Merawat Museum Monumen Jogja Kembali, Cagar Budaya Indonesia Bernilai Historis Tinggi


Candi Borobudur sudah belasan meter terlewati. Bus yang saya tumpangi bersama rombongan wisata sekolah Afra -putri sulung saya- melaju kembali menuju Sleman, Yogyakarta. Saat itu menjelang pukul sebelas siang. Matahari di luar sana sedang bersemangat menyengat bumi.

"Memangnya Ummi belum pernah ke Monumen Jogja Kembali?" tanya Afra tentang destinasi wisata kami selanjutnya.

"Belum. Padahal Ummi sudah beberapa kali ke Yogya. Baru sadar kalau belum pernah ke Monjali," jawab saya sambil nyengir. 

Museum Monumen Jogja Kembali atau biasa disingkat dengan Monjali. Ini adalah sebuah museum penting yang berisi jejak sejarah tentang berfungsinya kembali pemerintahan Republik Indonesia pasca ditarik mundurnya tentara Belanda dari Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1949. Menyusul kemudian, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan para pejabat lainnya yang sebelumnya diasingkan, juga dikembalikan ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.

Sungguh, ini adalah destinasi wisata sejarah yang seharusnya saya kunjungi sejak dulu. Seharusnya, sih...

"Monjali itu termasuk Cagar Budaya, lho. Sama seperti Museum Radya Pustaka Surakarta yang pernah kita kunjungi dan dulu Ummi jadikan tulisan," jelas saya pada Afra.

Afra manggut-manggut. Sepertinya dia teringat saat saya pernah bercerita tentang keikutsertaan lomba menulis Cagar Budaya dengan setting museum yang terletak di Solo tersebut.

"Oh, makanya sekarang Ummi senang bisa ke Monjali. Jadi ada bahan tulisan dong, ya?" tebak Afra.

"Iya, dong. Hehe..."

Ya, disamping alasan pribadi itu, saya memang merasa lega karena agenda rekreasi sekolah anak saya tetap menyertakan kunjungan ke museum. Di tengah maraknya pilihan destinasi wisata Yogya yang kekinian, kunjungan ke museum ternyata tidak dilupakan. 

"Mi, aku lupa. Cagar Budaya itu apa, ya?" kali ini Afra yang nyengir.

Saya tersenyum, "Cagar budaya itu warisan budaya yang bersifat kebendaan. Bentuknya bisa berupa museum seperti yang akan kita kunjungi ini, bisa juga berupa benda, struktur, situs, atau kawasan."


Sumber foto: IG @monjaliyogyakarta

Beberapa saat kemudian, bus yang kami tumpangi pun tiba di tujuan, di area samping kanan Museum Monumen Jogja Kembali. Begitu pintu bus dibuka, hawa panas langsung menyergap. Matahari benar-benar memanggang Yogyakarta siang itu. Untungnya "senjata" saya sejak di Borobudur tadi selalu saya bawa: payung.

"Monggo salat zuhur dulu dan makan siang, sebelum kita masuk museum, ya!" Koordinator bus memberikan arahan seraya membagi-bagikan nasi kotak.

Oke, deh!

Catatan Berharga tentang Monjali untuk Anak Negeri


Tiket masuk seharga sepuluh ribu rupiah per orang sudah diserahkan di pintu masuk. Rombongan kami berjalan beriringan di bawah terik matahari menuju pelataran Monjali di sebelah barat, menuju pintu masuk yang mengarah ke lantai satu. 

Hawa sejuk langsung terasa ketika saya tiba di lantai satu tersebut. Peluh yang tadi membanjir mulai mengering, tubuh pun lebih bersemangat untuk menyambut rasa ingin tahu tentang keseluruhan isi museum. 

Maka inilah catatan untuk direnungkan yang saya peroleh selama berada di Monjali:

1. Atap Monjali dan Filosofi Kokohnya


Saya terkesima menyaksikan bentuk Monumen Jogja Kembali yang mengerucut seperti gunung dengan tinggi 31,8 meter itu. Bentuk atap Monjali itu ternyata ada maksudnya. Dimana ada gunung, biasanya tanah di sekitarnya subur. Atap gunung itu seakan mengingatkan bahwa Yogyakarta itu "subur" akan warisan sejarah dan budaya.

