“Kejaaar!”
“Tangkaaap!”
Orang-orang itu lagi. Wajah-wajah mereka penuh amarah yang siap tumpah. Oh, apa yang harus kulakukan sekarang?
Kakiku ternyata bergerak lebih cepat. Keduanya kencang berlari, tidak mengacuhkan bisikan-bisikan di dalam dadaku yang menyuruhku berhenti. Huh, berhenti? Bisa-bisa aku habis nanti.
Sambil terus menjejak bumi bertubi-tubi, kepalaku dipenuhi beragam tanda tanya. Orang-orang itu, dari mana mereka tahu bahwa aku ada di sini?
Napasku betul-betul nyaris putus ketika akhirnya kutemukan sebuah tempat persembunyian. Untungnya aku tadi memilih berbelok ke kebun ini. Banyak semak belukar, badanku pasti cukup terlindungi jika aku meringkuk di situ.
Benar saja. Teriakan-teriakan itu tak terdengar lagi. Hufft ....
“Mardi!”
Aku terhenyak. Kuseka peluh yang mengaliri dahiku sambil mengedarkan pandangan. Suara siapa itu? Dari mana dia tahu nama keduaku? Nama itu tak biasanya jadi panggilanku. Orang tua, saudara, dan teman-temanku lebih sering memanggil nama depanku: Pavel.
Belum selesai rasa penasaranku, bahuku merasakan sebuah colekan. Aku spontan menoleh. Wajah di depanku itu .… penuh dengan luka lebam. Dia menyeringai. Rambutnya acak-acakan dan berbau anyir. Darah! Ya, itu aroma darah. Aku mengenal wajah itu.
Sreeet .... Sreeet ....
Pria itu merobek-robek sesuatu. Seringai mengerikan masih menghiasi wajahnya. Oh, tidak! Itu tiket kereta apiku! Seingatku, tiket itu terselip di bagian depan ranselku. Bagaimana mungkin dia bisa mengambilnya?
“Sekarang, kamu tidak akan bisa lari lagi!” gertaknya dengan mata menyala dan suara parau.
Aku merasakan bulu-bulu kuduk meremang. Sedetik kemudian, lelaki itu mengangkat dua tangannya ke atas. Aku kaget, kuku-kukunya runcing mirip cakar Serigala. Kucoba menggerakkan kakiku, berat sekali. Aku berteriak, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongan. Keringat dingin semakin membanjiri tubuhku. Apakah aku akan mati sekarang? Aku ....
Bruuuk ...!
Tubuhku terbanting. Aku terjatuh dari ranjang kamar indekosku. Mataku membuka, napasku masih memburu. Ah, sial! Mimpi buruk itu datang lagi. Untunglah aku sendirian di kamar ini, jadi tidak ada yang tahu kalau aku mungkin berteriak tadi.
Aku juga yakin bahwa kamar-kamar sebelah sedang sepi. Ini akhir pekan. Para pekerja rantau sepertiku biasanya sudah pulang sejak sore tadi.
Aku menggerakkan badanku pelan-pelan, duduk di tepi ranjang. Kuraba kaos oblongku. Basah oleh keringat. Aku mendesah pelan. Ini harus kuakhiri! Walaupun aku mencintai kota ini, keputusanku untuk pergi dari sini semakin bulat. Aku masih bisa mencari kerja di tempat lain. Yang penting, aku harus bisa menenangkan diri dahulu.
Ah, aku teringat sesuatu. Cepat kuraih ransel hitamku yang tergeletak di sudut ranjang. Kubuka resleting bagian depannya. Tiket itu masih di sana. Masih utuh. Kuambil perlahan.
Pavel Mardianto.
Namaku tertulis jelas di sana. Nama pemberian ayahku yang unik. Kata teman-temanku sambil bercanda: nggak matching.
Aku biasanya hanya membalas dengan gurauan juga: Biarin! Christian Sugiono juga namanya nggak matching, tapi tetap ganteng!
Mereka akhirnya tertawa-tawa sambil meninju lenganku.
Pavel, begitu orang-orang memanggilku. Kata ayah, itu diambil dari nama depan pemain bola asal Republik Ceko, Pavel Nedved. Aku lahir tahun 1998, saat pemain itu sedang ngetop di Liga Italia sana. Sedangkan Mardianto adalah karena aku lahir di bulan Maret dan ayahku bernama Anto.
