Menjelma Bunga


Ahad pagi yang beku menyapaku. Sama bekunya dengan Subuh tadi. Sebuah kondisi yang kujadikan alasan agar aku bisa tidur lagi setelah menunaikan salat Subuh. Ibuku biasanya melarangku, tapi tadi tidak kudengar ketukan di pintu kamar saat aku mulai menarik selimutku lagi.

Beberapa detik yang lalu, alarm ponselku menjerit kencang. Mataku masih sedikit terpejam, tapi cepat aku meraihnya lalu membungkamnya. Perlahan aku duduk di tepi ranjang. Mataku kupaksa untuk terbuka dan pandangan pertama adalah suasana di luar jendela. Hujan rintik-rintik seakan menggodaku untuk menambah lagi jatah tidurku yang kurasa kurang dalam sepekan ini. Yeah, I am a good sleeper.

Tapi niat itu urung kulakukan. Di balik rinai hujan itu, mataku menangkap sesosok tubuh perempuan berhijab dengan payung di tangan. Ia melangkah keluar pagar rumahku dengan tergesa. Aku hapal gerak-geriknya. Dia Mbak Yasmin, tetangga sebelah rumahku yang pindah ke kampung ini setahun yang lalu.

“Ibu masak bubur ayam?” tanyaku pada ibuku, sambil kuikat rambut panjangku ke belakang.

Kulihat tiga mangkuk bubur ayam hangat tersaji di atas meja makan. Aroma dan penampakannya benar-benar menggoda selera.

“Bukan. Mbak Yasmin yang nganterin tadi,” jawab ibuku sambil memotong-motong wortel di dapur yang letaknya bersebelahan dengan ruang makan kami.

Aku mengangguk maklum. Tetanggaku itu memang suka sekali memberi ini-itu kepada tetangga di sekitarnya. Bahkan di pagi hari yang diwarnai hujan seperti ini, ia tak segan keluar rumahnya demi mengantarkan masakannya yang memang enak itu.

“Mandi dulu, sana!” ibuku menepuk pundakku.
Aku sedari tadi menatap si bubur ayam yang seakan melambai-lambai ke arahku.

“Siap, Bos!” jawabku sambil melakukan gerakan hormat kepada perempuan yang paling kucintai itu.

“Lain kali jangan tidur lagi selepas Subuh. Khusus hari ini ibu beri diskon,” nasihat yang selalu diulang ibuku itu mampir lagi di telingaku.

Aku meringis lalu mengecup pipi kanan ibuku. Ia pasti maklum kalau putri sulung kesayangannya ini kecapekan setelah sepekan ditugaskan perusahaan untuk mengikuti training di Jakarta dan baru datang semalam.


Aku bergegas berjalan ke arah kamar mandi. Kantukku sudah hilang, tapi laparku datang. Harus segera kusegarkan badanku, lalu cepat menyantap si bubur ayam yang tampak lezat itu. Yeah (again), I am a chicken porridge lover.
***

“Bubur ayamnya enak banget, Mbak. Makasih, ya,” ucapku pada Mbak Yasmin.

Sore ini aku mengembalikan tiga buah mangkuk miliknya. Ia menerimanya sambil menunjukkan senyum khasnya.

“Alhamdulillah kalau Dik Melati suka,” jawabnya. “Masuk dulu, yuk!”

Aku menuruti tawarannya untuk masuk ke dalam rumahnya yang tertata rapi itu. Sebuah kunjungan yang jarang kulakukan pada tetangga yang lainnya. Aku memang cepat sekali akrab dengannya sejak pekan pertama kedatangannya dulu.

“Kapan-kapan saya diajari masak ya, Mbak. Malu nih, udah segede ini tapi enggak bisa masak,” aku mengakui salah satu kelemahanku di depannya.

“Boleh. Saya mah siap kapan saja. Tapi Dik Melati sepertinya sibuk terus,” jawabnya sambil tetap tersenyum.

“Iya nih, Mbak. Sok sibuk,” sahutku sambil menggaruk jilbabku, padahal rambutku tidak gatal.

Aku ingat saat dia mengajakku untuk ikut mengajari anak-anak di kampung ini mengaji di musala dekat rumah selepas Magrib. Aku belum bisa mengiyakan ajakan baiknya itu. Padahal sebenarnya aku sudah pulang ke rumah setiap jam setengah empat sore jika tidak ada jam lembur.