Suasana khas Yogyakarta memang tiada duanya. Atmosfer langsung terasa berbeda begitu menapak tanahnya: njawani dan ngangeni! Begitulah yang saya rasakan setiap kali berada di Yogyakarta.

Saya berpose di sebelah barat Monjali, berlatar atap Monjali yang berbentuk seperti gunung

Selain itu, gunung yang melambangkan kekokohan itu seakan mengatakan bahwa kondisi Yogyakarta -yang saat itu adalah ibukota negara Indonesia- tetap kokoh tak tergoyahkan. Belanda menyerang, pahlawan Indonesia tak gentar berjuang. Kemerdekaan Indonesia harus terus dipertahankan!

Ya, Monjali seakan mengingatkan saya bahwa Indonesia pernah berpindah ibukota -dari Jakarta ke Yogyakarta- pada tanggal 4 Januari 1946. Saat itu, Yogyakarta adalah tempat yang dinilai paling aman dari segi keamanan, politik, dan ekonomi. Situasinya memang sedang darurat setelah Jakarta dikuasai oleh Belanda yang ingin terus berkuasa walaupun kemerdekaan Indonesia sudah diproklamirkan.

2. Pembangunan Monjali yang Penuh Perhitungan


Monumen yang dibangun di atas lahan seluas 5,6 hektar di Dusun Jongkang, Kelurahan Sariharjo, Kecamatan Ngaglik, Kapubaten Sleman itu terletak pada sebuah "sumbu imajiner" yang disebut Poros Makrokosmos atau Sumbu Besar Kehidupan. Ini adalah perwujudan keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam. Seimbang. Bukankah memang seharusnya kita demikian dalam menjalani kehidupan?

Jadi, jika ditarik sebuah garis imajiner dari Monjali yang berada di bagian utara Yogyakarta itu akan mengarah pada empat tempat penting yang terletak di sebelah selatan yaitu Tugu Yogyakarta, Keraton Yogyakarta, Panggung Krapyak, dan Pantai Parang Tritis. Juga mengarah pada satu tempat penting lain yang berada di sebelah selatan yaitu Gunung Merapi.


Sumber: tripadvisor.com (daru222)

Ya, pembangunan Monjali yang berawal dari ide Walikota Yogyakarta saat itu, Kolonel Sugiarto, memang didirikan dengan penuh perhitungan. Ada ritual penanaman kepala kerbau sebagai tanda dimulainya pembangunan monumen pada tanggal 29 Juni 1985. Adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Paku Alam XIII yang melakukan peletakan batu pertamanya. Setelah selesai pembangunannya, pada tanggal 6 Juli 1989 Presiden Soeharto pun meresmikan Monjali dengan penandatanganan prasasti.

3. Lantai Satu, Ruangan Penuh Pesan Kehidupan


Ruangan luas berlantai cokelat di lantai satu itu menyambut saya dan rombongan dengan beragam kutipan dari para pahlawan. Misalnya saja perkataan dari Cut Nyak Dien berikut ini: "Kita tidak akan menang bila kita masih mengingat semua kekalahan." Jlebb! Sebuah pesan yang berlaku sepanjang masa agar kita tidak lelah berjuang. Sempat limbung? Cepat bangkit lagi dan move on! 

Tampak juga replika Tugu Yogya yang silih berganti didatangi pengunjung untuk diabadikan bersama. Saya jadi teringat salah satu filosofi tugu yang juga disebut sebagai Tugu Pal Putih itu: barangsiapa berfoto dengan Tugu Yogya, dia akan kembali lagi mengunjungi Yogyakarta. Percaya gak nih?

Patung Teuku Umar, Tuanku Imam Bonjol, Kutipan, dan replika Tugu Yogya (dok. pribadi)

Perhatian saya segera teralihkan oleh aba-aba agar rombongan kami segera memasuki ruangan auditorium. Akan ada pemutaran film dokumenter tentang perjuangan para pahlawan Yogyakarta melawan Belanda di sana. Setelah semua peserta masuk, ruangan auditorium menjadi gelap seperti suasana di bioskop. Saya yang terus berada di samping Afra, merasakan kebanggaan bercampur keharuan sepanjang pemutaran film bersejarah yang berlangsung sekitar 15 menit tersebut.