Nama adalah doa. Nyatanya, sejak kecil aku memang tergila-gila dengan sepak bola. Sebuah kegilaan yang akhirnya membawaku pada peristiwa tragis itu. Kejadian berdarah yang terus menerus menghantuiku dalam mimpi buruk berkali-kali.
Vel, elu serius resign dari perusahaan?
Sebuah pesan baru masuk di whatsapp-ku.
Dari Cahyo, salah seorang teman kerja yang ditempatkan di department lain. Aku baru ingat, sepekan kemarin dia mengambil cuti dan aku lupa berpamitan padanya.
Ya serius, lah. Ada keperluan mendesak di kampung. Sori ya, Bro. Gue lupa gak pamitan ma elu. Maapin kalo gue ada salah, ya. Kapan-kapan gue mampir deh ke sini.
Aku mengetik cepat, sambil sesekali melirik jam di ujung kanan atas ponselku.
Sudah jam enam pagi. Sebentar lagi kereta yang akan kunaiki datang. Kereta yang akan membawaku pulang ke kampung halaman.
Selesai membalas pesan dari Cahyo, kumasukkan ponselku ke saku depan jaket. Aku harus bersiap-siap. Tampak beberapa orang berdiri mendekati pintu, bergerak ke arah kereta yang beberapa saat lalu sudah merapat di stasiun ini.
Aku bergabung dengan barisan mereka, pelan-pelan menuju ke arah kereta. Cukup ramai juga penumpangnya. Pintu kereta tinggal beberapa langkah lagi ketika beberapa orang di depanku justru berlari kecil ke arah kanan. Ada kerumunan di sana. Entah apa.
Rasa ingin tahu membuatku melangkah ke sana juga. Anggap saja iklan satu menit. Belum sempurna aku mendekati kerumunan itu, sudut mataku menangkap beberapa bayangan orang berseragam. Polisi!
“Aduh!” Terdengar sebuah erangan kecil.
“Oh, maaf …. maaf, Pak.” Aku spontan meminta maaf pada seorang bapak yang tubuhnya kutubruk barusan.
Bapak itu hanya mengangguk sambil berlalu. Dia rupanya ingin juga melihat kerumunan itu. Sementara itu, aku memilih cepat-cepat membalikkan badan. Terlalu cepat gerakan balik arah sehingga menubruk bapak tadi.
“Ada orang tertabrak kereta .…” suara-suara di sekitarku berdengung.
Seakan mereka memberitahu tentang apa yang terjadi di balik kerumunan itu. Tapi aku sekarang tidak mau tahu lagi. Lebih baik segera naik ke kereta ini.
Sambil mencari nomor kursi yang tertera di tiket keretaku, aku meraba dada. Aku menyadari sesuatu. Ya, ternyata jantungku berdegup lebih kencang. Terus berdegup kencang. Ia baru mereda setelah aku menemukan kursiku.
Sepanjang perjalanan, mati-matian aku berusaha terjaga. Sudah kusiapkan lima botol minuman kopi instan. Kurasa itu cukup untuk mengganjal mataku agar tetap terbuka. Kuajak mereka untuk menikmati pemandangan di luar sana.
Sawah-sawah menghijau itu lumayan mendamaikan hatiku. Kuhibur diri juga dengan mendengarkan musik melalui earphone yang sejak awal terpasang di telinga. Sengaja kupilih lagu-lagu yang agak keras agar otak tetap siaga. Aku tidak boleh tertidur di sini. Tidak mau bermimpi seperti kemarin lagi.
Dua orang di depanku, sepasang suami istri, tampak tertidur pulas. Nyaman sekali si istri bersandar di bahu suaminya. Ah, tiba-tiba aku jadi teringat pada Wina. Apa kabarnya sekarang, ya? Gadis itu terpaksa harus kulupakan sejenak. Aku tahu dia masih tidak peduli dan kini terasa ada yang berlubang di sini. Di hatiku.
Kubuka lagi pesan dari Cahyo yang paling akhir,
Iye, hati-hati di jalan ya, Vel. Salam buat bapak dan ibu. Oia, pedekate elu sama Wina gimana? Gak lanjut lagi, dong?
