Dari Jumat ke Jumat, Mudik Lebaran yang Selalu Diingat


Hari ini tepat 18 Syawal 1439 Hijriyah, masih belum terlambat untuk menuliskan cerita tentang mudik lebaran kemarin. Lagipula, saya tidak ingin blog ini berdebu lebih banyak lagi, hehe. Kisah seputar lebaran pastinya penuh warna dan layak untuk dikenang dengan dituliskan. Agree?

Sejak saya kecil, mudik -yang merupakan tradisi lebaran di Indonesia- adalah rutinitas yang kami lakukan setiap tahun. Tidak lain karena ibu saya tinggalnya terpisah dari kakek, nenek, dan saudara-saudaranya di Blitar sana. Maka setiap lebaran hari kedua, kami sekeluarga langsung meluncur ke kota sebelah tersebut. Tidak terlalu jauh memang, tapi sungguh mengasyikkan.

Setelah menikah di tahun 2005, saya dan suami sempat menjadi penduduk Batam sampai akhir tahun 2010. Setelahnya, kami pulang seterusnya ke Jawa agar lebih dekat dengan orangtua. Kami pun memutuskan tinggal di Malang, Jawa Timur. Maka, mudik ke Solo, Jawa Tengah adalah keniscayaan bagi keluarga kecil saya setiap lebaran tiba. Di sanalah mertua dan para saudara ipar saya tinggal.

Pertama Kali Mudik dengan Kendaraan Pribadi

Alhamdulillah, lebaran tahun 2018 ini kami bisa mudik ke Solo memakai kendaraan pribadi. Sebelumnya, kami berganti-ganti moda transportasi mulai dari carter mobil, bus Rosalia Indah, kereta api, dan mobil travel. Hanya pesawat saja yang belum pernah kami tumpangi menuju Solo, hehe. Terlalu dekat dan… mahal, atuh.

Nah, yang terakhir saya sebut itu menjadi pertimbangan kami. Ya, mahal. Tiket travel tiap tahun selalu naik harganya. Sementara anggota keluarga kami bertambah satu dengan hadirnya si adek. Semakin besar dia, tentunya dia akan dikenai biaya tiket sendiri suatu hari nanti. So, memiliki kendaraan pribadi akhirnya menjadi keputusan kami beberapa bulan yang lalu. Bukan mobil baru memang, karena kami menyesuaikan dengan isi kantong. Yang penting kondisinya masih tergolong bagus dan mesinnya oke.


Selain ingin lebih hemat, saya dan suami ingin mengajarkan kepada anak kami tentang arti kesabaran dan kerja sama tim dalam sebuah perjalanan. Jika sebelumnya kami banyak tertidur saat berada di dalam kendaraan umum, tentunya itu tidak bisa kami lakukan lagi jika memakai kendaraan pribadi. Maka si Afra pun menjadi navigator dengan google map di tangan, duduk di samping suami saya yang mengendali mobil supaya baik jalannya, hehe. Ya, suami saya hanya hapal rute dari Malang ke Tulungagung. Beliau masih perlu panduan saat menyusuri jalanan di Kediri, Nganjuk, Madiun, dan Ngawi. Saya tentu saja berada di jok belakang bersama si kecil yang tangannya tidak bisa diam itu :)

Mudik Tepat di Hari Lebaran

Sejak beberapa hari sebelum lebaran, televisi sudah memberitakan arus mudik. Menurut saya mereka itu keren karena sanggup melakukan perjalanan -yang mungkin jauh- saat berpuasa. Mereka punya senjata dua doa yang makbul. Ya, doa yang niscaya dikabulkan Allah Swt adalah doanya orang yang sedang di dalam perjalanan dan doa orang yang sedang berpuasa.


Kami sendiri memutuskan untuk mudik ke Solo pas di hari H lebaran. Libur lebaran suami saya baru dimulai pada hari H-2 dan itu kami manfaatkan untuk kebersamaan keluarga di akhir Ramadan. Menurut pertimbangan kami pun jalanan akan sedikit sepi saat hari H sehingga bisa meminimalisir bertemu dengan kemacetan. Walaupun menurut informasi yang berseliweran, kemacetan jauh berkurang dari tahun lalu karena sudah aktifnya beberapa ruas jalan tol yang baru diresmikan pemerintah.

Jalanan masih sepi saat kami sekeluarga menembus  Jumat pagi pada tanggal 15 Juni 2018 atau 1 Syawal 1439 Hijriyah. Saat itu masih pukul setengah lima pagi, udara masih lumayan menusuk tulang. Sisa-sisa petasan yang biasa dibunyikan saat malam takbiran tampak bertebaran di jalan. Sayup-sayup terdengar takbir dilantunkan selepas Subuh. Duh, ada rasa yang tidak bisa saya lukiskan. Sedih karena Ramadan telah benar-benar pergi, tapi juga bahagia karena kami akan segera bertemu keluarga.

