Kisah Nasi Jagung dan Jodohnya

_20170610_035519


Suara nyaring ibu itu hampir setiap hari menghiasi pagi di kampung saya. Seorang ibu tangguh yang rumahnya berjarak tiga desa sebelum desa saya itu sedang menawarkan nasi jagung dengan berjalan kaki.

Tentu saja tidak setiap hari saya membelinya, tapi di Ahad pagi kemarin bayangan nasi jagung beserta mendol, ikan asin, urap sayuran, sayur pepaya muda plus sambal pedas itu memenuhi kepala. Akhirnya dua bungkus nasi jagung pun saya order, yang ternyata adalah dua porsi terakhir yang dijual. Mugi berkah, nggih Bu. Laris manis tanjung kimpul. Dagangan habis, dengan keluarga cepat berkumpul. 😁

Begitu membuka nasi yang hangat, langsung membayangkan alangkah nikmatnya jika disantap berdua di sebuah gubuk di tengah sawah. Cocok, jodoh. Jika Maria Boutros Girgis dalam Ayat-ayat Cinta pernah berkata bahwa Mesir dan sungai Nil itu jodoh, maka saya pikir nasi jagung jodohnya itu sawah, dihiasi semilir angin dan cericit burung-burung. Kumat melankolisnya 😎

Tapiiiii… segera sadar diri dan kembali menginjak bumi. Lha wong ada anak bayi yang butuh diajak bermain seusai mandi, mosok mau mbolang ke sawah di belakang kampung sana. Ya sudahlah. Tinggal buka pintu belakang dan menikmati suasana “tegalan” alias kebun yang ijo royo-royo itu. Alhamdulillah, suasananya mendekati lah. Dan nasi jagung yang hangat lezat itu segera ludes dalam sekejap. Ekspektasinya disantap berdua, kenyataannya sendirian karena harus bergantian jagain anak lanang, hiks.

IMG_20170506_080541
Maksud hati memandang sawah, apalah daya memandang tegalan 😁

Ini tentang nasi jagung dan kegagalan menyantapnya di tengah sawah. Yang membuat saya tiba-tiba berpikir tentang jodoh dan kondisi tidak ideal. Yups, ideal. Saat memilih jodoh pasti sedapat mungkin kita memilih dia yang mendekati kriteria ideal kita. Bagi muslim, ada empat kriteria: keturunan, harta, kecantikan dan agama. Yang disebut terakhir menjadi faktor paling penting jika ingin rumah tangganya beruntung. Berlaku juga dalam memilih jodoh bagi perempuan. Faktor agama atau ketakwaan sang calon imam seharusnya yang diutamakan.

Tapi seiring berjalannya waktu, bisa saja terjadi sesuatu yang membuat pasangan kita tidak ideal seperti semula. Dalam buku “Tak Goyah Diterpa Badai” yang ditulis oleh Dr. H. Miftah Faridl disebutkan salah satu kondisi ideal yaitu ayah sebagai kepala rumah tangga mencari nafkah dan ibu berada di rumah mengelola rumah dan mendidik anak-anaknya. Namun kondisi ideal itu berubah pada sebuah rumah tangga yang dicontohkan dalam buku yang dikemas dalam format studi kasus tersebut, yaitu sang suami mengalami PHK.

Sayangnya, sang suami tidak berusaha mencari pekerjaan karena telah patah semangat dan seakan malas menjalani hidup. Maka sang istrilah yang kemudian bekerja keras mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keempat anaknya. Memang tidak sampai bekerja ke luar negeri seperti dalam sinetron “Dunia Terbalik.” Ahai, saya tahu sedikit-sedikit lah karena ibunda kadang menonton sinetron itu. 😃 Tapi peran sang istri di luar rumah itu harus dibayar mahal dengan kondisi anak-anak yang tidak terurus, berantakan, dan terpuruk nilai-nilai  akhlaknya. Bahkan sampai menjadi pecandu narkoba. Lelah dan putus asa. Apa yang harus dilakukan sang istri?

Solusi dalam buku itu menyebutkan:
  1. Selamatkan anak terlebih dahulu, membawanya ke dokter atau terapis kecanduan sebagai langkah rehabilitasi.

  2. Menyadarkan suami tentang tugasnya sebagai imam yang bertanggung jawab dunia akhirat tidak saja tentang nafkah tapi juga pendidikan anak-anaknya. Momen rusaknya sang anak bisa menjadi pemicu kesadaran bahwa memang ada yang salah dengan rumah tangga mereka. Tidak ada kata terlambat. Inilah saatnya sang ayah tampil sebagai pahlawan dalam menyelamatkan rumah tangga mereka.

  3. Meminta bantuan kepada keluarga, saudara, teman atau orang yang berpengaruh untuk bisa mengembalikan motivasi dan optimisme suaminya. Semoga hidayah bisa hadir lewat salah satu dari mereka.

  4. Memperbanyak ibadah mahdhah (ritual): shalat sunnah, puasa sunnah, dan rajin sedekah. Terutama shalat di sepertiga malam terakhir. Berdoa memohon pertolongan-Nya. Mengucap zikir: “Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar” agar dosa terhapus seperti gugurnya daun dari pohonnya.
Kisah di atas hanya salah satu dari sekian banyak kondisi tidak ideal dalam rumah tangga. Dalam kondisi itu, terbukti bahwa faktor agama/ketakwaan suami atau istri benar-benar menjadi penentu berubahnya kondisi tidak ideal menjadi ideal kembali. Yang harus selalu diyakini bahwa: “Sesungguhnya di balik kesulitan, pasti terdapat kemudahan.” (QS. Al Insyiraah: 6)

Rumah tangga kami sementara ini harus menjalani kondisi tidak ideal yaitu Long Distance Relationship, LDR. Tapi insya Allah ada target untuk membuatnya ideal kembali. Beberapa resep dalam menjalani LDR itu pernah saya tulis di sini.

Dear yang terkasih, besok pagi kita makan nasi jagung bareng, yuk! Kita titipkan si kecil sebentar ke eyang utinya. Biarlah tidak usah menyantapnya di sawah seperti angan-anganku. Biarlah si nasi jagung tidak berjodoh dengan sawah. Yang penting kita tetap berjodoh, sehidup sesurga, seperti judul bukunya Fahd Pahdepie itu. 😍

Pakisaji, 12 Mei 2017

Tatiek Ummu Hamasah Afra

You Might Also Like

0 comments