Belum kubalas lagi pesan itu. Nanti saja kalau aku sudah sampai di rumah. Kutarik napas dalam-dalam. Kota itu, tempat kerjaku, dan Wina adalah tiga hal yang sebenarnya adalah mimpi-mimpiku. Ketiganya adalah mimpi indah yang harus kulepaskan gara-gara sebuah mimpi berdarah.
“Enggak tidur, Dik?”
Laki-laki di sebelahku rupanya sudah bangun. Dia juga terlelap dengan nyenyaknya tadi. Lamunanku seketika buyar.
“Oh, nggak, Mas. Nggak ngantuk,” jawabku.
Laki-laki itu hanya tersenyum lalu menenggak air mineral yang barusan diraihnya. Mungkin dia menertawakan aku dalam hati. Biarlah. Aku memang tidak mengaca. Tapi aku yakin bahwa wajahku tampak kuyu. Aku kurang tidur semalam dan masih juga memaksa membuka mata sepanjang tiga belas jam perjalanan ini.
Sebuah pesan masuk lagi. Dari kakak sulungku, Mas Berto.
Sudah sampai mana?
Kali ini harus dijawab. Apalagi cuma kakak yang kuberi tahu tentang kepulanganku. Orang tuaku masih belum tahu tentang hal ini. Mas Berto yang akan menjemput di stasiun nanti. Kira-kira, jam sepuluh malam kereta akan tiba di sana.
Tiga jam lagi, Mas.
Aku menjawab singkat saja. Nanti jika sudah dekat stasiun tujuan, akan kuhubungi dia.
Aku bersiap lagi memasang earphone ke telinga ketika kulihat laki-laki di sebelahku sedang melakukan sesuatu. Dia sedang melakukan gerakan-gerakan yang aku tahu maksudnya. Ya, dia sedang salat, bahkan saat masih berada di dalam ular besi yang kami tumpangi ini.
Kualihkan pandangan ke jendela. Sudah gelap. Ini pasti sudah masuk Magrib. Ah, tiba-tiba saja aku seperti sedang diingatkan. Entah sudah berapa puluh Magrib yang kulewatkan.
Aku membuka mata. Rupanya, aku tertidur untuk beberapa saat. Sejenak aku mengingat-ingat. Oh, mimpi buruk itu tidak datang lagi kali ini. Mungkin karena aku merasa penat sekali setelah menempuh perjalanan selama enam belas jam lebih tadi.
Kuembuskan napasku dengan lega. Syukurlah.
👣👣👣
Sekarang aku berada di salah satu kamar di rumah Mas Berto. Begitu sampai di rumahnya, aku tidak tahan lagi untuk merebahkan diri. Mas Berto dan Mbak Nita, istrinya, tentu saja memaklumi kondisiku.
Dan sekarang, aku sudah terjaga. Mungkin karena suara-suara riuh di ruang tengah itu. Kuambil ponselku. Sudah jam tiga dini hari. Suara-suara riuh itu, aku hapal sekali. Mas Berto pasti sedang menonton siaran langsung Liga Champions, pertandingan sepak bola antara para juara liga sepak bola di Eropa.
Di Eropa sana tentu saja masih siang hari. Penonton di Indonesia yang harus menyesuaikan diri dengan bangun lebih awal pada dini hari.
Mas Berto juga menyukai sepak bola sepertiku. Ya, mungkin lagi-lagi karena ayahku memberinya nama Roberto. Itu adalah nama depan pemain legendaris Italia, Roberto Baggio. Lebih tepatnya, Mas Berto menyukai siaran sepak bola. Dia jarang menonton langsung di stadion sepertiku.
“Eh, kamu kok sudah bangun? Kalau masih ngantuk ya tidur saja lagi,” ujar Mas Berto ketika melihatku keluar dari kamar.
“Pengen nonton juga, Mas,” jawabku.
Padahal sebenarnya maksudku bukan itu. Entahlah. Aku enggan tidur lagi. Siapa tahu tidur lanjutanku nanti berujung mimpi itu lagi. Oh, tidak.
“Boleh. Tapi pertandingannya sudah hampir selesai, nih. Sebaiknya kamu salat tahajud dulu. Mumpung bangun jam segini,” lanjut Mas Berto sambil sesekali menoleh ke arah televisi.
Di layar kaca, Real Madrid sedang berlaga. Kulihat wajah Mas Berto tampak berseri, rupanya tim idolanya itu sedang unggul atas lawannya. Mas Berto masih mengenakan peci dan sarung. Pasti dia sudah melakukan salat tahajud tadi. Setahuku, dia memang rajin melakukan salat sunah itu.