Ruang auditorium, tempat pemutaran film dokumenter (dok. pribadi)

Usai menyaksikan film, kami beralih ke ruangan lain di lantai satu itu yaitu museum yang menyimpan koleksi bersejarah yang digunakan selama tahun 1945 hingga 1949. Ada beragam benda antik dan kuno milik para pahlawan, beraneka senjata, seragam para pejuang, kumpulan foto yang merekam peristiwa penting, dan replika benda-benda di masa perang. Sungguh bukan benda-benda biasa, pasti ada cerita pengorbanan yang menyertainya.

Yang paling menarik perhatian saya adalah tandu yang pernah dipakai oleh Jenderal Soedirman selama beliau memimpin perang gerilya dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Dalam kondisi sakit, Jenderal Soedirman tetap memimpin gerilya dengan ditandu mulai dari wilayah Gunungkidul hingga Jawa Tengah. Sekitar 1.009 kilometer telah ditempuh beliau bersama pasukan dengan memakan waktu selama 7 bulan. Masya Allah!

Tandu Jendral Soedirman (dok. pribadi)

Tandu itu memang hanya sederhana: kursi biasa yang diikatkan pada bambu dan atasnya diberi selimut. Namun, ada pesan luar biasa bahwa tidak ada alasan berhenti berjuang walaupun berada dalam keterbatasan. Hormat padamu, Wahai Jenderal Soedirman! Pantaslah namamu abadi dan dijadikan nama jalan-jalan utama di negeri ini. Namamu besar, sebesar jiwamu.

4. Lantai Dua, "Buku Sejarah" Berbentuk Relief dan Diorama


Naik ke lantai dua bagian luar, saya dan rombongan disambut oleh berbagai relief di sepanjang sisi tembok. Tercatat, ada 40 relief yang menggambarkan peristiwa bersejarah mulai dari proklamasi kemerdekaan hingga diakuinya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia pasca bebasnya Yogyakarta dari cengkeraman Belanda.

Relief perjuangan dan tulisan tangan Bung Karno (wikipedia.org)

Relief-relief itu cukup jelas terbaca walaupun bukan berbentuk buku sejarah. Saya kira, Afra dan teman-temannya amat menikmati "cara membaca" seperti ini. Cukup melangkahkan kaki searah jarum jam dan "mambaca" peristiwa yang tergambar berikut keterangan singkatnya, saya semakin memahami beratnya perjuangan fisik dan diplomasi saat itu demi meraih dan mempertahankan kemerdekaan.

Afra dan temannya di depan diorama yang menggambarkan pertemuan Jenderal Soedirman dan Bung Karno (dok. pribadi)

Sedangkan pada lantai dua bagian dalam, "cara membacanya" lebih menyenangkan lagi. Saya melewati lorong-lorong yang suasananya cenderung temaram dan menyaksikan berbagai diorama berikut narasi yang diperdengarkan terkait peristiwa yang disajikan. Benar-benar terasa hidup dan nyata. Seakan-akan saya sedang berada di sana saat perjuangan kemerdekaan itu terjadi.

5. Lantai Tiga, Mari Mendoakan Pahlawan Bangsa


Setelah puas "membaca" diorama, saya dan rombongan naik lagi ke lantai tiga. Ada ruangan bernama Garbha Graha dengan keterangan: "Ruang hening, ruang khusus untuk mendoakan arwah pahlawan".

dok. pribadi

Saya mendapati sebuah ruangan luas bernuansa putih yang merupakan puncak dari monumen. Suasana hening di ruangan itu memang sesuai untuk merenung setelah menyaksikan berbagai lintasan peristiwa bersejarah di dua lantai sebelumnya. Hening. Jika kita berbicara di sana, niscaya akan timbul gema.


