Juragan Haji: Jalin Kelindan Perempuan, Kepedihan, dan Pesan Kemanusiaan
- March 03, 2020
- By Tatiek Purwanti
- 6 Comments
Judul Buku: Juragan Haji
Jenis Buku: Kumpulan Cerpen
Penulis: Helvy Tiana Rosa
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku: 181 halaman
Terbit: Agustus 2014
ISBN: 978-602-03-0831-9
"Perih, kamu ini lebih kantoran ya dari orang kantoran! Mana ada orang nyapu ngepel bawa pulpen! Dasar sableng!" serunya.
Aku tak menggubris, hanya memelihara senyuman seorang peri. Aku juga selalu menyempatkan diri membeli buku tipis di warung yang dulu. Pada buku kedua belas, aku mulai berpikir untuk menovelkan diri, kehidupan dan mimpi-mimpi yang tak pernah berhenti mengejarku itu!
"Saya ingin menulis buku, Bu," ujarku pelan pada Bu Waduk 2 saat ia kembali menegur melihat pena yang selalu menyembul dari kantong bajuku.
"Ha ha ha..., apa aku tak salah dengar? Seumur hidup aku tak pernah mendengar seorang pembantu menulis buku! Apalagi sekolah saja tak tamat. Jangan bermimpi, Perih! Nanti kamu bisa tambah perih!" katanya seraya cekikikan.
(Peri Biru, halaman 118)
Cuplikan cerpen berjudul Peri Biru di atas langsung terlintas di pikiran ketika membaca berita tentang Mbak Helvy Tiana Rosa pada akhir bulan Januari 2020 yang lalu. Mantan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) yang juga kakak dari Mbak Asma Nadia itu berhasil meraih gelar Doktor di bidang Pendidikan Bahasa dari Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta dengan predikat sangat memuaskan. Nah, judul disertasinya adalah Proses Kreatif Menulis Cerpen Perempuan Pekerja Rumah Tangga.
Pekerja Rumah Tangga yang dimaksud adalah para TKW asal Indonesia yang bekerja di Hongkong. Mereka tak hanya menjalani pekerjaan hariannya saja namun juga bisa menghasilkan tulisan yang baik. Menurut Mbak Helvy, para Pekerja Rumah Tangga tersebut memiliki proses kreatif dalam kepenulisan yang berbeda dibandingkan para penulis pada umumnya. Secara naluriah, para Pekerja Rumah Tangga itu beradaptasi, menyesuaikan diri dengan pendidikan yang terbatas dan tekanan pekerjaan serta lingkungan yang terus-menerus.
Itu adalah kondisi yang nyaris sama dengan apa yang dialami oleh Peri Biru. Bukan. Ini bukan cerpen fantasi. Memang nama tokohnya adalah Peri Biru. Dia bersama beberapa tokoh perempuan lain mengisi buku kumpulan cerpen karya Mbak Helvy yang diberi judul Juragan Haji. Buku kumcer ini terbit pada tahun 2014 yang lalu, bertepatan dengan musim haji tahun itu. Teman-teman ada yang pernah membacanya juga?
Old is gold. Kisah atau cerita lama sesungguhnya menyimpan pesan yang selalu berkesan dan tidak ketinggalan zaman. Bukankah sejarah selalu berulang? Walaupun buku kumcer ini bukanlah sebuah buku baru, tujuh belas cerpen yang ada di dalamnya masih sangat relevan dengan kondisi hari ini. Simak apa kata Los Angeles Times, "Helvy Tiana Rosa has written 35 books including novels that focus on human-rights abuses againts women in conflict zones such as Aceh or Palestine."
Maka tak ada alasan bagi saya untuk tidak mengabadikan Juragan Haji karya Mbak Helvy ini via ulasan berikut. Yuk, simak!
Para Perempuan dalam Lakon Kehidupan
Selain cerita Peri Biru yang gigih mengejar mimpinya menjadi seorang penulis, ada juga sosok Mak Siti yang juga punya impian terpendam: ingin naik haji seperti majikannya yang sudah tiga kali pergi ke tanah suci. Sebuah impian yang bagai pungguk merindukan bulan untuk seorang pembantu rumah tangga sepertinya. Berapa tahun lagi dia bisa melihat Kakbah jika tabungannya hanya satu juta rupiah saja sementara usianya sudah enam puluh tahun?