Sekitar pukul enam, kami tiba di daerah Wlingi, kabupaten Blitar. Banyak mobil berjajar di area pom bensin yang dekat dengan Masjid Agung Miftahul Jannah, Wlingi. Rupanya itu milik para pemudik seperti kami yang akan menunaikan salat Ied di sana. Kami pun berhenti dan bergabung bersama mereka. Untuk pertama kalinya kami mendirikan salat sunnah muakkad itu bukan di masjid desa kami. Jumlah jamaah salatnya tentu saja banyak dan padat. Allahu akbar wa lillahilhamd...

Masjid Agung Miftahul Jannah, Wlingi, Blitar
Sumber: flickr.com

Khutbah Idulfitri yang disampaikan khatib cukup panjang. Kami baru meninggalkan area tersebut menjelang pukul delapan. Alhamdulillah, perkiraan kami benar karena jalanan yang kami lalui lumayan lengang. Tapi ada sedikit problem saat kami mulai masuk wilayah Kediri. Maunya sih mencari jalan pintas tapi akhirnya malah muter-muter gak jelas. Hoho, navigatornya bingung. Alhasil pak sopir ikutan bingung, deh. Kami memutuskan rehat sejenak di sebuah pom bensin yang ada di situ. (lupa di daerah Kediri sebelah mana).

Alhamdulillah, akhirnya kami bisa keluar juga dari Kediri beberapa saat kemudian. Merdeka! Hehe... Selanjutnya, suami memutuskan untuk tidak masuk tol karena toh -di luar kasus tersesat- perjalanan kami tergolong lancar jaya. Ada sih tantangan lain yaitu kejenuhan si kecil di dalam mobil. Bisa dimaklumi karena ini adalah perjalanan jauh pertamanya di siang hari. Lebaran tahun lalu, dia asyik tertidur di dalam mobil travel yang berangkat malam hari. Akhirnya kami mengambil jeda istirahat agak lama di masjid di daerah Karangjati, kabupaten Ngawi, saat Zuhur tiba. Si kecil berlarian riang begitu kakinya menginjak lantai masjid tersebut.

Senangnya dia saat 'dilepas' keluar 😁

Nah, dalam perjalanan kami tersebut, suami saya melaksanakan salat Zuhur dan tidak melaksanakan salat Jumat. Beliau memilih pendapat berdasarkan hadits berikut:

Diriwayatkan dari Iyas bin Abi Romlah Asy Syamiy, ia berkata, “Aku pernah menemani Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ia bertanya pada Zaid bin Arqom,
“Apakah engkau pernah menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan dua Ied (Idulfitri atau Idul Adha bertemu dengan hari Jumat) dalam satu hari?”
“Iya,” jawab Zaid.
Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi, “Apa yang beliau lakukan ketika itu?”
“Beliau melaksanakan shalat Ied dan memberi keringanan untuk meninggalkan shalat Jum’at,” jawab Zaid lagi.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang mau shalat Jumat, maka silakan.”
(HR. Abu Daud no. 1070, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1310. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)

Rencana ke Jogja yang Tertunda

Sekitar pukul setengah tiga sore, mobil kami berhasil tiba di depan rumah mertua dengan selamat. Alhamdulillah, not bad. Tiga ratus kilometer-an kami tempuh dalam waktu sepuluh jam, dengan tiga kali berhenti yang cukup lama. Capek, sih. Tapi bahagianya tak terkira.

Good job, Sir 😊👍

Karena masih merasa lelah, keesokan harinya kami baru bisa berkeliling ke rumah saudara dan kerabat. Senangnya bisa bertukar cerita dan kisah setelah satu tahun kami tidak berjumpa. Dua hari setelahnya pun kami masih berkeliling untuk mengunjungi kerabat di Klaten dan menjenguk kerabat yang sakit. Ada pula acara arisan keluarga besar yang diselenggarakan di rumah mertua. Walaupun acara itu di luar rencana kami, tentu saja kami senang karena bisa berkumpul dengan para sepupu jauh yang selama ini sulit ditemui.

Setelah kelar rangkaian silaturahmi, kami berencana untuk menyisihkan waktu dua hari agar bisa pergi ke Jogja. Eh, ternyata si mobil sedikit bermasalah setelah pengisian freon. Kutak-kutik dulu, deh seharian. Praktis kami hanya punya waktu luang di hari Kamis dan planning-nya sih kami akan pulang di hari Jumat-nya. Mosok ke Jogja cuma sehari? Ah, jadi terburu-buru, dong…

Suami saya sih lempeng saja karena dia setiap tahun pergi ke Jogja selama tiga tahun terakhir ini. Sementara saya sendiri, terakhir kali ke Jogja empat tahun yang lalu. Lalu kecewa kah saya? Alhamdulillah, tidak, saudara-saudara. Masih ada banyak waktu, insya Allah. Karena bagi saya yang paling penting adalah agenda silaturahmi sudah terlaksana semua.