Di bawah "kepalan tangan raksasa" (dok. pribadi) 

Saya menengadah ke atas, ke langit-langit. Di sana ada relief berbentuk kepalan "tangan-tangan raksasa" dan memegang senjata serta bendera. Ada kesan yang tak terlukiskan. Seakan-akan para pahlawan itu sedang "mengawasi" saya dari atas langit sana dan berkata: "Kami sudah berjuang dan mewariskan semangat juang itu padamu. Sekarang adalah giliranmu!" 

Bendera di tengah ruangan, titik tengah Monjali (dok. pribadi)

Ada juga tiang bendera yang terdapat tepat di tengah ruangan, tepat juga berada di titik tengah monumen. Tentu saja Sang Merah Putih melekat pada puncak tiang bendera itu. Ruangan lantai tiga yang menyampaikan pesan tentang perjuangan yang telah mencapai puncaknya, berhadiah kemerdekaan atas jasa para pahlawan, dan tentu saja atas izin dari Tuhan Yang Maha Esa.

Saya merenung cukup lama di sana. Saya lantunkan Al Fatihah untuk para pahlawan bangsa.

6. Pahlawan Kadang Tidak Dikenal Namanya


Agenda merenung saya yang agak lama membuat saya, Afra, dan seorang temannya tertinggal rombongan. Rupanya sebagian besar sudah keluar Monjali lewat pintu depan bagian selatan. Kami pun buru-buru menyusul mereka.

Begitu keluar dari pintu lantai tiga bagian selatan itu, hawa panas dan angin kencang kembali menyambut kami. Saya menatap lurus ke depan dan mendapati prasasti di dinding yang lebar itu. Nun jauh di sana, terukir abadi nama 422 orang pahlawan yang gugur dalam rentang waktu 19 Desember 1948 sampai 29 Juni 1949. Di situ terdapat pula puisi legendaris "Karawang-Bekasi" karya Chairil Anwar yang dipersembahkan untuk para pahlawan yang tak dikenal namanya.

Saya berpose dengan latar belakang prasasti nama pahlawan nun jauh di depan sana (dok. pribadi)

Mereka -yang namanya terukir itu dan yang tak tersebut- mungkin tidak seterkenal Soekarno-Hatta, tidak punya nama besar seperti Jenderal Soedirman, ataupun pahlawan nasional lainnya. Namun kontribusi mereka untuk kemerdekaan negeri ini jelas tidak bisa dipandang sebelah mata. Mereka telah mengajarkan tentang ketulusan berjuang dengan nyawa sebagai taruhan. 

Merawat Monjali, Cagar Budaya Bernilai Historis Tinggi


Enam catatan di atas hanya sebagian kecil dari hasil pengamatan saya yang terbatas pasca kunjungan ke Monjali. Pastinya banyak hal lain yang bisa digali dan diambil manfaatnya jika kita berkunjung ke salah satu Cagar Budaya kebanggaan Yogyakarta itu. Pelajaran dan manfaat tersebut seharusnya juga dirasakan oleh anak cucu kita sebagai generasi penerus bangsa ini.

Agar manfaat itu terus dirasakan, maka adalah tugas kita bersama untuk merawat Cagar Budaya seperti Monjali yang berupa bangunan dan berisi  benda-benda bernilai sejarah tinggi ini. Adapun upaya perawatan yang harus dilaksanakan oleh pengelola museum dan kita sebagai pengunjung adalah sebagai berikut:

1. Petugas perawat museum yang andal dengan jumlah memadai


Merawat museum itu ternyata lumayan rumit dan butuh ketelatenan. Petugas yang merawat benda-benda museum harus paham betul tentang pengaturan suhu ruangan, pengaturan kelembapan, dan penyinaran yang tepat.

Tepatnya, suhu di dalam museum harus berkisar antara 20-25 derajat celcius. Jika suhunya lebih panas dari itu, koleksi lukisan atau foto bisa cepat mengalami kerusakan karena mengalami pengeringan lebih cepat. Sedangkan kelembapan museum idealnya adalah sekitar 65 % RH. Jika lebih dari itu, jamur akan lebih cepat tumbuh pada benda-benda yang ada.