Kakakku ini memang dikenal sebagai sosok yang baik dan salih. Aku? Salat tahajud? Rasanya aneh. Lima waktu saja masih sering kuabaikan. Tapi mungkin sekarang aku harus .…
“Mas, nanti selesai salat, aku mau ngomong, ya?”
“Boleh, Vel. Aku kan penasaran kenapa tiba-tiba kamu memutuskan pulang. Padahal di kota itu kamu bisa setiap saat menonton pertandingan klub sepakbola idolamu,” sahut Mas Berto.
Aku mendesah pelan. Ini memang harus segera kuceritakan.
👣👣👣
Kudapati ada mendung di raut wajah Mas Berto setelah mendengar ceritaku. Aku sendiri tidak tahu berwarna apa mukaku sekarang.
“Setahuku, kamu bukan tipe suporter beringas seperti itu, Dik. Kenapa bisa jadi begini?” lirih Mas Berto membuka mulutnya beberapa detik kemudian.
Aku memilih diam. Kurasakan mataku basah. Ini memang bukan aku. Aku jarang menangis. Dan yang dikatakan Mas Berto pun benar; walaupun aku pendukung fanatik, tapi aku bukan suporter bola yang menyukai kekerasan.
“Aku benar-benar menyesal, Mas. Niat awalku cuma membantu teman-temanku yang diserbu suporter lawan,” jawabku kemudian.
Hening beberapa saat. Mas Berto kini menyandarkan punggungnya ke sofa. Matanya lurus menatapku. Mulutku terkatup rapat, kikuk.
“Setahuku, sekarang polisi sedang memburu suporter kedua tim yang terlibat tawuran itu. Terutama yang terekam kamera sedang melakukan pengeroyokan terhadap dua korban,” jelasnya kemudian.
Ya, berita tawuran antar suporter itu pasti sudah tersebar luas. Tawuran mengerikan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Tragedi yang menewaskan dua nyawa, dari pihak kami dan pihak mereka.
Mas Berto pasti juga mengikuti perkembangan beritanya. Dia mungkin tidak menyangka bahwa aku juga terlibat di dalamnya. Seingatku, wajahku memang tidak tampak pada video-video yang beredar secara viral di masyarakat. Teman-teman dekatku saja tidak tahu. Tapi aku bisa mengingat jelas peristiwa berdarah itu. Aku memukuli si korban beberapa kali.
“Suporter lawan yang mati terbunuh itu terus hadir dalam mimpiku, Mas.” Aku memilih menundukkan kepalaku kini.
Kudengar helaan napas panjang Mas Berto,
“Itu karena hati nuranimu tidak bisa berbohong. Kamu telah melakukan kesalahan.”
Kini Mas Berto duduk di sebelahku. Kurasakan tangannya merengkuh pundakku,
“Sebaiknya kamu menyerahkan diri, Dik.”
Kata-kata Mas Berto bak petir menyambar telinga. Aku menatap matanya kini. Antara ingin menolak dan membenarkan ucapannya. Tapi tak ada sepatah kata pun yang keluar dari dalam mulutku.
“Mas akan mendampingimu berbicara pada ayah dan ibu,” lanjutnya penuh ketenangan.
Aku masih belum bisa menjawab. Inikah akhir cerita pelarianku? Atau seharusnya aku tidak berterus terang tadi? Aku masih dua puluh tahun dan harus jadi narapidana?
Aku tidak bisa membayangkan kesedihan orang tuaku. Aku, anak bungsunya ini sudah berjanji akan serius bekerja di kota itu. Aku dibiarkan menggilai bola, tapi pasti tidak diizinkan berlaku anarkis.
Belum selesai aku berpikir, ponselku yang tergeletak di meja bergetar. Sebuah pesan baru masuk.
Pavel, kamu kemana saja? Kucari di kosan kok tidak ada. Aku sekarang mau menerima tawaranmu untuk jalan bareng.
Dari Wina. Aku hanya bisa meremas rambutku.
- Selesai -
Cerita pendek ini dimuat dalam buku Kumpulan Cerpen "Kebaikan Cinta" yaitu kumpulan cerpen pemenang lomba menulis fiksi Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) & Najmubooks Publishing 2018
Sumber gambar: pixabay
Sumber gambar: pixabay