Aku lebih suka berdiam di rumah sepulang kerja. Capek. Biasanya aku berniat membaca buku-buku yang baru kubeli di dalam kamar. Tapi baru beberapa lembar, seringnya aku ketiduran. Duh ....

“Tante Imel!” sebuah suara kecil menyebut nama panggilanku.

Aku menoleh ke arahnya, Faruq. Ia putra sulung Mbak Yasmin yang masih berusia lima tahun.

“Faruq, anak cakep,” kulambaikan tanganku ke arahnya.

Faruq tersenyum-senyum lalu menyalamiku.
“Oh iya, ini Tante bawakan mainan untuk Faruq,” kuulurkan sebuah bungkusan berisi mainan yang sengaja kubeli saat berada di Jakarta kemarin. Anak kecil itu menerimanya dengan mata berbinar.

“Merepotkan Tante Melati aja, nih. Ucapkan apa, Nak?” tanya Mbak Yasmin pada Faruq. Tak seperti yang lain, ia tetap memanggil nama asliku.

“Terima kasih,” sahutnya cepat lalu berlalu dari hadapan kami. Kudengar ia memanggil ayahnya yang berada di belakang.

“Kalau yang ini untuk si kecil Firza ya, Mbak.”

“Duh, terima kasih banyak,” ucapnya sambil menerima bungkusan lain yang kusodorkan padanya. Ia kembali memamerkan senyumnya yang menyejukkan. Aku mengangguk, membalas senyumnya itu.

Ah, mungkin ia tidak merasa bahwa aku meniru kebiasaannya. Dulu aku cuek dalam hal berbagi oleh-oleh seperti ini. Setahun lalu sejak Mbak Yasmin menjadi tetanggaku, dia sering membawakan beraneka oleh-oleh untuk keluarga kami jika suaminya pulang dari dinas luar kota. Dua adikku sering juga kecipratan kemurahan hatinya.



Lama-kelamaan malu rasanya jika hanya menerima tapi tidak pernah membalasnya. Maka pelan-pelan aku mulai belajar berbagi walaupun sederhana.

“Dik! Ibu ....” sebuah suara bernada cemas dari ruang tengah yang kukenal sebagai suara Mas Rohman, suami Mbak Yasmin, menjeda obrolan kami.

Rupanya Bu Endang, ibu mertua Mbak Yasmin yang juga tinggal di rumah itu sedang kambuh sakitnya. Sudah saatnya aku berpamitan pulang, memberi kesempatan mereka untuk menindaklanjuti kondisi yang tengah terjadi.
***

Pagi ini, ada tiga orang karyawan baru yang berkeliling area perusahaan, dipandu oleh staff HRD dan seorang Manajer Produksi. Si Manajer memperkenalkan seluk beluk mesin yang setiap hari memproduksi barang tak kenal henti.

Perusahaan tempatku bekerja ini terletak di desa sebelah dan cukup dekat dengan tempat tinggalku. Separuh karyawannya berasal dari penduduk lokal, sesuai dengan perjanjian saat perusahaan hendak didirikan. Walaupun terletak di desa, perusahaan ini cukup bonafid juga. Maka begitu aku lulus kuliah dulu, perusahaan inilah yang kutuju.

Tiga orang karyawan pria itu sepertinya berasal dari luar daerah. Aku sedikit ingat tentang lowongan di bagian produksi yang diperuntukkan bagi ‘orang luar’ dua pekan yang lalu. Mereka bertiga akhirnya juga memasuki ruang R & D tempatku bertugas, berkenalan sebentar dengan kami para penghuninya.

“Ssstt… yang pake kacamata cakep ya, Mel,” bisik Andriana, rekan kerjaku sambil menyikut pinggangku.

“Hu-uh, kamu. Si Ben mau kamu kemanain?” balasku sambil meneruskan pekerjaanku.

Andriana terkekeh. Tapi diam-diam aku aku membenarkan penilaian Andriana dalam hati. Hey, what’s wrong with me? Aku yang biasanya cuek pada laki-laki, kali ini terbayang-bayang wajah si laki-laki berkacamata tadi.

Jika ia bersebelahan dengan Afgan Syahreza, pasti orang akan sulit membedakannya. Ada bedanya sedikit, sih: janggut tipis di dagunya. Loh, kenapa jadi bisa sedetail ini? Aku menerawang sejenak. Sepertinya aku pernah melihatnya, tapi lupa persisnya kapan dan dimana.

Ig @afgansyah.reza

“Maksudku, si kacamata itu buat kamu aja,” lanjut Andriana sambil mengedipkan matanya.

