Anakku Anak Negeri

Sebetulnya sudah lama saya ingin menulis tentang ini. Sebuah tema yang sepertinya menjadi bahan perdebatan di antara tema-tema yang lain, seperti: ibu rumah tangga vs ibu bekerja, ibu melahirkan normal vs ibu melahirkan sesar, ASI vs sufor, dll... Maka tentang pilihan memasukkan anak ke SD menjadi keriuhan berikutnya yang tak kalah seru diperbincangkan. Terakhir, sebuah status di fb seorang ibu yang memasukkan anaknya di sebuah sekolah dasar full day di-likes oleh lebih dari tujuh belas ribu facebookers dan dengan komentar yang tidak kalah serunya. Warbyasak! (baca: luar biasa, ini kata gaul ala anak-anak muda sekarang, hehe).

Nah, bagaimana dengan anak saya sendiri? Anak saya, si Afra, bersekolah di sekolah dasar negeri, saudara-saudara! Jika status si ibu itu berupa dialog-dialog dengan orang yang mempertanyakan mengapa anak si ibu koq di full day-kan, dll, dsb, maka ada juga yang bertanya mengapa koq saya memasukkan anak saya ke sekolah dasar negeri? Di tengah sorotan kepada sekolah dasar negeri yang dianggap tidak memberikan kualitas pendidikan yang baik kepada muridnya, pilihan saya rupanya jadi sebuah tanda tanya besar bagi sebagian orang. Baiklah, mari dengarkan saya bertutur 😁


IMG_20151110_062240


1. Kondisi anak

Pilihan saya memasukkan si Afra ke sekolah dasar negeri adalah dengan mempertimbangkan kondisinya  sebelumnya. Sejak TK, Afra terbiasa tidur siang. Jika beberapa hari tidak tidur siang, bisa dipastikan kondisinya drop. Jadi menurut saya, pilihan memasukkannya ke sekolah full day tentu saja tidak tepat. Ditambah dia sendiri pernah bilang: "Afra tidak mau sekolah yang sampe sore, Mi. Capek." Karena ia  melihat anak tetangga yang pulang sekolahnya selalu sore dan terlihat capek sekali sehingga jarang berkumpul dengan anak-anak lain di lingkungan sini.

Sedikit contoh tentang mempertimbangkan kondisi anak. Ada seorang teman saya yang semula anaknya bersekolah secara full day di sebuah sd yang jaraknya agak jauh dari tempat tinggalnya. Suatu hari ia memutuskan memindahkan anaknya ke sd negeri dekat rumahnya. Rupanya anak tersebut kecapekan dan menderita sakit selama sebulan sehingga keputusan itu harus diambilnya. Teman saya itu adalah seorang kepala sekolah sebuah TKIT.

Suami saya pernah menjadi instruktur robotika dan bercerita bahwa sebagian besar muridnya adalah anak-anak SD favorit full day di kota yang sepulang sekolah langsung mengikuti les robotika di tempat suami saya bekerja tersebut. Menurut beliau, hampir semua anak terlihat kelelahan sehingga kurang bisa mengikuti jalannya les dengan maksimal, padahal biaya lesnya tergolong mahal. Contoh yang ini memang bukan tentang pilihan sekolah, tapi masih berkaitan dengan kurangnya pertimbangan orang tua terhadap kondisi anak mereka sebelum memberi mereka kesibukan tambahan. Demi apa? Saya tidak tahu dan enggan menduga-duga.

2. Jarak sekolah

Rumah saya berada di wilayah yang bukan kota tapi juga bukan desa yang terpelosok. Sekolah dasar yang ada memang sekolah-sekolah negeri yang jaraknya sekitar 500-an meter dari rumah, sebut saja SD Negeri A dan SD Negeri B. Nah, Afra bersekolah di SD Negeri B yang letaknya sejalur dengan rumah sehingga tidak perlu menyeberang jalan raya. Setiap hari ia berangkat bersama teman-temannya dengan berjalan kaki, kadang juga saya antar.

Sebelum Afra menyatakan pendapatnya tentang pilihan sekolahnya, saya dulu pernah berangan-angan untuk memasukkan si Afra ke sebuah SDIT full day yang terkenal di kota. Jaraknya dari rumah? jangan ditanya. Ada lagi sekolah sejenis yang baru berdiri yang lumayan dekat jaraknya, sekitar 7 kilometer. Saya sendiri akhirnya berbicara kepada kepala sekolahnya -yang kebetulan adalah teman saya sendiri- dan meminta maaf karena penawarannya tidak bisa saya penuhi. Apa jawab beliau? "Tidak apa-apa, mbak. Wong saya sendiri sebenarnya ingin meng-homeschooling-kan anak saya."

