Hijrah Cinta di Bulan Mulia


Ramadan adalah bulan cinta. Setiap muslim yang mengaku beriman pasti meyakininya. Mereka menahan diri untuk tidak makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa selama sebulan lamanya.

Mereka berlomba-lomba meraih kasih sayang Allah Ta’ala di dalamnya dan berharap ampunan atas segenap dosa yang dicetak di bulan-bulan sebelumnya. Dengan cinta-Nya yang luas tak terbatas, Allah Ta’ala sendiri yang akan membalas hamba-hamba-Nya yang ikhlas berpuasa. Sungguh tidak cukup kata-kata indah untuk menggambarkan kisah cinta di bulan Ramadan nan penuh berkah. 


Saya mulai mengenal syair berirama di atas -yang oleh masyarakat sekitar saya disebut “pujian”- sejak saya masih kecil. Itu adalah niat berpuasa Ramadan dalam bahasa Jawa. Setiap kali bulan Rajab berakhir dan salat Magrib selesai didirikan di hari itu, “pujian” tersebut dibawakan dengan syahdu, bersahutan dari musala kampung ke musala yang lainnya. Ramadan telah tiba!

Saya yang saat itu masih duduk di kelas dua sekolah dasar bersorak-sorai dengan gembira. Kata ayah dan ibu, Ramadan artinya belajar tidak makan dan minum. Siapa takut? Walaupun kadang saya berusaha menghirup sedikit air saat mencuci muka di siang hari. Segar!

Malamnya, saya mengikuti salat tarawih beramai-ramai bersama teman-teman di musala kampung yang jauh lebih ramai dari biasanya. Kami tidak langsung pulang karena ada es buah gratis yang dihidangkan untuk jemaah musala setelahnya. Senangnya... Es adalah minuman mewah saat itu.

Lalu kami melanjutkan ‘pesta’ dengan menyalakan kembang api dan petasan yang suaranya memekakkan telinga. Asyik! Begitulah, sebuah gambaran jatuh cinta pada Ramadan ala saya di usia belia. 


Lirik lagu religi yang dibawakan oleh grup Bimbo di atas mewakili pertanyaan di kepala saya saat saya mulai beranjak remaja. Ayah dan ibu pun menjelaskan hakikat Ramadan secara sederhana, sesuai dengan pemahaman mereka.

Saya mengangguk-anggukan kepala dan meneruskan jatuh cinta saya pada Ramadan. Ya, saya cinta Ramadan. Buktinya, saya mampu berpuasa tanpa ‘bolong’ sejak duduk di kelas tiga sekolah dasar. Catatan tarawih saya lengkap, terisi penuh oleh tanda tangan imam dan khatib tarawih.

Saya tidak pernah bolos setiap kali ada pondok pesantren kilat yang diadakan sekolah saya. Tapi, saya yang saat itu duduk di bangku SMP mulai bertanya-tanya tentang “Puasa Khusyuk, Asmara Syahdu”. Apa pula itu?

Sebenarnya, slogan di atas adalah sebuah program di salah satu stasiun radio favorit saya yang rutin hadir setiap Ramadan tiba. Penyiar radionya akan menerima telepon yang berisi curahan hati para penggemar radio terkait dengan kisah cinta mereka di bulan puasa.

Ada bermacam kejadian yang dikisahkan, seperti: berangkat tarawih bareng pacar atau rajin tadarus sambil lirak-lirik gebetan. Curhat mereka lucu-lucu sebenarnya. Tapi bagi saya yang saat itu enggan berpacaran karena memiliki sifat pemalu jadi terasa aneh. Saya sulit mendeskripsikannya saat itu. Hanya berpikir seperti ini: Emang puasa bisa khusyuk ya kalo lagi kasmaran gitu?


Jawaban akan pertanyaan saya di usia belasan tahun itu baru saya temukan bertahun-tahun kemudian. Tepatnya saat saya berusia dua puluh tahun, saat saya menginjak belahan bumi-Nya yang lain, Batam.

Saya harus menempuh jarak sekitar dua ribu kilometer, dari Malang ke Batam, untuk dapat memahami hakikat cinta yang sebenarnya. Awalnya adalah sebuah kisah tentang hijrah tempat karena saya harus bekerja di sana. Atas izin Allah Ta’ala, saya pun mantap berhijrah: menghijabi kepala dan hati saya.

Bulan Ramadan tahun 2001 adalah momen berharga yang tidak akan pernah saya lupakan. Itu adalah bulan pertama kali saya menutup aurat dengan sempurna, sesuai dengan syariat-Nya.