Akhirnya, kami memutuskan berkeliling kota Solo pada hari Kamis. Kami ngadem di Taman Sriwedari dan melihat-lihat museum Radya Pustaka. Duh, baru sekali saya masuk ke Museum itu walaupun sebelumnya sudah melewatinya berkali-kali. Selengkapnya akan saya ceritakan di tulisan selanjutnya, ya.

Balik (juga) di Hari Jumat

Ingin rasanya lebih lama berada di Solo. Walaupun hawanya lebih panas dari Malang, tapi suasananya  selalu ngangenin. Apalah daya ada batas waktu yang tidak bisa kami langgar. Kami masih harus mudik (lagi) ke Blitar di hari Sabtu dan Ahad. Lalu, suami saya harus kembali masuk kerja di hari Senin tanggal 25 Juni 2018. Duh, kemesraan ini kenapa cepat berlalu?

Saya dan areal persawahan di Sukoharjo,
lumbung padi terbesar di Jawa Tengah.

Dengan berat hati kami pun berpamitan pada Jumat pagi, selepas Subuh. Ada keharuan yang menyeruak saat bersalaman dengan bapak mertua yang sedang diuji sakit yang berkepanjangan. Semoga lekas sembuh ya, Eyang Kakung. Aamiin.

Alhamdulillah, perjalanan pulang berlangsung lebih lancar. Tidak ada kemacetan yang berarti. Tidak ada acara tersesat, berhenti pun hanya sesaat. Kami berhenti agak lama di Tulungagung saat waktu salat Jumat tiba. Tentu saja suami saya kali ini menunaikan salat Jumat seperti biasanya. Berhenti lagi agak lama di Blitar untuk mengisi perut yang keroncongan. Setelah itu, lanjuuut...

Sekitar pukul tiga sore, Allah Swt pun menyampaikan kami di rumah dengan selamat. Ah, sungguh perjalanan yang seru. Ibunda saya segera menyambut kami dengan hangat. Sementara itu, udara dan air khas Malang menyambut kami dengan dingin. Brrrr…

Solo, we will miss you!




Sumber hadits: rumaysho.com

You Might Also Like

11 comments

  1. Alhamdulillah, barokalloh ya, Mbak. Silaturahmi sudah semakin mudah dengan adanya kendaraan pribadi. Tahun ini kami juga mudiknya agak berbeda. Biasanya kami hanya berempat, tapi tahun ini ada adik ipar yang sekarang kerja di Jakarta dan mertua yang kebetulan selama Ramadan di Jakarta. Mudik memang selalu meninggalkan kesan dan cerita yang mendalam. Untuk kita juga anak-anak

    ReplyDelete
  2. Mudik memang ga pernah habis klo diceritain ya. Saya jg pernah sekali mudik menggunakan mobil & nyupir gantian dg suami. Tp repotnya suami ga tau jalan & ga bisa baca peta, dulu blm ada google map & waze..pdhal itu kampung suami..hahaha...yg repot klo mudik bawa.mobil, pulangnya mobil penuh oleh2 dr adik32, sampai beras segala..hahaha
    Tp memang seruuuu...

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah ya Mbak. Mudik pun berjalan lancar. Seru kisahnya. Saya belum pernah ngerasain mudik 😸

    ReplyDelete
  4. Pastinya seru mudik di hari Idul Fitri. Saya pernah mudik di malam takbiran. Masih terbayang sampai sekarang. Suasananya berbeda dengan mudik saat Ramadhan.

    ReplyDelete
  5. Wah asyikkk Bunda, mudiknya udah pakao kendaraan pribady. Pasti anak-anak juga seneng ya, nggak perlu berkali-kali kendaraan juga 😍

    ReplyDelete
  6. Asyik ya mbak.bisa mudik. Saya mudiknya satu jam aja. Terus tuh si kecil gak rewel ya? Hebat.
    Lho.. Malang mana? Harus meet up nih. Hehe

    ReplyDelete
  7. Whuaaa cerita mudik memang selalu seru ya.. Banyak manfaat yg bisa didapat dari mudik.

    ReplyDelete
  8. Waaah kalo ke Jogja bisa mit ap kemarin kita ya mba hehe.. wah dirimu di Malang ya? Aku pengen banget ke sana hehe

    ReplyDelete
  9. Mbak Tatiiiek, ikut senang dengar cerita mudik ������ apalagi pakai mobil pribadi, bisa bebas kemana-mana yaaa Mbak. Barakallah Mbak Tatiek, kangeeenn

    ReplyDelete
  10. Mbak Tatiek... nyasar di Kediri pas aku enggak ada..yaaahh Tahu gitu aku jemput.
    Alhamdulillah mudiknya lancar jaya. Silaturahmi pun bisa terlaksana.

    ReplyDelete
  11. Tradisi mudik itu memang unik. Rela bermacet-macetan demi bertemu dengan handai taulan. Dan ternyata bukan saya aja yang pernah nyasar waktu mau mudik ...hehehe.
    Meskipun begitu, ngangenin ya, Mbak :)

    ReplyDelete