Judul buku : Rumah Tanpa Jendela
Penulis : Asma Nadia
Tahun terbit : Cetakan ke-1, Oktober 2017
Penerbit : Republika
Jumlah halaman : 215 halaman
ISBN : 978-602-0822-85-3
Jendela adalah salah satu komponen bangunan yang penting. Sama pentingnya dengan keberadaan pintu. Jika pintu berfungsi sebagai tempat keluar masuknya sang penghuni bangunan, jendela dimaksudkan sebagai tempat sirkulasi udara dan cahaya. Keberadaannya menjadikan kondisi bagian dalam bangunan lebih sehat dan tidak pengap.
Tapi ternyata tidak semua bangunan memiliki jendela. Asma Nadia, salah satu penulis perempuan produktif Indonesia, melukiskan kisah tentang rumah tak berjendela milik Rara. Dia adalah seorang gadis kecil ceria berusia delapan tahun yang amat menginginkan sebuah jendela bagi rumah tripleksnya. Rara dan kedua orang tuanya yang bekerja sebagai pemulung itu tinggal di sebuah perkampungan kumuh di daerah Menteng Pulo, Jakarta, dekat dengan kompleks pekuburan Cina.
Semua rumah sempit di situ tidak memiliki jendela. Padahal Rara ingin sekali bisa menatap apa yang terjadi di luar rumahnya dari dalam saja, tanpa perlu membuka pintu. Dia ingin menyaksikan titik air hujan yang turun satu-satu. Juga cahaya bulan di malam hari. Caranya? Tentu saja harus ada jendela di rumahnya.
Mimpi sederhananya untuk memiliki jendela itu kerap mendapatkan ejekan dari teman-teman bermainnya. Mimpi yang aneh, kata mereka. Karena biasanya keinginan anak seusia Rara adalah seputar baju bagus atau mainan. Tapi Rara tetap yakin bahwa suatu hari nanti rumahnya akan memiliki jendela. Keyakinan itu ia tuangkan dalam gambar-gambar yang dibuatnya.
Sejak itu, goresan di buku gambar berubah. Tak lagi bangunan reyot segi empat berwarna cokelat dengan satu pintu, melainkan dilengkapi dua jendela besar dengan pot bunga cantik. (halaman 17)
Rara terus memelihara mimpi itu. Ayah dan ibunya yang penyabar berusaha mengabulkan keinginan putri semata wayang mereka. Ayahnya bekerja lebih keras, ibunya menyemangati Rara agar semakin sering berdoa. Juga mengajarinya untuk membayangkan hal-hal indah dengan memejamkan mata. Setiap melakukannya, Rara serasa berada di dunia lain yang penuh warna. Pintu mimpi, begitu Rara menyebutnya. Sampai suatu hari, pintu mimpi itu menghilang karena Rara dilanda kesedihan. Ibunya yang tengah mengandung adiknya, meninggal dunia karena pendarahan.
Pintu mimpi Rara hadir kembali saat dia dan teman-temannya mulai bersekolah di sekolah singgah. Sebuah sekolah sederhana bagi anak-anak pemulung yang didirikan oleh Bu Alia dan teman-temannya. Pertemuan dengan Bu Alia, guru muda berhijab yang cantik dan baik hati itu dicatat Rara sebagai salah satu hari terindah dalam hidupnya. Ya, dia akhirnya bisa bersekolah tanpa harus memberatkan orang tuanya dari segi biaya.
Sementara itu, bahan baku jendela sudah ada di tangan ayah Rara, siap untuk dipasang di rumah sederhana mereka. Tapi kebakaran besar mengubah lagi jalan hidup Rara. Dia harus kehilangan rumah sekaligus ayahnya. Padahal baru saja hidup Rara lebih berwarna saat dia bertemu dengan Aldo secara tidak sengaja. Rara terserempet mobil yang dikendarai Aldo dan neneknya.
Rara pun akhirnya berteman baik dengan Aldo, seorang anak autis yang kondisinya membuat malu kedua orang tua dan kakak perempuannya, Andini. Hanya nenek dan Adam, kakak laki-lakinya, yang peduli pada kondisi Aldo. Pertemuan Rara dan Aldo adalah sebuah anugerah. Aldo bersuka cita karena bertambah teman yang peduli padanya. Sementara Rara bisa menikmati jendela-jendela besar dan indah saat dia bermain di rumah Aldo yang mewah. Mimpinya tentang jendela masih akan diteruskannya.
