Serenada Mapan (Sebuah Catatan di Ramadhan 1436 H)
- August 17, 2015
- By Tatiek Purwanti
- 0 Comments
Pertengahan Mei 2015 kemarin dirilis sebuah film pendek di youtube dengan judul 10 Alasan Pria Menunda Nikah, hasil karya anak-anak muda muslim kreatif yang cukup menarik perhatian. Alasan-alasan tersebut adalah: ngumpulin duit, belum punya rumah, masih kuliah, beda keyakinan, masih mau ngejar karir, nggak pede, orang tua nggak setuju, bingung pilih yang mana, ditolak dan belum siap. Ada beberapa poin yang jika dikerucutkan bisa menjadi sebuah kesimpulan: saya belum mapan. Benarkah menikah itu harus menunggu kita mapan dulu? Lalu apakah kondisi belum mapan itu menghalangi kita untuk meraih kemajuan dan kebahagiaan?
Saya jadi terkenang masa lalu. Saat itu, 14 Agustus 2000 saya menginjakkan kaki pertama kali di sebuah pulau nun jauh di sana, Batam. Pulau di sebelah Singapura, yang saat itu Merry Riana sedang menyusun mimpi sejuta dollarnya di sana. Saya, seorang gadis pendiam yang paling jauh hanya bepergian ke kota sebelah, karena suatu hal harus melupakan sejenak impian ideal yaitu berkuliah selepas lulus sekolah.
Saya jalani itu demi orang tua dan juga keinginan untuk mencari tahu tentang arti hidup dan arti cinta. Orang-orang menyebutnya sebagai sebuah pencarian jati diri. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab di masa remaja saya. Salah satunya tentang pacaran. Haruskah setiap remaja melakukannya? Apakah itu salah satu siklus hidup yang pasti dilewati setiap remaja seperti halnya lanjutan jenjang sekolah yang harus ditempuh; dari SMP ke SMA. Jika sudah tujuh belas tahun, maka boleh pacaran. Begitu kah? Walau pun saat itu masih ada kebingungan, entahlah saya tidak tertarik dengan 'kegiatan' itu. Jiwa remaja saya berkata bahwa itu konyol dan sia-sia. Saya tentu saja mengerti seperti apa makhluk ganteng itu. Tapi apa iya harus berpacaran dengan mereka yang kita akui kegantengannya? Saya berusaha terus mencari dan kelak saya temui jawaban itu di Batam.
***
"Welcome to Batam" Sumber: Tribun Batam |
BATAM: Bila Anda Tiba Anda Menyesal
BATAM: Bila Anda Tabah Anda Menang
Jargon itu begitu akrab di telinga. Pada akhirnya saya mengerti maksudnya. Kawasan industri itu, Batamindo atau sering disebut juga Mukakuning, adalah surga bagi para pencari kerja. Saat itu Upah Minimum Regional yang tertinggi di Indonesia ada di sana. Uang di tangan dan jauh dari orang tua, maka para buruh muda bebas jika ingin melakukan apa saja. Ada Plaza Batamindo dan tempat-tempat hiburan di luar kawasan industri itu -daerah Nagoya dan Sei Jodoh- yang memancing anak muda untuk berfoya-foya menghamburkan uang hasil bekerjanya. Jika itu dilengkapi dengan mengiyakan tawaran pergaulan bebas yang menjadi trend di sana, lengkaplah sudah kesenangan yang akan berujung penyesalan. Tiba di sana hanya untuk menyesal? Oh, No!