Seorang teman saya yang lain berkata: "Kalau masih kecil begitu, gak papa mbak disekolahkan deket dengan rumah. Kasihan kalau kejauhan." Teman saya kali ini adalah seorang guru SMKIT. 😊

3. Kondisi lingkungan

Saya dan keluarga termasuk pendatang baru di lingkungan kami. Walau pun sebenarnya saya pulang kembali ke kampung halaman sejak meninggalkan Batam, tentu saja banyak perubahan yang terjadi di sini. Terutama orang tua-orang tua baru dan anak-anak mereka. Sebagian besar anak-anak mereka juga bersekolah di SD Negeri B tempat Afra bersekolah.

Secara umum, para orang tua tersebut adalah tipe orang tua yang menyerahkan bulat-bulat pendidikan anaknya ke sekolah dan ke guru les tambahan. Tingkah laku anak-anaknya tidak bisa dibilang buruk, setidaknya karena di kampung kami ada surau dan TPA yang aktif dijalankan. Walaupun sebagiannya masih belum bisa disebut mencerminkan akhlak Islam, seperti: makan minum sambil berdiri, membuang sampah sembarangan, saling mengolok dan terpengaruh menyanyikan lagu-lagu 'orang dewasa.'

Semua orang pasti menginginkan lingkungan terbaik di tempat tinggalnya masing-masing, tapi menurut saya, impian itu kadang tidak bisa seperfect yang kita harapkan. Ada yang harus kita lakukan untuk mengubahnya sedikit demi sedikit. Alhamdulillah, dengan menyekolahkan Afra di sekolah yang sama dengan anak-anak mereka, kami selaku orang tua bisa melakukan interaksi lebih dengan mereka dan tidak terkesan memisahkan diri.

Maaf jika harus menyebut kata-kata yang sensitif yaitu nilai akademis. Ini ada hubungannya dengan paragraf sebelumnya. Jadi, Afra tergolong murid yang nilai akademisnya tinggi, ehm... dia rangking satu di kelasnya sejak kelas satu. Positifnya, beberapa ibu bertanya-tanya tentang bagaimana resep belajar Afra sehingga bisa mudah mengerti pelajaran yang disampaikan gurunya. Nah, kesempatan bagus! Akhirnya terbangunlah dialog-dialog. Pelan-pelan saya jelaskan kepada mereka tentang tips-tips belajar yang efektif dan menyertakan peran orang tua di dalamnya.  Mohon dicatat, ibu-ibu tersebut hanya mengerti bahwa nilai akademis itu penting. Ini kampung, bro!  Tentang akhlak anak-anaknya? Dialog-dialog akan terus berlanjut dan semoga akan membawa sedikit perubahan bagi mereka.

IMG_20151221_183013


Saya tidak tahu apakah ini pas dikaitkan dengan paragraf di atas:

"Jika kau merasa bahwa hal di sekitarmu gelap, tidakkah kau curiga bahwa dirimulah yang dikirim Allah untuk jadi cahaya bagi mereka?" (Salim A. Fillah)

4. Peran Orang Tua

Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, termasuk dalam hal pilihan sekolah. Dan sungguh saya sangat mendukung jika banyak orang tua yang  berbondong-bondong memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap bisa memberi lebih, bisa menjadikan anak mereka shalih-shalihah, dsb, dll. Saya sendiri punya keponakan yang bersekolah di sebuah SD Islam Internasional yang lumayan wah biayanya. Hasilnya? keponakan saya itu terlihat matang dan shalihah, penampilannya khas akhwat yang menutup aurat dengan rapi sejak ia SD sampai sekarang sudah SMP. Sekolah pilihan kakak ipar saya itu sangat membantu cita-cita mereka dalam mendidik anaknya. Sementara kakak ipar saya dan istrinya merasa tidak mampu jika mendidik sendiri anaknya terutama berkaitan dengan agama.

Dan bagi kami yang menyekolahkan anak kami di sekolah negeri yang notabene sangat kurang pelajaran agamanya, bukan berarti kami merasa sudah mampu dan bisa melakukannya sendiri. Justru poinnya ada pada kewaspadaan agar kami terus belajar dan memberikan teladan di rumah.

Kami tetap mengontrol hafalan Quran Afra sehingga ia pun lancar melakukan setoran hafalan di TPA tempatnya mengaji dengan semangat. Kami mengajaknya mempelajari shirah Nabi Muhammad lewat buku dan sampai sekarang ia tidak pernah bosan membaca buku-buku shirahnya itu. Pun ia juga tak bosan nobar film kartun "Muhammad The Prophet" atau film "The Message" yang dibintangi oleh Anthony Quinn sampai meneteskan air mata. Kami mengajaknya untuk tertib shalat lima waktu sekaligus shalat sunnah rawatib, alhamdulillah sampai sekarang jarang sekali shalatnya bolong. Kami biasanya mengajaknya mampir ke masjid jika bepergian dan ia terbiasa berinfaq di sana. Ia yang kami ajarkan untuk membawa bekal dari rumah dan tidak jajan di sekolah, biasanya tidak memakan bekalnya sendiri, ada temannya yang 'kecipratan' rezeki. Dan hikmah menutup aurat sejak dini yang kami sampaikan kepadanya membuatnya bisa menahan rasa gerah (Afra termasuk anak yang 'sumukan') dan baru-baru ini ia mempengaruhi dua orang temannya untuk berjilbab ke sekolah. 😇 Alhamdulillah.