Aku mendengus, pura-pura tak ingin menanggapi.
“Makasih, Mak Comblang. Tuh, pekerjaan masih numpuk,” jawabku sambil menunjuk tumpukan kertas untuk mengalihkan pembicaraan.

Andriana masih tersenyum-senyum saja. Teman akrabku itu memang sering menjodoh-jodohkan aku dengan laki-laki A sampai Z. Tapi aku tidak goyah untuk tetap berstatus high quality jomlo. Entahlah untuk kali ini, apakah ia akan berhasil menggoyahkan prinsipku. Nah loh... Kenapa aku jadi begini? Love at first sight? Ah, dulu aku tidak percaya hal konyol yang satu itu. Tapi kini ....
***

Aku hampir tidak memercayai penglihatanku. Si kacamata yang hampir sepekan ini selalu mengisi kepalaku itu kini tengah berbincang dengan Mas Rohman dan ibunya di teras rumah mereka.

Aku baru menyelesaikan lari pagiku di Ahad pagi ini. Tidak ada alasan bagiku untuk tidur lagi setelah Subuh walaupun hari libur begini. Bisa-bisa ibuku mengomel panjang lebar jika aku menuruti kantukku.

“Adik kandung Mas Rohman?” ucapku hampir tidak percaya.

Reza, nama si kacamata itu. Tanpa ‘Afgan Syah’. Ia menyapaku tadi saat aku hendak membuka pintu pagar depan. Lalu kami terlibat pembicaraan sebentar.

“Dia sudah tiga kali kemari kok, Nak Imel,” timpal Bu Endang. Wajahnya sudah terlihat segar. Sudah sehat kembali nampaknya. “Tapi biasanya cuma sebentar.”

Aku mengangguk-angguk, mengakui kecuekanku sekali lagi. Aku jarang memperhatikan tamu-tamu yang datang dan berbincang di teras rumah mereka. Dan aku baru ingat sekarang bahwa aku memang pernah melihat wajah Reza.

Ya, ia ada di foto keluarga Mas Rohman yang tergantung di ruang tengah. Tapi di situ Reza berpose tanpa kacamatanya. Oh, alangkah sempitnya dunia.

“Alhamdulillah, mulai sekarang saya bisa lebih sering ke sini. Bersyukur bisa dapat tempat kerja yang dekat dengan ibu,” sahut Reza kemudian.

Rupanya ia mengontrak rumah di dekat perusahaan sana bersama dua teman barunya.

“Satu PR lagi, Za. Mencari menantu buat ibu,” tiba-tiba Mbak Yasmin muncul dari dalam rumah dengan suara khasnya.

Mas Rohman mengacungkan jempolnya, Reza tersenyum-senyum mendengarnya.

Kalimat yang dilontarkan Mbak Yasmin itu meningkatkan intensitas desiran di hatiku. Dari tadi desiran itu memunculkan diri, sama seperti saat di perusahaan jika aku bertegur sapa dengan Reza. Duh, aku pernah merasakan desiran seperti ini dulu. Aku hampir lupa apa nama jenis desiran seperti ini. Aku .... jatuh cinta?
***

“Alhamdulillah, anak ayah jadi ustazah sekarang,” goda ayahku saat melihatku memasuki ruang tamu.

Aku baru saja kembali dari musala selepas salat Isya. Bakda Magrib tadi aku menemani Mbak Yasmin mengajar anak-anak mengaji. Jelek-jelek begini, aku pernah menjadi santriwati di sebuah pondok pesantren saat duduk di tingkat SMP dulu.


“Iya, Yah. Anak gadis kita juga tidak pernah lagi tidur setelah Subuh akhir-akhir ini,” ibu membenarkan pendapat ayah sekaligus menambahkan alasan penguat lainnya.

Aku tersenyum-senyum saja, mengambil tempat duduk di samping ibuku.

“Lha katanya kepingin anak sulungnya ini bertingkah lebih salihah?”

“Iya, sih. Ibu juga senang sekarang kamu lebih sering pakai rok panjang. Jadi kelihatan lebih anggun,” ibu mengelus-elus kepalaku. Aku nyengir saja.

“Ayah juga gembira,” sahut ayahku. “Itu artinya Imel sudah siap ber .…”

“Bersin!” sambarku.

Lalu kuperagakan gerakan orang yang sedang bersin. Kedua orang tuaku itu tergelak.