Saya ingin menjadi seperti yang kedua; tabah dan menang. Tapi bagaimana caranya? Setahun sudah saya berada di sana. Masuk kerja, pulang ke dormitori, makan, tidur, jalan-jalan, begitu seterusnya. Gersang. Sampai suatu hari saya mendapati oase itu pada wajah-wajah teduh berbalut jilbab lebar yang setiap hari saya temui di perusahaan multinasional tempat saya bekerja. Mereka adalah kakak-kakak akhwat yang memilih menyibukkan diri dengan aktifitas kebaikan di majelis taklim perusahaan. Mereka tidak sekedar bekerja untuk mendapatkan uang tapi juga terus belajar tentang agamanya dan mencoba menjadi 'Sang Pencerah' bagi sekitarnya. Mereka memang berbeda. Itulah sebabnya mereka tidak pernah saya temui berkeliaran di Taman Seribu Janji, sebuah lapangan rumput luas di area dormitori yang digunakan berpuluh pasang kekasih untuk mengobral janji-janjinya. Sepertinya saya mulai mengerti apa yang saya cari.
Kawasan Industri Batamindo (Mukakuning) sumber: sbf.org.sg |
Ketertarikan itu mendorong saya untuk menyimak sebuah kajian bertema jilbab bagi wanita muslimah. Kajian menyejukkan itu mengatakan bahwa inilah kewajiban yang harus dijalankan sebagaimana shalat lima waktu ditunaikan. Inilah perintah Allah Swt. karena Dia sayang kepada hambaNya. Anggapan lama saya bahwa orang yang berjilbab itu harus paham mendalam dulu tentang Islam, seketika musnah. Di kampung saya dulu, hanya teman-teman yang mondok di pesantren yang pede berjilbab. Yang bukan santriwati? Pasti akan dianggap aneh jika menutup auratnya. Ah, syiar yang tidak sempurna disampaikan dan dipahami. Lalu, buku bersampul ungu berjudul Revolusi Jilbab yang saat itu begitu fenomenal pun melengkapi referensi saya. Alangkah heroik perjuangan para muslimah muda di buku itu dalam mentaati Rabb-nya. Dan saya? Hampir tidak ada halangan berarti kecuali kejahilan yang selama ini membelenggu diri.
***
Tuhan, aku hanya manusia
Mudah berubah lagi dalam sekejap
Tuhan, aku ingin berubah
Dan ku bertahan dalam perubahanku
(Berubah, by EdCoustic)
Ramadhan tahun itu saya niatkan untuk berubah. Tapi, saya berpikir lagi. Mengapa harus menunda jika kepahaman sudah ada dan niat sudah bulat? Bagaimana jika ajal ternyata datang esok hari? Di awal Rajab itu, saya memandangi baju panjang saya di almari. Hanya beberapa, tentu saja belum ada gamis di sana. Pun hanya ada dua helai jilbab segi empat yang saya punya. Bismillah... Tanggal 2 Rajab 1422 H itu tidak akan saya lupakan. Ia menjadi hari pertama saya berhijrah menutup aurat. Saya justru lupa tanggal Masehinya. Ucapan selamat pun berdatangan dari beberapa teman, sebagai tanda bahwa saya baru saja memulai 'hidup baru'. Haru dan bersyukur. Ternyata jika kita mau, Allah Swt. akan menunjukkan jalan.
Belum ada handphone saat itu di kalangan kami, para buruh muda ini. Untuk memberitahu orang tua tentang perubahan diri, saya mengantri di wartel pada hari Ahad, saat dimana tarif Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) berlaku paling murah. Ayah dan bunda pun terharu dan mendoakan. Mereka yang memang hanya sedikit paham tentang agama, mendorong saya untuk terus belajar. Maka berkiprah di majelis taklim perusahaan menjadi pilihan saya kemudian. Hal yang paling berkesan adalah saat menyelenggarakan seminar jilbab bersama teman-teman dengan pembicara Almh. mbak Nurul F. Huda yang saat itu tinggal di Batam.
Ba'da seminar itu, beberapa teman pun terdorong untuk menutup auratnya, tanda bahwa materi yang disampaikan saat itu sangat membekas dan menjawab segala keraguan. Welcome to our new life! Waktunya berubah ke arah lebih baik, kawan. Kami buruh muda ini, punya kesempatan yang sama untuk melakukan perbaikan diri sebagaimana para santri atau pun mahasiswa-mahasiswi. Kami yang tinggal berdesakan di dormitori, berenam belas orang, juga punya kewajiban untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Ini menjadi catatan saya bahwa kondisi 'belum mapan' bukanlah halangan untuk meraih kemajuan. Ramadhan tahun itu pun saya jalani dengan penuh senyuman.
