Ketika Raisa Andriana berkata dalam baris-baris liriknya:
Tanpamu langit tak berbintang
Tanpamu hampa yang kurasa
Di situ saya ingin bilang: “Anda benar, Neng!”
Saya kira demikian juga yang dirasakan oleh para pejuang Long Distance Relationship a.k.a LDR yang lainnya. LDR, atau ada juga yang menyebut istilah ini sebagai LDM alias Long Distance Marriage, karena ingin lebih spesifik menggambarkan sebuah hubungan dalam ikatan pernikahan. Yang jelas, keduanya punya hakikat yang sama; untuk menyebutkan sebuah kisah cinta yang terpisah jarak. Dan kami lah satu pasangan di antara para pejuang itu.
Kenapa sih Harus LDR?
Lalu, jika sudah tahu bahwa ‘menahan rindu itu pedih, Jendral!’, kenapa juga sih masih memilih untuk menjalaninya? Pastinya ada beragam alasan yang mendasari para pejuangnya. Sama kok dengan mereka yang juga punya alasan untuk tetap bersama dalam segala suasana.
Sejak kami memutuskan untuk pulang kampung seterusnya ke Jawa, setelah sebelumnya berpetualang, sebenarnya kami sudah bersiap-siap akan konsekuensi LDR ini. Iya dong, pekerjaan apapun asal halal akan kami jalani, dimana pun tempatnya. Yang saya sebut terakhir itu adalah sebagai pernyataan bahwa jika harus LDR pun, ayo deh. Bismillah…
Baca juga: Serenada Mapan (Sebuah Catatan di Ramadhan 1436 H)
Empat tahun pertama tinggal di Malang, kami berhasil menghindar dari kemungkinan LDR yang terjadi. Karena saya dan suami memilih bekerja di seputar Malang Raya saja. Tapi setelah empat tahun berlalu dan saya memutuskan untuk resign, ternyata si rezeki harus dijemput di tempat yang agak jauh sedikit via suami saya, Surabaya.
Berwirausaha sudah pernah, tapi sepertinya bukan di situ minat terbaiknya. Passion tiap orang berbeda, bukan? Nah, akhirnya sejak akhir 2014 kami resmi menyandang sebagai pejuang LDR itu. So, alasan kami ber-LDR adalah karena pekerjaan suami. Dan walaupun saya tidak melakukan survei, saya kira alasan itu juga yang mendasari banyak para pejuang LDR lain di luar sana.
Sumber: IG @miladyarahmawati |
Seorang teman saya bisa mewakili alasan lain tentang mengapa sebuah pasangan menjadi pejuang LDR, yaitu karena pendidikan. Suaminya harus menempuh kuliah S2 di kota yang jauh dari tempat tinggalnya. Sementara teman saya dan anak-anaknya tidak bisa ikut, terkait pekerjaannya sebagai seorang guru.
Bahkan seorang teman saya yang lain sudah merencanakan LDR jika ia menikah dengan pilihan hatinya. Katanya, ia akan tetap bekerja di tempatnya yang sekarang. Sedangkan suaminya nanti juga tetap bekerja di lain kota, sesuai kondisi semula. Menurut dia, memang itu tidak akan selamanya. Tetapi LDR tersebut akan menjadi pilihan terbaik yang diambil, begitu bahtera rumah tangga mereka berlayar.
Egois kah yang demikian?
Bagi kami yang menjalani, tentu saja tidak demikian. Pilihan LDR adalah batu loncatan untuk sebuah perbaikan. Suami saya misalnya. Di tempat kerjanya yang baru, ia bisa mendapatkan ilmu dan pengalaman yang sebelumnya belum pernah didapatkan. Training ini-itu, sampai berkunjung ke beberapa tempat karena ditugaskan di sana. Di luar pekerjaan resminya, ia juga bisa memberikan kontribusi lebih berdasarkan minatnya, yang sebelumnya kurang bisa dilakukan di tempat kerja yang lama. Apa itu? Ada deh... 😜
Saya kira, suami teman saya yang sedang berkuliah itu juga mendapatkan tambahan ilmu, teman, atau hal-hal baru. Walaupun untuk mendapatkan itu, ia harus berpindah tempat dan menahan rindu.
Komentar orang lain pastinya ada. Karena tentu saja kita tidak dapat mengendalikan pikiran orang lain agar berpendapat sama. Kami? Menikmatinya saja.
LDR Itu... ‘Sesuatu’
Walaupun LDR itu seakan adalah ‘gaya hidup’ sebagian pasangan masa kini, sebenarnya ia sudah terjadi sejak dahulu kala. Nabi Ibrahim ‘alaihissalaam dan istrinya, Hajar pernah menjalaninya dan kisah cinta jarak jauh mereka abadi sepanjang masa.
LDR mereka menjadi sebuah contoh ketaaatan seorang suami dalam menjalankan ‘tugas’ dari Tuhannya. Juga tentang keikhlasan istri saat ditinggalkan suami, karena tahu bahwa LDR-nya adalah karena perintah Rabb-nya. Buah hati mereka, Ismail, tetap tumbuh menjadi anak salih walaupun berjauhan dari ayahnya, dan bahkan kelak menjadi nabi juga.
Dua lelaki pilihan dalam hidup saya 😍 |
Pun pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, ada aturan tentang lamanya seorang suami bepergian atau berperang. Beliau menetapkan batas maksimalnya adalah enam bulan. Jangka waktu tersebut dianggap batas terlama bagi para istri untuk bersabar saat ditinggal pergi.