Saya sudah jatuh cinta pada Ramadan sejak belia dan sungguh ingin menyempurnakan cinta itu di bulan yang penuh rahmat dan ampunan-Nya. Puasa khusyuk, asmara syahdu? Noway! Karena akhirnya saya tahu bahwa tidak ada istilah pacaran di dalam Islam, dengan bungkus kegiatan islami sekalipun.

Saya akhirnya merasa bersyukur dianugerahi sifat pemalu sehingga dalam masa pencarian saya, godaan untuk berpacaran bisa saya tepiskan. Dari menolak karena malu, berlanjut dengan menjaga diri karena sudah tahu.

Rangkaian Ramadan berikutnya di tanah perantauan itu semakin berwarna. Sepulang bekerja, saya mengabdikan diri sebagai aktivis remaja masjid yang semakin sibuk saat Ramadan tiba. Panitia kajian Ramadan, panitia lomba dan bazar Ramadan, panitia buka bersama, juga panitia tadarus Alquran adalah beberapa tugas yang saya emban bersama teman-teman.

Sungguh tak terlukiskan indahnya. Bukan hanya ritual, tetapi ada ‘nyawa’-nya. Sebulan menjalaninya rasanya kurang sehingga selalu ada tangisan di penghujung Ramadan karenanya. Duhai Allah, ingin rasanya sepanjang tahun itu berisi Ramadan saja.


Saya memilih untuk tidak berpacaran, tapi tentu saja saya merindukan hadirnya seorang pangeran. Bukan dia yang berkuda putih dan membawakan seikat mawar, tapi dia yang gagah berani datang melamar.

Bulan Ramadan tahun 2005 telah mencatat peristiwa bersejarah itu. Seorang lelaki salih yang saya kenal menawarkan sebuah ikatan halal. Gemuruh di dalam dada saya seakan menemukan peredanya. Salat istikharah pun saya tunaikan: Duhai Tuhanku, inikah jalan cinta yang Engkau hadirkan?

Kemantapan hati pun saya rasakan sehingga lamaran di pekan kedua Ramadan itu berbuah jawaban persetujuan.

Usia saya genap dua puluh empat tahun lebih sepekan saat saya dan dia dipersatukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Rasulullah dan Aisyah menikah di bulan Syawal, kami pun mengikuti jejak mereka. Cukup satu setengah bulan saja masa taaruf kami.

Masjid Nurul Islam di kawasan Mukakuning, Batam akhirnya menjadi saksi bersatunya dua hati. Alhamdulillah... Ramadan tahun berikutnya akan ada teman sejati yang menemani. Nah, saya baru setuju jika itu dinamakan puasa khusyuk, asmara syahdu.

Bahtera rumah tangga kami pun berlayar di lautan lepas kehidupan. Atas izin-Nya, hanya ada riak-riak kecil saja pada perjalanan yang kami tempuh. Kami berlindung kepada-Nya dari badai yang bisa memporak-porandakan bahtera kami.

Ramadan adalah pelabuhan cinta yang setiap kami singgahi selalu menghadirkan indahnya pelangi. Apalagi saat rahim saya akhirnya dihuni oleh sosok mungil yang kami nanti. Mengajaknya berpuasa adalah salah satu cara saya mendidiknya sejak dini. Alhamdulillah, si janin seakan antusias menyambut ajakan saya. Kelak ia hadir ke dunia sebagai putri pertama kami yang sangat kami sayangi.


Bertahun-tahun kemudian, bulan Ramadan tahun 2014 mencatat kisah hijrah saya yang lainnya. Ya, saya menyebutnya dengan hijrah. Tidak hanya tentang berpindah tempat tapi juga membulatkan hati untuk meyakini sebuah jalan rezeki.

Sebelumnya, saya dan suami sudah pulang kembali ke Malang pada tahun 2010. Kepulangan yang disambut gembira oleh orang tua kami yang sudah mulai sepuh. Konsekuensinya, saya dan suami memulai perjuangan dari nol lagi. Kami saat itu menyebutnya dengan left the comfort zone.

Tidak mudah memang. Suami saya harus berpindah-pindah tempat kerja. Diselingi juga dengan wirausaha yang masih tersendat hasilnya. Saya bersikeras membantu suami saya menambah penghasilan keluarga dengan bekerja di luar rumah. Kalkulasi manusia biasanya mengatakan bahwa satu ditambah satu sama dengan dua. Padahal tidak selalu begitu hitungannya.

Hingga suatu hari saya dan suami merenungkan hal tersebut. Terutama terkait putri kami yang quantity time-nya bersama kami sangat kurang. Juga tentang buah hati kedua yang tak kunjung datang.

