksudnya adalah menempati rumah orang tua, biasanya oleh salah satu anak sehingga tidak perlu membangun rumah dengan mencari lahan baru, khususnya dengan melahap lahan persawahan. Beberapa orang saudara dan kerabat saya sekarang nyaman menempati rumah orang tua masing-masing. Beberapa tetangga saya pun melakukan hal yang sama. Tapi sekali lagi, hanya sedikit efeknya. Karena kenyataannya lahan pertanian di wilayah saya tetap saja menyusut dan berkurang.
Ibaratnya, jika yang melaksanakan tradisi mbangkoni berjumlah sepuluh orang, maka yang membeli dan membangun rumah baru ada seratus orang. Seratus orang itu adalah gambaran ketika urbanisasi begitu menggoda. Anak-anak yang tumbuh dewasa itu sedang bersemangat menaklukkan dunia, begitu tertantang dengan rupawannya kota. Puncak persaingan ada di sana dan butuh tempat rehat terdekat. Maka memadati perumahan-perumahan baru pun jadi pilihan realistisnya. Perumahan yang dulunya adalah lahan-lahan persawahan luas nan menghijau.
Yang saya sebut di atas adalah realita kondisi di kota atau pinggiran kota, khususnya kota-kota yang memiliki kawasan industri. Lalu mengapa di desa yang bukan kawasan industri pun lahan persawahannya juga semakin sedikit? Saya melihat sekeliling, pun melihat kondisi keluarga sendiri. Berapa orang kah dari mereka yang berminat menjadi petani? Hanya ada satu orang tetangga saya yang menjadi petani sambil berdagang juga. Di keluarga besar saya dari pihak ibu, paman dan bibi yang sudah mulai sepuh memang bertani. Tapi tidak ada satu pun anak-anak mereka yang turun ke sawah. Bahkan tradisi bertani dari kakek nenek terputus lebih dulu di keluarga saya karena almarhum ayah adalah seorang PNS dan ibu saya memilih untuk mengurus rumah tangga. Mirip dengan pilihan saya dan suami sekarang. Jika minat bertani rendah, bukankah tidak mengherankan jika sawah-sawah segera berubah menjadi deretan rumah-rumah?
Suatu saat kami berkunjung ke rumah salah seorang teman suami, seorang lulusan IPB yang mengimplementasikan ilmunya di sawah dan menjadi ketua kelompok tani di desa yang agak jauh letaknya. Kami belum melihat hamparan sawah miliknya, tapi sangat terkesan menyaksikan tanaman beliau di depan rumah yang ditanam di dalam polibag tumbuh subur dan bagus. Beliau memakai pupuk organik hasil olahan beliau sendiri, katanya. Pastinya menanam dengan ilmu akan berbeda hasilnya dengan yang asal tanam.
Orang seperti beliau di lingkungan kami tidak banyak: sarjana pertanian yang memilih berkubang lumpur sawah dan terpanggang terik matahari. Walaupun memang sarjana pertanian itu dunianya luas, sih. Tak hanya melulu soal sawah. Ada yang berperan di dalam pemerintahan sebagai pengambil kebijakan di bidang pertanian, petugas teknis, ataupun penyuluh pertanian. Juga yang akhirnya “menyimpang” sebagai pegawai bank, misalnya. Ini yang kerap juga kita dengar. Kondisi negara yang tidak ideal menjadikan mereka menempuh jalan tidak ideal pula. Sama seperti kita yang tidak bisa serta merta menyalahkan pilihan-pilihan mereka atas nama idealisme.
Waah, banyak hal yang berkelebat di dalam benak saya saat hamparan padi yang menghijau itu kami lewati. Apalagi saya memang paling suka warna hijau yang ternyata menjadi tren warna tahun 2017 ini. Saya pun bertutur kepada ananda akan pesan tren warna di atas. Mengutip Pantone Color Institute, sebuah lembaga konsultan desain khusus warna yang bermarkas di Amerika Serikat, bahwa warna hijau itu mewakili semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Warna hijau itu segar, penuh gairah dengan paduan bayang-bayang kuning, seperti pada hari-hari pertama musim semi, ketika dedaunan di alam mulai tumbuh, pulih, dan diperbarui.