Bagaimana dengan hal-hal semacam outbound, cooking class, market day atau ekstrakurikuler? Halaman rumah plus kebun belakang kami luas untuk dijelajahi bersama teman-temannya, juga untuk berkebun. Proyek berkebunnya saat ini adalah melestarikan pohon ciplukan 😁 Karena itu tidak ada gadget baginya sampai nanti dia SMP, kalau pinjem emaknya bentar, boleh lah 😀 Setiap hari ia melakukan market day dengan berjualan es krim (akan saya tulis di next edition). Anak ini sepertinya seneng jualan, tidak seperti emaknya ✌ Cooking class pun begitu, ia sering saya libatkan untuk membuat makanan yang direquest-nya. Komputer dan robotika? tinggal panggil abinya. Dan saat ini kami sedang menyemangatinya untuk menekuni hobinya: menggambar. Pernah dia menerima pesanan gambar dari teman-temannya dan dengan sabar dikerjakannya.

IMG_20150824_115401.jpg

Apa yang saya sampaikan di atas insya Allah bukan sebagai bentuk berbangga-bangga diri. Sungguh PR kami sebagai orang tua belum selesai dan masih sangat banyak ke depan. Saya hanya ingat bahwa sebenarnya rumah dan keluarga-lah sekolah pertama dan utama bagi anak-anak. Mengutip ayahkita.com yang berpendapat lebih tegas: "Karena anak tidak membutuhkan sekolah unggulan terakreditasi A tapi justru membutuhkan orang tua berakreditasi A."

Maka saudara-saudaraku, berbeda pendapat itu tentu saja boleh dan suatu keniscayaan atas pilihan-pilihan yang dijatuhkan. Pilihan-pilihan itu sangat tidak bisa dipukul rata karena ada alasan-alasan dibaliknya. Mari menyimak tutur seorang Bunda Kurnia Widhiatuti tentang anaknya yang bersekolah di SD Inpres, dilanjutkan dengan SMP Negeri dan akhirnya mondok di Gontor. Seorang  Trainer Parenting yang sudah berkeliling di banyak kota di Indonesia ini ternyata ingin mengajarkan anaknya tentang kepayahan dan kesederhanaan saat menuntut ilmu. Beliau terinspirasi dari perkataan Imam Syafi'i: “Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu ke­cuali yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan. Aku dahulu mencari sehelai kertas pun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu de­ngan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”

Saya ingin mengingatkan diri saya sendiri atas pilihan-pilihan saya pada apa pun, agar tidak sampai merendahkan pilihan orang lain, sepanjang pilihan mereka bukan pilihan yang haram dan bertentangan dengan syariat. Bukankah salah satu unsur dari kesombongan itu adalah merendahkan orang lain? Ia kadang tidak disadari menyusup ke dalam hati; sombong tanpa sadar.

Beberapa saat yang lalu, saya dan teman-teman DPA ODOJ Malang menyelenggarakan Grand Launching Buku "Putus" yang ditujukan untuk murid-murid SMP-SMA se-Malang Raya yang menghadirkan bintang tamu seorang Mahasiswa Berprestasi Nasional, Abdul Jabbar Jawwadurrohman. Ia bercerita bahwa pernah ditugaskan untuk mengajar anak-anak di perbatasan negeri ini. Anak-anak yang terbatas aksesnya untuk bisa bersekolah. Maka pesannya saat itu untuk yang hadir adalah agar tetap bersemangat pergi ke sekolah dan rajin belajar, karena tidak semua anak beruntung bisa bersekolah dengan mudah. Dan pesan yang saya tangkap: para orang tua di sana jangankan meributkan sekolah ini versus sekolah itu, melihat anaknya bisa bersekolah lancar saja sudah sangat bersyukur.

Fiuhh, panjang juga ternyata curhat saya 😁 Akhirnya, dalam pengamatan saya yang terbatas ini, gesekan paling seru adalah di tingkat SD. Jika sudah tingkat SMP ke atas sepertinya sudah tidak terlalu rame. 😅 Benarkah? Ah, saya hanya iseng mengamati pada saat musim SBMPTN, sepertinya hampir semua orang tua sepakat dan saling memberi selamat jika anak mereka lolos Perguruan Tinggi Negeri, hehe.

~Selesai~

Ditulis pada Jumat malam, saat tab agak trobel 😅

Tatiek Ummu Hamasah Afra

You Might Also Like

0 comments