Higrometer, alat ukur kelembapan udara
Adapun penyinaran pada ruangan museum harus berada pada angka 50 lux dengan ultraviolet 30. Penyinaran yang terlalu tinggi akan membuat benda-benda koleksi museum lebih pudar warnanya dan lebih cepat rapuh seratnya. Hmm, makanya di beberapa bagian ruangan di Monjali memang terkesan suram penerangannya. Ternyata itu ada maksudnya.

Selain andal, petugas yang merawat museum harus berjumlah memadai. Jika jumlah koleksi museum cukup banyak tapi petugas yang merawat sedikit, bisa jadi sebagian koleksi museum menjadi "terlantar" karena dirawat sekadarnya saja.

2. Perlunya digitalisasi museum


Merawat museum tidak hanya mempertahankan benda-benda koleksinya agar tetap terjaga, namun juga menambah "sesuatu" sebagai daya tarik pada koleksi benda-benda museum itu. Ya, digitalisasi. Di zaman serba digital ini, museum pun seharusnya juga mengikuti perkembangan zaman.

Sumber: tempo.co

Misalnya, di samping benda koleksi museum dipasang banner yang terdapat QR Code yang berisi informasi lengkap tentang benda koleksi tersebut. Pengunjung jadi bisa lebih mudah mengakses informasinya melalui gawai yang saat ini dimiliki oleh hampir semua orang. Generasi milenial dan generasi Z pastinya akan lebih tertarik dengan kemudahan ini sehingga tujuan akhir agar mereka lebih peduli pada Cagar Budaya seperti Monjali ini bisa tercapai.

3. Aktif dalam gerakan cinta museum dan Cagar Budaya


Kali ini adalah upaya merawat Cagar Budaya berupa museum yang harus kita lakukan. Merawatnya dimulai dengan mencintai dan mencintai itu dibuktikan dengan sering mengunjungi.

Di Yogyakarta sendiri telah ada komunitas yang bernama Malamuseum yang bergerak di bidang sejarah museum dan Cagar Budaya. Komunitas ini terbentuk sejak tahun 2012 dengan tujuan mengajak masyarakat mencintai tempat bersejarah. Salah satu kegiatan positifnya adalah berwisata edukasi dengan mengunjungi museum di malam hari. Unik, bukan?

Nah, kalau yang ini pas dengan Monjali karena di pelataran Monjali sebelah barat terdapat Taman Pelangi yaitu taman berisi beraneka lampion cantik yang tentunya hanya menyala saat malam hari. Sambil ke Taman Pelangi, sambil ke Monjali. Tentunya "kunjungan khusus" pada malam hari ini harus berkoordinasi dengan pengelola museum karena jam operasional normal Monjali adalah pada pagi sampai siang hari.

Taman Pelangi dengan beragam lampion saat siang hari (dok. pribadi)

Semakin sering kita mengunjungi museum sebagai salah satu Cagar Budaya, semakin banyak pendapatan museum yang didapat dari tiket masuk. Ini tentunya akan menambah anggaran operasional yang berpotensi meningkatkan kualitas dan pelayanan museum tersebut.

4. Menjadi pengunjung museum yang selalu mematuhi aturan


Jika para pengelola museum sudah merawat koleksi museum dengan baik, kita pun harus mendukung upaya mereka dengan selalu mematuhi aturan yang ada. Jangan sampai kunjungan kita malah membawa masalah, apalagi sampai merusak koleksi museum baik secara sengaja atau tidak.

Hal paling utama adalah jangan membawa makanan dan minuman ke dalam lokasi museum. Makanya seperti tersebut di atas, saya dan rombongan makan siang terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam Monjali. Memang perlu stamina yang kuat untuk mengelilingi area museum tanpa diselingi dengan ngemil. Saya saat itu begitu menikmati agenda berkeliling Monjali sehingga seperti lupa akan rasa haus.

Merokok, menggunakan flash, dan berteriak juga merupakan larangan yang berpotensi mengganggu pengunjung lain. Selain itu, asap rokok pastinya bisa meninggalkan aroma tak sedap di ruangan dan pada benda koleksi yang dipajang. Belum lagi kemungkinan timbul percikan api, hiks.