Halangan pasca berjilbab itu pastinya ada. Pada akhirnya saya memahami bahwa itu adalah ujian 'kenaikan kelas'. Misalnya, ada seorang atasan yang sepertinya kurang suka dengan penampilan saya yang mengulurkan jilbab sampai ke dada dan memakai rok panjang. Kebetulan, seragam yang diberikan perusahaan hanya berupa atasan sehingga untuk bawahannya saya bisa memilih memakai rok. Saya menjawab bahwa pakaian saya itu tidak menghalangi pekerjaan saya yang memang tidak berhubungan dengan mesin, karena saya bertugas di sebuah ruangan Quality Control (QC). Beberapa sindiran kerap dilontarkan termasuk pilihan saya untuk tidak berpacaran. Sementara beberapa teman saya, satu per satu sudah menemukan gandengan. Sebuah keputusan yang mantap saya jalani karena akhirnya saya tahu bahwa tidak ada pacaran di dalam Islam. Kegusaran yang akhirnya terjawab sudah. Lebih yakin lagi setelah saya membaca sebuah buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan yang menjadi perbincangan menarik saat itu. Buku pertama ust. Salim A. Fillah itu yang membuat saya ingin segera menikah. Pahala dan gambaran keindahannya itu lho, Masya Allah.
***
"Dan orang-orang yang belum mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, hingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya..."
(QS. An Nur: 33)
Kajian-kajian bertema munakahat pun rajin saya hadiri. Dari situ saya tahu bahwa menikah juga perlu persiapan ilmu dan bersegera itu bukan berarti terburu-buru. Saya pun sadar bahwa masih banyak ilmu yang harus saya pelajari. Maka ajakan teman untuk menjadi santri kalong di sebuah ponpes di daerah Batuaji pun saya iyakan. Bergabung sebagai pengurus remaja masjid di kawasan industri itu, Remaja Masjid Kawasan Industri Batamindo (RMKIB) menjadi pilihan selanjutnya untuk belajar berorganisasi dalam skala lebih luas lagi. Tenggelam saya dalam keasyikan amanah-amanah dakwah di sana. Kebersamaan kami itu pernah dimuat di majalah Annida dengan judul Mujahid di Kawasan Industri Batamindo.
Masjid Nurul Islam Mukakuning, saat Sakura bermekaran di sana. Sumber: bujanglanang.blogspot.co.id |
Awal tahun 2005, menjelang usia 24 tahun, saya sedikit gelisah. Tahun itu ada rencana pulang kampung tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda jodoh akan tiba. Usia segitu di kampung saya tergolong kategori terlambat menikah versi manusia. Alamat nih, bakalan ditanya-tanya. Walau pun di antara teman-teman akhwat, usia segitu masih tergolong hal biasa jika masih sendiri. Kesendirian yang menguji kami untuk menjaga hati karena interaksi ikhwan dan akhwat dalam organisasi ini bisa dimanfaatkan setan untuk membelokkan niat. Resep saya saat itu adalah cukup dengan mengakui jika ikhwan A atau B itu baik dan shalih. Iya dong, masa ada orang baik dikatakan buruk? Dan cukup berhenti sampai di situ, jangan dilanjutkan dan dibayang-bayangkan! Termasuk juga menghindari interaksi yang memang tidak diperlukan.