Mak Siti yang bermimpi tapi yang hendak diajak berangkat haji tahun ini justru Nona Juragan, anak semata wayang majikannya yang doyan berpakaian seksi dan doyan clubbing. Nona Juragan itu sudah diasuhnya sejak kecil tapi Mak Siti terhalang untuk menanamkan ajaran agama padanya.
"Kalau soal agama, biar saya yang ajarkan. Saya dan suami ini haji! Mak Siti kan belum?!" ujar Bu Juragan, saat ia memergoki Mak Siti mengajar Nona Juragan kecil salat atau membaca Juz Amma. (halaman 70)
Ah, Mak Siti. Bukankah sosok sepertinya dan Sang Juragan juga ada di masyarakat kita?
Mari berkenalan dengan Cut Vi, gadis aktivis nan lincah dari Aceh yang sosoknya tampil di halaman buku paling awal. Yang menceritakan gerak-gerik Cut Vi adalah tokoh 'aku' yaitu Agam Faris. Cerita romansa? Ya, tapi nuansa romansanya unik dan terasa gregetnya. Sebagai penyuka cerita romansa, saya suka sekali dengan cerpen Cut Vi ini.
Aku ingin menjadi istrimu, tulis gadis itu.
Kulipat kembali surat itu. Surat yang telah kusam karena telah terlalu sering kubaca. Bahkan aku masih hafal semua kalimat dalam kertas biru itu.
Aku percaya pada apa yang kulakukan dan tak peduli bila terkesan aku yang melamarmu. Lagi pula apa salahnya meminta pria berbudi menjadi suami? Maka, Agam, sudikah?
Aku melihatnya pertama kali di pinggir jalan raya, dikerumuni beberapa puluh orang. Waktu itu ia sedang menyampaikan orasi mengenai sikap pemerintah dan GAM terhadap wilayah ini. (halaman 1)
Badass Cut Vi! 🙂
Tapi cuplikan kisah selanjutnya membuat saya geli dan bertanya-tanya.
Aku menganggap Cut Vi dan Intan sebagai adik. Adik yang tak pernah kumiliki. Tapi Bang Ismail, kakakku tak percaya.
"Mungkin kau suka pada salah satu di antaranya? Nah yang tak kau suka bolehlah buat Abang. Atau temanmu yang kau ceritakan itu saja yang buat Abang. Yang ada di Jakarta. Siapa? Mawar? Melati? Lupa aku!"
Dasar bujang lapuk. (halaman 4)
Ternyata di hati Agam sudah ada Mawar, gadis cantik dari Jakarta. Kegalauan Agam itu bersamaan dengan datangnya bencana tsunami yang memporak-porandakan Aceh di akhir 2004. Agam kehilangan kontak dengan Cut Vi padahal ia ingin sekali memberi jawaban. Jadi?
Cerita perempuan dan orang yang dikasihinya tentu saja tak selalu semanis madu. Ada tokoh Sih dalam cerpen Pertemuan di Taman Hening, tokoh gadis Dayak dalam cerpen Darahitam, serta tokoh Titin dalam cerpen bergaya kocak Titin Gentayangan. Ketiga cerpen tersebut menggali perasaan perempuan secara mendalam dalam kondisi mereka masing-masing.
Sebelumnya selain kepada Gusti Allah, Sih hanya mau bercerita pada bunga, serangga dan burung-burung kecil di sana. Lalu lelaki itu hadir. Ah, ia rindu untuk menimang bayi. Banyak atau satu pun tak apa. Sih terkesiap saat menyadari boleh jadi Kas berpaling karena kerinduan yang mendesak terhadap kehadiran seorang anak. Seorang anak yang hingga kini belum mampu diberikannya. (halaman 15)
Sih berselingkuh setelah diselingkuhi secara menyakitkan oleh Kas, suaminya. Hmm... Anda setuju dengan cara ini?