Selalu suka hijaunya persawahan. Sumber: malangtimes.com |
Sungguh berharap agar generasi Z sepertinya kelak menjadi pahlawan lingkungan dan cinta penghijauan, sekecil apapun itu. Membayangkan di masa mereka dewasa, dimana lahan pertanian mungkin semakin tak terlihat. Penghijauan tetap bisa dilakukan di lahan-lahan sempit. Jika tidak bisa bertani, minimal berkebun seperti konsep Urban Farming yang menurut saya laksana oase di tengah gurun kota. Sejauh ini memang si kakak hanya membantu-bantu ayahnya yang memang hobi berkebun. Minatnya hanya sebatas berkebun, sepertinya tidak sampai tahap bertani yang lebih kompleks.
Tentu saja kami tidak akan memaksanya untuk seperti seorang putra sahabat saya yang bertekad menjadi petani sejak awal masuk SD. Saat karnaval, teman-teman sekelasnya berdandan ala tentara atau polisi, tapi si anak ini tetap pede berkostum petani. Saat teman-temannya memilih ekskul robotik, ia teguh memilih ekskul berkebun. Pada anak seperti dirinya, harapan tentang petani masa depan saya titipkan. Mungkin juga pada anak kedua saya yang kami beri nama Haritsah, artinya orang yang pandai bercocok tanam. Masih jauh, sih. Karena si adek baru berusia sepuluh bulan sekarang.
Kembali ke kisah perjalanan di Ahad pagi. Kadang kami berjalan sampai ke kampung yang hampir di batas utara desa. Masuk jauh ke ujung kampung, di sana ada sebuah perumahan yang dibangun di dekat sungai besar. Di sekelilingnya masih hijau, lahan-lahannya banyak ditanami tebu dan pohon sengon. Perumahan dengan konsep riverview atau riverside yang menawarkan kesejukan itu merambah ke desa kami juga. Setahu saya, perumahan seperti itu banyak diburu orang kota, dijadikan villa di akhir pekan. Nah, bukankah sebenarnya kita semua itu aslinya adalah pecinta alam dan pecinta kehijauan? Bergelut dengan berbagai macam warna kehidupan, tapi warna hijau yang akhirnya tetap dirindukan.
Sekitar dua jam kemudian, perjalanan santai kami pun berakhir di rumah. Rileks, segar, berkeringat. Di situ ada seorang wanita paruh baya yang kami sayangi sedang menunggu kedatangan anak cucunya, beliaulah ibunda saya. Ya, kami juga bagian dari pasukan mbangkoni itu, sementara waktu. Saat ini, rumah ini adalah dunia kami, juga surga kami.
***
Dari Abu Said ra, Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya dunia adalah manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi. Maka Allah akan melihat apa yang kalian perbuat. Maka takutlah kepada dunia, dan takutlah kepada wanita."
(HR Muslim)
"Sesungguhnya dunia adalah manis dan hijau, dan sesungguhnya Allah menjadikan kalian sebagai khalifah di bumi. Maka Allah akan melihat apa yang kalian perbuat. Maka takutlah kepada dunia, dan takutlah kepada wanita."
(HR Muslim)
🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀🌿🍀
“Dan selain dari dua surga itu ada dua surga lagi. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? Kedua surga itu (kelihatan) hijau tua warnanya. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?”
(QS. Ar Rahman: 62-65)
***
Pakisaji, 10 Juni 2017
Pertengahan Ramadhan 1438 H nan syahdu,
sekali lagi tentang sawah :-)
Tatiek Ummu Hamasah Afra