Saya masih terus bergerak, menunggu dan berdoa. Oh, jodoh di manakah dirimu berada? Saat itu menjelang Ramadhan 1426 H, di bulan Oktober 2005, waktu mudik semakin mendekat. Daaaan... di luar dugaan saya, ada seorang ikhwan menyampaikan keinginan untuk bertaaruf dengan saya melalui guru ngaji saya, atas perantara seorang teman. Ikhwan itu, seorang rekan di majelis taklim dan di remaja masjid, yang saya sedikit tahu kebaikan akhlaknya. Maka adakah alasan saya untuk menolaknya? Debar-debar di dada kian terasa ketika taaruf dilakukan. Ba'da istikharah ada kemantapan hati yang menimbulkan ketenangan: dialah yang dikirimkan Rabb-ku. Sujud syukur padaMu, yaa Allah. Sungguh Engkau sebaik-baik pengatur urusan.
Bandara Hang Nadim. Sumber: charlesryan77w.blogspot.com |
Pekan kedua Ramahan tiba. Debar-debar itu terus menyertai sejak dari bandara Hang Nadim hingga ke Juanda. Saat tiba di rumah, orang tua awalnya sedikit terkejut saat saya menyampaikan keinginan untuk segera menikah. Anaknya yang pendiam dan tidak pernah bercerita tentang gandengan, tiba-tiba mantap ingin menghadiahi mereka seorang menantu. Mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada saya saat di pekan selanjutnya datang rombongan dari Solo, Jawa Tengah ke rumah kami. Keluarga ikhwan itu datang melamar tanpa si ikhwan. Ya, karena jatah cuti ikhwan tersebut sudah habis sehingga tidak bisa mudik. Hal tersebut tidak mengurangi kehangatan silaturrahim di antara keluarga kami. Berbuah jawaban 'bersedia' yang terlontar dari mulut saya. Sekaligus penetapan tanggal dan tempat pernikahan kami: 25 Syawal nanti di Batam.
***
DisatukanNya Adam dan Hawa
Dianugerahkan Yusuf bagi Zulaikha
DibahagiakanNya Muhammad-Khadijah
Indahnya pertalian cinta
(Tali Cinta by Lail-C Nasheed Team, Batam)
Hari bersejarah bagi kami pun akhirnya tiba, 25 Syawal 1426 H atau 27 November 2005. Masjid Nurul Islam menjadi tempat akad nikah dan walimah yang indah. Sebuah pernikahan yang saya impikan; sederhana dengan hiburan nasyid dan rebana, dikemas secara syar'i oleh teman-teman panitia, terpisah antara tamu perempuan dan laki-laki dan yang paling penting adalah proses menujunya tidak kami lalui dengan pacaran. Alhamdulillah. Itu menjadi syiar yang saya dambakan selama ini. Beberapa teman di perusahaan yang dulu penasaran dengan prinsip saya, akhirnya memahami bahwa judul buku pertama ustadz Salim A. Fillah itu benar adanya.
Jadi raja dan ratu sehari 😍 |
Dan inilah suami saya, ikhwan sederhana yang menyewakan sebuah rumah mungil untuk kami tempati bersama. Ia juga belum mempunyai motor sehingga saat itu ia menyewa motor untuk membawa kami ke mana pun. Kondisi yang tidak menghalangi kami untuk merayakan cinta. Bulan madu yang paling kami ingat justru saat sebagian kawasan Batam dilanda banjir besar. Penduduk Kampung Aceh -sebuah kampung yang mayoritas terdiri dari para perantau dari Aceh- saat itu berbondong-bondong mengungsi ke masjid Nurul Islam. Sepulang bekerja, saya dan suami akhirnya menuju ke sana dan memilih menginap di masjid, bergabung dengan para relawan. Keesokan harinya saat kami pulang ke rumah ba’da subuh, ternyata rumah kontrakan kami juga terendam banjir tetapi airnya sudah hampir surut. Sebelumnya kami tidak tahu bahwa kawasan itu termasuk daerah rawan banjir. Maka hari itu kami mengajukan izin tidak masuk kerja untuk membersihkan rumah kami.