Tak seorang pun di desanya yang pernah mengeluh tentang lelaki pendatang itu. Ia bagai bulan yang menerangi desa tersebut. Para penduduk selalu membalas senyuman dan jabat eratnya. Berbagai kalangan di desanya seolah berlomba mencintai lelaki itu.
Sebenarnya beberapa kali lelaki itu mencoba menyapanya baik-baik. Bahkan dengan suara yang lebih lembut dari suara ibu mana pun. (halaman 59)
Sosok seperti itulah yang membuat seorang gadis Dayak yang tak disebut namanya itu diam-diam jatuh hati. Perasaannya tertahan. Sebelumnya telah tercipta sejuta luka karena konflik berdarah antara Suku Dayak dan Madura, suku si lelaki yang mengisi hatinya. Ah, cerpen yang satu ini berhasil mengiris-iris hati saya, hiks.
Kasih tak sampai juga terjadi pada Titin, seorang gadis Betawi yang lantas ingin bunuh diri karena ditinggal menikah oleh Ucup, kekasihnya. Meskipun cantik, ia "kalah" oleh gadis pilihan Ucup yang lebih kaya dan terpelajar. Titin ingin mati dan bertekad akan jadi hantu gentayangan sehingga bisa mengganggu mantannya itu. Hohoho.
Dipejamkan matanya. Sebentar lagi kereta api akan lewat dan akan melindas tubuhnya. Titin berharap ia tak akan merasakan sakit. Ia berharap bisa langsung mati. (halaman 145)
Duh, Titin. Menggelikan di awal namun sebenarnya alur cerpen ini cukup bikin deg-degan. Fiuhhh...
Pesan Kemanusiaan Harus Terus Disuarakan
Selain tentang kisah keseharian dan fenomena sosial perempuan, cerpen yang lain dengan kekuatan diksi dan alur memukaunya memaksa saya untuk merenung bahwa sisi lain dunia sungguh tidak ramah. Kedamaian amat mahal harganya dan konflik berdarah antar manusia seakan sebuah hal yang biasa.
Cerita tentang kepedihan dan masih juga menyertakan perempuan tergambar dari penuturan dua tokoh cerpen yang bukan manusia. Ya, sampai-sampai angin dan danau pun ikut menyuarakannya.
Dalam cerpen Sebab Aku Cinta, Sebab Aku Angin, ada angin yang berkisah tentang mengerikannya tragedi berdarah di Ambon pada awal tahun 1999. Si angin adalah pengagum dan pembela seorang gadis muslimah pemberani yang dipanggilnya "Cinta".
"Cinta, menangislah," kataku dengan suara risau mendesau.
Perempuan itu menatap puing-puing bangunan masjid, di seberang kami. Lama sekali. "Beta seng bisa manangis," suaranya bergetar, rahangnya mengeras.
Tetapi aku sangat ingin, bisikku. Tubuhku berguncang, bergetar. Berputar. Semakin lama semakin kencang. Meliuk-liuk....
(halaman 104)
Sedangkan Danau Kivu yang terdapat di Kota Bukavu, Rwanda, Afrika menceritakan kepedihan yang serupa. Danau yang dulu pernah dipuji keindahannya oleh Ernest Hemingway ini menjadi saksi atas konflik berkepanjangan antara Suku Tutsi dan Suku Hutu. Cerpen Kivu Bukavu bertutur tentang ini.
Sejak dua tahun yang lalu itu, keindahanku mulai memudar. Aku mengharap pelangi, tetapi di dekatku hanyalah mayat-mayat berserakan. Sampah-sampah bertebaran, air mata duka dan riak percikan darah.... (halaman 155)
Cerpen Lorong Kematian menyajikan sebuah kekejian yang dilakukan oleh tentara Serbia kepada warga Bosnia. Membacanya sungguh membuat saya muak; sungguh mereka bukan manusia! Hampir sama dengan cerpen Hingga Batu Bicara yang mengambil latar konflik di Palestina. Pedih. Menariknya, di situ ada penggambaran seorang tentara Israel yang masih punya hati nurani. Ia sering menyaksikan tingkah laku seorang gadis Palestina penggenggam 'senjata' yaitu batu.