Maka bulan Ramadan tahun 2014 menjadi saksi atas sebuah keputusan: saya ingin menjadi ibu yang lebih baik lagi. Saya membulatkan tekad untuk berpindah tempat kerja. Dari bekerja di luar rumah menjadi fokus bekerja di dalam rumah.

Rekan-rekan di lingkungan kerja saya tergolong baik tapi mayoritas mereka adalah laki-laki. Sebuah hal yang baru saya sadari bahwa saya sebaiknya tidak berada di antara mereka. Ada sosok mungil dengan sepasang mata beningnya yang lebih membutuhkan saya. Berada di sampingnya pasti lebih aman dan nyaman, lebih diridhai-Nya.

Sementara suami saya masih saja berpindah tempat kerja, sebuah kondisi yang -menurut versi manusia- belum mapan. Tapi kami sudah bulat meyakini bahwa jatah rezeki kami pasti dipenuhi-Nya selama napas kami masih ada. Bismillah... kami berhijrah.

Kami berusaha membebaskan diri dari bayang-bayang ketakutan akan kemiskinan. Allah Ta’ala Maha Kaya, hamba-Nya hanya perlu berusaha dan berdoa untuk menjemput jatah rezekinya.


Di sinilah saya sekarang, di penghujung Rajab. Menulis baris-baris kalimat sebagai pengingat. Hampir empat tahun keputusan itu kami jalani. Atas izin-Nya, sekarang sudah ada seorang bayi laki-laki mungil di pelukan saya. Rezeki dari-Nya yang kami yakini akan hadir jua.

Rezeki lain berupa harta benda sungguh dicukupkan oleh-Nya, bahkan rasanya jumlahnya lebih banyak dari saat saya bekerja di luar sana. Tak harus satu ditambah satu agar menjadi dua. Tetapi cukup satu tekad karena Allah Ta’ala yang akan menentramkan kami berdua.

Ramadan selamanya adalah bulan hijrah cinta bagi saya. Berada di dalamnya selalu menumbuhkan semangat memperbaiki diri dan berbagi. Memang hanya ada satu Ramadan dalam setahun, tapi spirit Ramadan ingin saya pertahankan sepanjang tahun. Maka sejak Rajab saya bersiaga seraya memanjatkan doa agar umur saya disampaikan ke sana. Aamiin.


Malang, 15 April 2018/28 Rajab 1439 H







Tulisan ini terdapat dalam buku antologi 'Ramadan Penuh Hikmah' terbit pada Ramadan 2018

You Might Also Like

8 comments

  1. Mashaallah pengen banget ngeraih cinta ramadhan sepertu saat kecil dan hidayah meraih nikmat Nya

    ReplyDelete
  2. Barokallah... Ternyata hijrah cintanya manis banget, Mbak Tatiek. Sakinah, mawaddah warahmah ya Mbak.

    ReplyDelete
  3. Terharu saya baca tulisan ini. Salut dengan keputusan memilih kerja di rumah. Saya juga pernah mengalami ini belasan tahun yang lalu. Dilema saat itu. Tapi sekarang sangatlah saya syukuri.

    ReplyDelete
  4. Setuju Ramadhan hanya sekali setahun namun spirit Ramadan mesti kita pertahankan sepanjang tahun. Semoga kita dipertemukan dnegan next Ramadhan ya Mbak Tatiek, Aamiin

    ReplyDelete
  5. Berjuta warna menghiasi perjalanan hidupmu ya Mba.. semuanya pasti berkesan dan pantas untuk dikenang. Semoga sisa perjalanan ke depan mba Tatiek sekeluarga diberikan berkat melimpah, penyertaan Tuhan dan kebahagiaan untuk semua .. Amin amin

    ReplyDelete
  6. MasyaAllah, Mbak ... Mengharu biru ya kisah jatuh cinta pada Ramadhannya. Dulu aku nggak pernah diberitahu tentang keindahan Ramadhan. Faktor keterbatasan ilmu agama kedua orangtua menjadi alasannya. Tapi Allah sungguh Maha Baik. Aku dipertemukan dengan guru-guru yang berkenan mengajari.

    Semoga aku juga bisa sepertimu, ya. Senantiasa mempertahankan spirit Ramadhan sepanjang tahun.

    ReplyDelete
  7. Ramadhan tahun ini memang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Semoga ada hikmah dari semua ini. Aamiin Yaa Rabbal 'Alamiin..

    ReplyDelete
  8. Ramadhan memang bulan yang banyak menghadirkan kenangan bagi kita semua. Ikut bahagia membaca kisah di atas. Semoga SAMARA, sakinah mawaddah wa rahmah selalu, ya, mba.

    ReplyDelete