Ya, mereka memang benar. Aku memaksa diri untuk berubah akhir-akhir ini. Aku yang jarang sekali mengikuti kegiatan majelis taklim perusahaan setiap akhir pekan, mendadak rajin hadir untuk menyimak dan mencatat materinya. Tak kuperdulikan keheranan Andriana. Malah kupaksa dia ikut serta.

“Surprise bener nih, Mbakyu,” Andriana masih heran saat aku menyeretnya ke dalam musala perusahaan dua hari yang lalu. Kajian pekanannya menjelang dimulai.

“Tobat, yuk! Udah sering bandel ‘kan kita,” bisikku pada Andriana.

Saat ia hendak berkata lagi, kuletakkan jari telunjukku di atas bibir. Andriana urung bertanya-tanya lagi. Tapi wajahnya masih menunjukkan rasa penasaran.

Terdengar alunan merdu si pembaca Alquran di depan sana. Aku hapal suara siapa itu walaupun hanya sekilas melihatnya dari kejauhan. Jumlah jamaah perempuan yang membludak membuat aku dan Andriana hanya mendapatkan tempat duduk di bagian belakang. Aku tetap bisa menikmati kondisi seperti itu karena alunan suara merdu tadi: suara Reza. 
***

Aku melihat si penghias mimpi itu siang ini. Kali ini bukan dalam sebuah perjumpaan di perusahaan seperti biasanya, tapi di dalam rumah kakaknya. Wajah teduhnya tertekuk menunduk. Ada jejak tangis di kedua matanya yang kali ini tidak dihiasi kacamata.

Dini hari tadi, seseorang telah pergi untuk selamanya dan itu mengguncang jiwanya. Laki-laki tentu saja boleh menitikkan air matanya. Itu bukan sebuah kecengengan menurutku, tapi justru sebuah bukti kelembutan hati.

Kesedihan yang tak tergambarkan juga meliputi dua perempuan di sampingku, Mbak Yasmin dan Bu Endang. Keduanya masing-masing memangku Faruq dan Firza yang tentu saja belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi.

Di depan kami terbaring tubuh Mas Rohman yang tidak disertai embusan napasnya lagi. Kemarin ia mengalami kecelakaan dan mendapatkan luka serius di kepalanya. Ia hanya bertahan beberapa jam saja di rumah sakit dan akhirnya harus pergi menghadap Tuhannya.

Maka di saat seperti ini, tidak begitu kurasakan debaran jantungku walaupun ada Reza di ujung sana. Aku justru teringat kembali percakapanku dengan Mbak Yasmin tiga hari yang lalu.


“Jodoh itu adalah cerminan diri kita, Dik. Jika kita memperbaiki diri, InsyaAllah kita akan dipertemukan dengan yang memperbaiki diri pula,” Mbak Yasmin menutup kisah panjangnya tentang pertemuan dengan suaminya.

Aku mengangguk-angguk, meresapi kalimat itu sepenuh hati. Sebuah kalimat yang membuatku semakin bersemangat. Ya, itu pas untukku yang sekarang sedang menggebu-gebu menantikan jodohku.

Aku sendiri hampir tidak percaya bahwa aku bisa sedemikian tergila-gila pada Reza. Entahlah, aku benar-benar ingin dipilihnya. Tentu saja bukan sekedar sebagai pacar, karena laki-laki seperti Reza pasti tidak menjalaninya. Tapi sebagai .... istri! Walaupun untuk mengucapkan kata itu, kadang aku masih geli sendiri.

Itu akan mustahil terjadi jika aku tidak berevolusi. Aku pun memilih berubah dan mulai merajut mimpi-mimpi indah. Sebuah mimpi yang kurasa kian mendekati nyata. Sikap Reza padaku seperti mengandung sesuatu. Andriana juga menerka bahwa Reza sebenarnya juga memendam rasa. Ah, mak comblang itu kian rajin mengomporiku.

Lintasan pikiranku saat itu seakan mendapat sebuah sambutan. Waktu itu aku berkata,
“Saya senang sekali bisa bertetangga dengan Mbak Yasmin. Jadi malu kalau mau jadi cewek bandel,” ucapku sambil meringis seperti biasanya.

Perempuan anggun itu tersenyum manis,
“Saya juga senang bisa akrab dengan Dik Melati. Boleh ‘kan saya anggap adik sendiri? Dari dulu saya ingin sekali punya adik perempuan, tapi Allah menakdirkan lain karena akhirnya saya jadi anak tunggal.”