Negeri kita juga punya kisah penjajahan yang tak kalah kejam. Cerpen Idis menghadirkan kisah perlawanan Demang Lehman dan rakyat dari tanah Martapura, Banjar, Kalimantan Selatan melawan Belanda. Pilu, karena beberapa orang Banjar berkhianat dengan memihak Belanda demi harta yang fana.
Kini negeri kita sudah merdeka, pun perjuangan hak asasi manusia telah bergaung ke seluruh penjuru dunia. Namun konflik antar manusia dan tragedi kemanusiaan seakan tak jua sirna.
Tragedi mencekam di Aceh tergambar dengan apik dalam cerpen Pulang dan Jaring-jaring Merah. Sementara cerpen Ze Akan Mati Ditembak! menceritakan tentang pemuda dari bumi Lorosae yang ingin menyuarakan perdamaian setelah Timor Timur lepas dari Indonesia.
Sejatinya, semua manusia ingin menghirup suasana damai dan persaudaraan. Namun jika tragedi terus berlangsung, bisa jadi ada manusia tak berhati yang ingin agar kekacauan terus terjadi. Cerpen Lelaki Kabut dan Boneka bertalian dengan cerpen Lelaki Semesta. Siapa sebenarnya 'aktor' di balik tragedi Bom Bali dan juga aksi terorisme yang tak kunjung selesai di negeri ini? Siapa yang harus kita salahkan?
Sisi lain hidup sungguh rumit tetapi pasti kita bisa berbuat walaupun sedikit. Mari mulai dahulu dari diri kita sendiri. Mari sadari hakikat diri; untuk apa kita diciptakan? Seperti pesan dari Danau Kivu yang menjadi kutipan favorit saya dari buku kumcer ini:
"Ya Allah, aku pun menjadi korban atas kebencian para manusia yang tak tahu hakikat diri. Tak bisakah Suku Tutsi dan Suku Hutu bersahabat sebagaimana persahabatanku dengan mentari, rembulan, dan awan? Hidup dalam damai seperti kedamaian yang kurasakan bersama pepohonan dan para satwa di sekitarku?" (halaman 155)
Ya, ya. Segala tragedi dan kekacauan di muka bumi pasti akan tetap hadir sepanjang manusia masih mengedepankan hawa nafsunya. Ia tak akan hilang sama sekali. Kita wajib berusaha lalu jangan lupa untuk menyelipkan rasa syukur di tengah-tengahnya. Jangan sampai kita tak mampu lagi melakukan hal sederhana seperti tersenyum.
"Ya..., aku mencari sesuatu yang sangat berharga, yang tiba-tiba saja tercerabut dari wajah semua orang di kota kami. Sebuah senyuman." (Mencari Senyum, halaman 83)
Salam persaudaraan,
Tatiek
6 comments
Pesan kemanusiaannya semoga tersampaikan. Keren tulisannya.
ReplyDeletemakasih reviewnya
ReplyDeleteMashaAllah, cerpennya badas banget. Keren.
ReplyDeleteYuni jadi minder, rasanya pingin narik semua cerpen yuni yang udah dishare di blog.
Hiks.
Stunning! Masya Allah jadi gregetan buat baca full. Cerita keseharian yang ketika disajikan dengan cermat menjadi luar biasa menarik.
ReplyDeleteMashaAllah deretan kata mbak Helvi sungguh meresap di hati terdalam. Bagaimana ia menggambarkan sebuah perjuangan perempuan. Ah, aku sebenernya sejak dulu pengen beli buku Juragan Haji. Apalagi aku sangat mengidolakan kakak mbak Asma Nadia ini. Tapi entah kenapa maju mundur. Yes, setelah membaca review yang memukau dari mbak, gak ada alasan untuk membaca utuhnya. Kumpulan cerpen selalu membuatku tertarik :))
ReplyDeleteJadi penasaran deh sama bukunya secara keseluruhan. Kira-kira masih ada gak nih mbak di toko buku?
ReplyDelete