Hal pertama yang akan dilakukan Rara setelah bangun tidur adalah berlari ke arah jendela besar kamar yang ditempatinya. Melemparkan pandangan ke perkebunan teh menghijau yang terhampar ke mana pun mata memandang. (halaman 181)
Membaca novel yang pernah diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama ini akan membuat kita berpikir ulang jika ingin mengeluh tentang kondisi keseharian. Kita yang pada umumnya memiliki jendela lebih dari satu di rumah, seharusnya menjadi manusia yang pandai bersyukur. Kehadiran jendela yang bagi kita biasa-biasa saja ternyata bagi orang lain yang kurang mampu adalah sebuah mimpi dan kemewahan tersendiri.
Dengan bahasa yang mudah dipahami dan diksi khas ala Asma Nadia, novel ini juga memberi pesan syukur dari sudut yang lain melalui tokoh Aldo. Bagaimanapun kondisi seorang anak, dia adalah anugerah terindah bagi orang tua dan keluarganya. Autis itu bukan aib dan sangat bisa diatasi dengan serangkaian terapi. Harus berbekal sabar memang, harus yakin bahwa setiap anak itu unik dan punya kecerdasan sendiri-sendiri. []
Tidak seperti resensi buku lain yang saya tulis di blog ini, resensi di atas terlihat ‘resmi sekali’. Yups, karena sebenarnya tulisan di atas adalah hasil dari training resensi buku yang saya ikuti pada tanggal 8 Mei 2018 yang lalu. Training yang diadakan oleh Joeragan Artikel itu dimentori oleh Uni Zurnila Emhar Ch, seorang penulis yang resensinya sering dimuat di media.
Training resensi buku yang saya ikuti itu adalah batch yang kedua, sebelumnya sudah pernah diselenggarakan. Kami -para peserta- digabungkan di dalam sebuah grup di facebook dan belajar tentang meresensi buku yang baik. Di akhir materi, kami diberikan tugas untuk meresensi buku yang pernah kami baca. Pementornya nanti akan mengoreksi hasil tulisan kami, apakah sudah layak muat di media atau belum.
Nah, resensi saya di atas termasuk yang langsung lolos tanpa koreksi. Alhamdulillah. Pementornya menyarankan agar tulisan tersebut langsung dikirim saja ke media, seperti yang telah dicontohkan. Tapi belakangan saya memutuskan untuk menaruh tulisan itu di blog ini saja. Maaf ya, Uni. Insya Allah sedang saya persiapkan draft lain dari buku yang lebih baru.
😅
Anda berminat mengikuti training yang sangat bermanfaat ini? Silakan rutin menyimak akun facebook Joeragan Artikel, ya. Mungkin akan ada batch yang selanjutnya. Yang jelas, membaca lalu menuliskan resensinya itu asyik sekali.
Salam pecinta buku,
13 comments
Saya juga pernah ikut training resensi mbak. Suka ya mbak kalau resensi tidak ada koreksi? Hihihi. Saya harus lebih bersyukur dengan keadaan sekarang. Terima kasih mbak sudah diingatkan!
ReplyDeleteMempunyai anak autis bukan aib atau musibah. Byk anak autis ketika dewasa berhasil di berbagai bidang
ReplyDeletePerasaan saya pernah baca buku ini, cuma nggak sampai tamat hehehe. Saya suka dengan tulisan-tulisannya asma nadia. Suka bikin baper bacanya hihihi
ReplyDeleteSuka banget deh ama buku ini. Bisa mewek pas ngebacanya. Terharuuuuu
ReplyDeleteKeren resensinya sekeren bukunya.
ReplyDeleteBaca resensinya saja bikin mata berkaca-kaca...musti banyak baca buku yang begini ini sebagai pengingat diri..
Semoga lanjut terus ke media resensi lainnya ya Mbak
Enak dibaca resensinya Mbak. Mengalir. Jadi ingin baca bukunya...
ReplyDeleteMuantab resensinya
ReplyDeleteAku paling suka dengan novel yg life valuenya bagus. Tapi entah kenapa aku krg puas dg filmnya. Lebih suka dg novelnya malah. Nonton filmnya aku ga nangis, tp baca novelnya aku nangis lho mbak. Aneh ya ?
ReplyDeleteBukunya Asma Nadia emang selalu keren, yang ini resensinya juga keren :)
ReplyDeleteSaya pernah ikut training resensi ini bagus materinya sayang sayanya jarang praktek, huks... Btw, suka baca tulisannya bunda Asma ya?
ReplyDeleteResensinya bagus banget mbak.:) Seneng ya dapat ilmu melalui Juragan Artikel. Aku blum pernah ikut kelasnya nih
ReplyDeletemakasih reviewnya
ReplyDeleteWah, aku suka banget dengan kata2 di gambarnya itu. Tulislah review yg baik. Bener banget Mbak. Resensi yg baik akan membuat penulisnya semakin percaya diri. Aku juga udah ikutan training resensi 🤗🤗
ReplyDelete