Mataku membulat. Dianggap sebagai adik perempuan? What a dream comes true! Beberapa detik kemudian kami pun berangkulan. Bunga-bunga di hatiku yang dulu pernah layu karena kecewa pada akhir kisah cinta pertama, kini seakan bermekaran kembali.

Suara Pak Modin atau pamong desa di bidang agama mengisi seluruh sudut ruangan, menyadarkanku dari lamunan. Jenazah Mas Rohman segera akan disalatkan di musalla dan segera diberangkatkan ke pemakaman.

Suasana yang semula sedikit hening, kini mulai dihiasi isak tangis lagi. Kulihat Mbak Yasmin pun tak kuasa meredakan tangisnya, berlomba dengan tangis pilu sang ibu mertua.

Kesedihan itu pun turut menghampiriku. Aku menangis, sama seperti saat dulu nenekku pergi menghadap Ilahi. Oh, sungguh umur jodoh itu adalah sebuah misteri.

Mbak Yasmin dan Mas Rohman, pasangan serasi yang sama-sama baik hati itu harus berpisah kini. Mereka hanya enam tahun bersama di dunia. Doa sederhana yang kulantunkan siang ini agar kelak mereka tetap berjodoh di surga nanti.
***

Acara pembacaan surat Yasin di rumah Mbak Yasmin baru saja usai. Itu adalah tradisi di desaku yang masih tetap dilakukan jika ada orang yang meninggal dunia.


Mbak Yasmin sebenarnya tidak biasa melakukan kebiasaan itu, termasuk saat kedua orang tuanya meninggal dunia dulu. Tapi karena kebiasaan masyarakat setempat demikian, ia setuju saja hal itu juga dilangsungkan di rumahnya. Katanya, ia meniatkan acara itu sebagai ajang para tetangga untuk bersama membaca Alquran.

“Kenapa kamu sering melamun akhir-akhir ini, Mel?” ibuku duduk di sebelahku.

Beberapa menit yang lalu kami berpamitan pulang dari rumah Mbak Yasmin. Ini adalah malam ketujuh meninggalnya Mas Rohman. Sementara ayahku masih di sana, berbincang dengan beberapa bapak tetangga.

“Aku tidak bisa membayangkan kalau jadi Mbak Yasmin, Bu,” jawabku sambil bersandar di pundak ibuku. Ibuku menepuk-nepuk pipiku.

“Setiap orang itu diuji Allah sesuai dengan kemampuannya. Kamu pasti sudah paham itu. Jadi, Mbak Yasmin pasti mampu melalui ujian ini.”

“Iya, sih…” aku menggantungkan dua kata yang keluar dari mulutku.

“Oh, iya. Kemarin katanya kamu mau cerita tentang perubahanmu itu,” ibuku membuatku teringat akan sebuah janji.

Aku menegakkan kepalaku, menatap bola mata ibu malu-malu. Ibuku melemparkan senyum jenakanya,
“Sebenarnya tanpa kamu ceritakan, ibu sudah bisa menebaknya.”

“Oh ya?”

“Ibu ‘kan pernah muda, Nak. Ibu dulu pernah naksir seseorang, lalu tingkah ibu jadi aneeeh, gitu. Tapi jadi lebih ceria juga. Jatuh cinta memang bisa mengubah dunia seseorang menjadi lebih berwarna. Jadi... siapa orangnya, Mel?” ibuku menatap lurus mataku sambil tetap mengulum senyum.

Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tangan. Ibuku tentu saja paling mengenal sepak terjangku. Aku selama ini cuek dengan urusan percintaan karena peristiwa menyakitkan semasa SMA dulu.

Salahku juga, sih. Orang tuaku melarangku berpacaran agar aku lebih fokus belajar. Lebih baik menambah jumlah sahabat, kata mereka.

Tapi aku bandel karena ingin tahu seperti apa rasanya jika menuruti jatuh hati. Aku pun memilih backstreet. Enam bulan aku membohongi orang tuaku dan akhirnya aku kena batunya. Cowok pujaanku ternyata buaya. Sungguh sakit rasanya.

Sejak itulah aku bersumpah tidak ingin memikirkan lagi soal asmara. Aku berhasil bertahan menjadi cewek cuek bin jutek sampai usiaku yang hampir dua puluh lima tahun ini.

“Ditungguin jawabannya kok malah melamun,” ibuku menowel pipiku. Aku tergagap. Lalu menoleh ke arahnya sambil meringis.