Replika perahu yang dibingkai kaca di ruangan lantai satu Monjali (dok. pribadi)

Di Monjali ada benda-benda yang di tempatkan di ruangan kaca dan ada juga yang dibatasi dengan rantai. Itu semua adalah "rambu-rambu" yang berkata bahwa benda koleksinya cukup dilihat dan dibaca keterangannya saja. Jangan melampaui batas!

Corat-coret? Hoho, big no! Jejak aksi corat-coret ini biasa ditemukan pada destinasi wisata lain seperti pada bangku taman atau tempat duduk. Jangan pernah lakukan hal yang sama pada benda-benda Cagar Budaya! Mereka itu sungguh berharga dan tak tergantikan.

5. Sebarkan melalui tulisan dan media sosial


Hari ini, media sosial turut berperan penting pada kecepatan informasi yang sampai kepada kita. Maka gerakan untuk mencintai dan merawat Cagar Budaya yang telah kita lakukan sebaiknya kita sebarkan juga melalui media sosial yang kita punya. Kampanyekan!

Seperti yang saya lakukan sekarang yaitu menuliskan pengalaman pribadi di blog saat berkunjung ke Monjali berikut menyebarkan link-nya melalui akun media sosial saya. Berharap agar aksi sederhana ini turut membawa dampak positif dalam upaya merawat dan menjaga Cagar Budaya.



Suatu hari nanti, saya ingin mengunjungi lagi Museum Monumen Jogja Kembali dengan durasi yang lebih lama. Bagaimana dengan teman-teman semua?

Yuk, ikutan juga Kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah!”






Salam pecinta Cagar Budaya,

Tatiek


You Might Also Like

9 comments

  1. Tulisan ini informatif sekali. Jadi berasa pingin ke sana akutu. Menikmati cagar budaya dan memahami bagaimana cerita di baliknya. Sepertinya menyenangkan.

    ReplyDelete
  2. Wow sarat informasi dan sangat menarik mengetahui sejarah bangsa kita sendiri ya. Harga tiket masuknya sangat terjangkau, cagar budaya ini juga rapi dan bersih. Kalau dekat seharusnya tak ada alasan tidak mengunjunginya, setidaknya sekali ya Bun.

    ReplyDelete
  3. Lengkap banget mbak infonya dana ku baru tau di Yogya ada museum sekeren ini. Bagus ya untuk napak tilas sejarah di sini

    ReplyDelete
  4. Monjali oh Monjali kenapa aku ketinggalan belum ngajakin anak-anak ke sini..hiks.
    Museum yang lengkap sekali dan artikel ini sangat informatif Mbak Tatiek!
    Dan aku kebayang Garbha Graha..tempat mendoakan para pahlawan yang mendahului kita jadinya.
    Wah, beneran keren konsep museum Monjali ini

    ReplyDelete
  5. Lama gak ke Monjali. Yang diinget kalau ke sini tuh backsoundnya. Begitu masuk museum, lagu-lagu perjuangan berkumandang. Bikin terharuuuuu. Pas banget lho Monjali ini buat tujuan karyawisata anak-anak sekolah. Supaya mereka semakin mencintai negeri dan para pahlawannya. Termasuk mau untuk merawat cagar budaya. Tulisannya lengkakp banget. Gud Luck ya mbak

    ReplyDelete
  6. Keren mb ulasannya lengkap bianged ttg Monjali. Next insha allah kesinu deh. Miga beruntung y mb...

    ReplyDelete
  7. Sebagai orang yang tinggal di luar Pulau Jawa, informasi ini sangat berguna sekaligus menggoda saya untuk berkunjung ke Monjali. Makasih infonya ya..

    ReplyDelete
  8. Dulu waktu ke Yogya, nggak kepikiran mampir ke sini. Tau-nya cuma alun-alun, Malioboro dan Goa Pindul. Insyaallah, lain kali mampir, ahh

    ReplyDelete
  9. Wah bisa nih kyknya untuk destinasi tambahan tour jogja yg biasa ke gua pindul dan malioboro.

    ReplyDelete