Nah, pada kedua contoh di atas memang mengisyaratkan ada ‘sesuatu’ pada LDR. Versi kami sih ‘sesuatu’ itulah yang membuat kami sejauh ini bisa menikmati indahnya LDR ini.
1. Jarak Jauh yang Dekat
Hehe… maksudnya, jarak antara Surabaya dan Malang yang ‘hanya’ seratus kilometer-an itu membuat perjalanan pulang-pergi suami saya tetap bisa dinikmatinya. Tidak terlalu melelahkan lah. Saya pun tidak terlalu was-was saat menunggunya pulang dan menanti kabarnya saat ia tiba di tempatnya. Alhamdulillah.
2. Kepulangan yang Rutin
Suami saya ‘hanya’ perlu menjalani lima hari kerja dan mendapatkan off day di hari Sabtu dan Ahad. Seringnya sih tidak lembur dan itu membuat waktu kepulangannya menjadi teratur. Saya tidak perlu menunggu sampai enam bulan seperti kisah para istri di zaman Khalifah Umar. Anak-anak saya pun tetap bisa mendapatkan kasih sayang ayahnya dalam dua hari itu secara face to face.
Cinta adalah... melihat ketiganya bercengkerama gembira 💝 |
3. Komunikasi Lancar Jaya
Komunikasi para pejuang LDR masa kini sangat dimudahkan karena kemajuan teknologi. Begitu juga kami. Setiap saat, kami tetap bisa ber-video call, menelepon, dan yang paling sering sih berkirim kabar via instant messaging. Si kakak Afra pun bisa tetap mengadu dan curhat ini-itu kepada Abi-nya. Dan jika si Abi kelupaan mengisi paket data, tetap bisa numpang wi-fi gratis di tempat kerjanya, hehe.
4. Saling Percaya
Ini tentu saja menjadi modal penting dalam menjalani LDR. Dan bisa menjadi genting jika ini tidak lagi ada. Kami bisa saling mempercayai karena sudah tahu karakter masing-masing. Tentu saja ada doa-doa yang terucap agar modal saling percaya itu tetap bertahan.
Bagi saya sendiri, LDR menjadi pembelajaran berharga untuk meraih kriteria sebagai istri salihah:
“Maka wanita-wanita yang salihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, karena Allah telah memelihara mereka” (QS. An-Nisa’: 34)
5. Dukungan dari Keluarga
Dalam hal ini, terutama adalah support dari ibunda saya. Beliau lah yang menemani saya menjaga dua buah hati kami. Salah satu yang paling melegakan adalah pendampingan beliau pasca saya melahirkan. Saat itu suami saya sudah kembali bertugas setelah menjalani jatah cutinya.
Dalam sebuah referensi yang saya baca, dukungan dari keluarga bisa meringankan ‘penyakit’ yang timbul akibat berjauhan dari pasangan. Misalnya: ada tempat curhat yang tepat ataupun menjadi penasihat saat pasutri pejuang LDR sedang bersitegang. Alhamdulillah, sejauh ini kami belum pernah sampai ‘ditengahi’ semacam itu.
6. LDR Pasti Berlalu
Pastinya, kami tidak akan selamanya menjalani ini. Sebagaimana Nabi Ibrahim dan para suami yang berperang itu, yang akhirnya pulang kepada anak-istrinya, suatu hari kami akan berkumpul kembali di suatu tempat yang sama. Insya Allah. Rencana itu terus kami susun bersama. Dan karenanya, LDR ini pun terasa nikmat dijalani karena ada tujuan akhirnya.
Seorang teman saya yang sekarang tinggal di salah satu negeri Arab, memutuskan untuk mengikuti suaminya yang bekerja di sana. Mereka sempat menjalani LDR selama tiga tahun saat suaminya masih bekerja di dalam negeri.
Menurutnya, lebih baik mereka bersama demi menyaksikan tumbuh kembang anaknya. Walaupun sebenarnya jika mereka tetap melakukan LDR, justru gaji suaminya bisa ditabung lebih banyak. Saat ini, biaya hidup yang dikeluarkan mereka cukup menguras kantong karena sewa apartemen dan biaya sekolah di sana cukup mahal.
Mutiara Penghias Jiwa
Rasanya kurang pas jika mengakhiri tulisan tanpa quotes, hehe. Berikut adalah enam buah quotes yang saya ambil dari Mbah Gugel dan saya sesuaikan dengan ‘isi’ masing-masing nomor di atas.
1. Distance is just a test to see how far true love can travel (Unknown)
2. One father is more than a hundred schoolmasters. (George Herbert)
3. Distance doesn’t ruin a relationship, doubts do. (Unknown)
4. Distance isn’t a big factor in a relationship, communication is. But most of all, commitment is the most important one. (Unknown)
5. Alone does not mean lonely, and loneliness does not mean you are alone. (Unknown)
6. The pain of parting is nothing to the joy of meeting again. (Charles Dickens)
So, bagi Anda yang belum merasakan LDR, memang tidak harus mencobanya. Bagi yang sedang menjalaninya, yuk kita nikmati saja. Dan bagi yang sudah mengakhirinya, selamat! Anda telah merasakan sebuah petualangan yang tidak semua insan bisa menaklukkannya.
***
Pakisaji, Malang, 26 Agustus 2017
Tatiek Ummu Hamasah Afra
==============================================
Referensi: Majalah Ummi No. 11/XXV/November 2013
Cover picture by Pixabay
0 comments