Jadi saudaraku, berkurangkah kebahagiaan kami dengan kondisi yang secara fisik belum mapan itu? Sungguh, sakinah yang kami rasakan membuat segalanya terasa nyaman dan mapan. Sejak awal saya memang meniatkan untuk mendampingi seorang pejuang yang berakhlak baik. Bagi saya, pernikahan itu bukan garis finish, justru itulah awal dari perjuangan bersama. Kami terpacu untuk menggapai impian yang tertunda; kuliah. Ya, suami saya juga belum bisa menikmati bangku kuliah sebelumnya. Pernah ada sebuah buku berjudul KKN (Kuliah, Kerja, Nikah). Untuk kami, urutannya berubah menjadi Kerja, Nikah, Kuliah.
Tantangan selanjutnya adalah membagi waktu, mengatur gaji kami untuk biaya kuliah dan belajar berkontribusi di masyarakat yang suasananya tentu saja berbeda dengan lingkungan dormitori saat kami masih lajang. Ada taman baca anak-anak di lingkungan perumahan kami yang perlu pembenahan. Di akhir pekan, saya bergabung menjadi tutor di sebuah lembaga bimbingan belajar yang juga terdapat di lingkungan kami. Atmosfer yang berbeda dan itulah yang saya sebut upaya membangun jiwa.
Alhamdulillah, anugerah indah itu kami dapatkan setelah melalui bulan ke tujuh pernikahan. Kehamilan yang sebenarnya berat di tri semester pertama justru memacu semangat belajar saya. Berharap agar kelak si kecil menjadi seorang pembelajar. Si kecil cantik yang hadirnya menjadikan kami semakin bersemangat dalam berusaha. Ia lahir pada tanggal 7 Maret 2007 dan kami beri nama Hamasah Afra Qonita, agar ia senantiasa taat kepada Allah dan rasulNya, bersemangat, dan bergembira.
***
Anak muda...
Menikahlah sebelum mapan.
Agar anak-anak Anda dibesarkan bersama kesulitan-kesulitan Anda.
Agar Anda dan anak-anak Anda kenyang merasakan
betapa ajaibnya kekuasaan Allah.
Jangan sampai Anda meninggalkan anak-anak
yang tak paham bahwa hidup adalah perjuangan.
(Adriano Rusfi, Psi)
Setiap menjelang Ramadhan, kenangan itu kembali hadir dalam ingatan. Bulan Syawal nanti genap sepuluh tahun usia pernikahan kami. Pahit dan manisnya perjuangan silih berganti kami lalui. Kami berusaha berbaik sangka kepadaNya bahwa segala kemudahan yang datang adalah karena berkah yang tercurah dan ujian yang menyapa adalah sarana belajar bersabar dan terhapusnya dosa-dosa.
Sejak empat tahun lalu kami meninggalkan Batam dan menetap di kota saya, Malang. Kami menyebutnya sebagai sebuah ikhtiar untuk keluar dari zona nyaman. Beberapa teman menanyakan tentang keputusan kami yang dinilai berani untuk melepaskan status sebagai karyawan permanen di perusahaan dan memulai lagi dari nol. Birrul walidain. Orang tua kami sudah mulai sepuh dan merasa berbahagia jika kami berada tidak jauh dari mereka. Inilah pembelajaran bagi kami selanjutnya.
Saya sendiri, setelah selama tiga tahun mengabdi di sebuah sekolah, kini menyadari bahwa peran saya sebagai ibu masih perlu banyak pembenahan. Saya memutuskan berhenti bekerja dan terus berikhtiar pun bersabar menunggu hadirnya anak kedua yang kehadirannya masih ditangguhkan Allah Swt. Ini adalah kondisi belum mapan kami yang kerap dipertanyakan: Koq masih satu, sih? Kami tetap memegang prinsip ini: jika sakinah dihadirkan maka mapan pun dirasakan. Insya Allah.
Pakisaji, Malang, 9 Juni 2015/ 22 Sya'ban 1436 H
Tatiek Ummu Hamasah Afra
0 comments