“Reza,” jawabku singkat. Kurasakan wajahku menghangat.

Ada senyum yang lebih lebar di wajah ibuku kini. Mungkin karena tebakannya benar atau juga karena sebuah kelegaan. Aku tidak tahu pasti.

Yang jelas malam ini aku merasa sangat bahagia. Hari ini genap sepekan aku bisa berbincang dengan Reza lebih dekat. Ia tentu saja bersiaga di rumah sebelah setiap harinya. Begitu juga aku yang menemani Mbak Yasmin mengaji setiap sore sepulang kerja. Aku semakin meyakini bahwa mimpiku akan segera mewujud nyata. Dear handsome man, would you be my destiny?
***

Sudah enam bulan berlalu sejak aku mengakui rasaku di depan ibuku. Di hadapanku ada sebuah undangan pernikahan berwarna biru. Tanganku bergetar, mengusap undangan pernikahan yang sederhana tapi terkesan elegan itu.



Jari-jariku seperti kelu saat meraba huruf timbul yang menyebutkan nama mempelai laki-laki: Ahmad Reza Indrawan. Di bawahnya ada nama mempelai perempuannya, tapi itu bukan aku!

Aku mencoba menenangkan gemuruh di hatiku yang membuat sesak dadaku. Aku tahu cara mengurangi rasa sakitnya: menangis. Maka kubiarkan saja mataku meneteskan airnya satu per satu.

Benar, rasa sakit itu pun sedikit berkurang kadarnya. Perlahan kuusap nama calon mempelai perempuannya. Nama yang sangat kukenal dan selama ini kujadikan teladan: Yasmin Fajrina Amalia. Sebuah nama yang cantik, secantik orangnya. Hatinya memang seputih melati, seperti arti nama depannya.

Kemarin ibuku bercerita tentang kisah perjodohan Reza dan Mbak Yasmin. Semua berawal dari permintaan Bu Endang kepada Reza yang sekarang menjadi putra satu-satunya itu. Ia tidak ingin kehilangan Mbak Yasmin yang selama ini sabar merawat dirinya.

Sepeninggal Mas Rohman, beliau lebih sering lagi kambuh sakitnya. Reza pun menuruti permintaan ibunda tercintanya. Sebuah keputusan yang konon membuat banyak orang melontarkan kekaguman. Reza yang lima tahun lebih muda dari Mbak Yasmin bersedia menjadi ayah baru bagi Faruq dan Firza.

Ya, namaku juga Melati tapi rupanya harumku belum semerbak seperti wanginya Mbak Yasmin. Betapapun aku ingin mengikuti jejaknya, tapi sesungguhnya aku masih tertatih-tatih mensejajari langkahnya.


Mbak Yasmin memang lebih pantas dipilih oleh Reza sebagai istrinya. Dan aku kini merenungi lagi niat revolusiku yang ternyata tidak murni karena Ilahi. Ampuni aku, yaa Rabbi. []

🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼

Cerita pendek ini dimuat dalam buku antologi "Kebaikan Cinta" yaitu kumpulan cerpen pemenang lomba menulis fiksi Ibu-ibu Doyan Nulis (IIDN) dan Najmubooks Publishing 2018.

Credit pict: pexels

You Might Also Like

5 comments

  1. Huuuu baper tuuu aku jadinya padahal udah pede banget jadi sama Reza kenapa ada surat undangan ya Allah ngenees

    ReplyDelete
  2. Amboi...amboi... Kenapa aku termehek-mehek baper bacanya yak...

    ReplyDelete
  3. Wah... jadi terhanyut nih sama cerita bagus ini. Ngga menduga akhirnya reza memilih menikahi kak Yasmin. Tapi mulia banget ya pilihan ini. By the way ada salah tulis nama mbak, agak diatas waktu imel ngasih mainan. Kayaknya tertulis mbak Melati padahal harusnya anak mbak Yasmin

    ReplyDelete
  4. Masyaallah, cinta itu tak pernah salah memilih, ya. Cerita akhirnya bikin kaget haha. keren euy mba cerita fiksinya, tulisannya juga nyaman dibaca. sukses selalu mba

    ReplyDelete
  5. Bagus banget ini...Ga jadi Reza - Melati tapi Reza-Yasmin...huhuhu
    Semoga Melati dapat jodoh yang lebih baik lagi. Pertama dengan meluruskan niat revolusinya dulu pasti. Duh tapi aku ga rela nih teteup...

    ReplyDelete