Kembali Bangun Cinta pada Menulis dan Membaca
- September 06, 2017
- By Tatiek Purwanti
- 19 Comments
Bertahun-tahun lalu, menjelang saya lulus dari Sekolah Dasar. Saya dan beberapa teman bergantian mengisi block note milik teman yang lain, yang dimaksudkan sebagai buku kenangan. Tentu saja tidak seperti buku kenangan wisuda yang dicetak massal seperti saat ini. Block note kami berisi beragam tulisan tangan dari teman-teman, yang saya yakin masing-masingnya merasa: it’s hard to say good bye.
Adakah teman-teman yang juga punya pengalaman demikian? Ya, block note itu berisi biodata lengkap, termasuk tentang hobi juga. Waktu itu saya tidak ragu menuliskan hobi saya: menulis dan membaca. Dan memang demikianlah adanya. Sejak saya lancar membaca di kelas dua SD, saya ‘menodong’ orang tua untuk membelikan majalah dan buku-buku bacaan anak-anak.
Jatuh Cinta pada Menulis dan Membaca
Majalah pertama saya adalah majalah Bobo, sedangkan buku dongeng pertama saya adalah Thumbelina, si putri jempol. Betapa senangnya saya, seakan mendapatkan hadiah paling berharga sedunia. Waktu bermain saya di luar rumah hanya saya gunakan sedikit saja, karena keasyikan menenggelamkan diri pada majalah dan buku itu. Bahkan nenek saya yang berkunjung ke rumah pun pernah saya cuekin, sampai beliau geleng-geleng kepala. Jadi kangen beliau, hiks.
Begitulah, obsesi besar saya adalah mengoleksi bacaan sebanyak-banyaknya selama menjadi murid SD. Alhamdulillah, ayah saya mendukung kegemaran saya itu. Hampir setiap awal bulan, ada buku baru untuk saya. Saya pun rela menyisihkan uang jajan agar bisa membeli majalah-majalah bekas. Waktu saya duduk di kelas empat SD, ada agen koran dan majalah baru di dekat rumah yang menjual majalah-majalah bekas tapi masih bagus dan layak baca.
Saat itulah saya mengenal majalah Mentari Putera Harapan, sebuah majalah anak-anak yang kantor redaksinya ada di Surabaya. Saya memberanikan diri untuk mengirimkan naskah puisi ke sana. Alhamdulillah, dimuat. Senangnya bukan main. Apalagi saat pak Pos datang membawa wesel, honorarium menulis puisi tadi, ingin meloncat-loncat rasanya. Hehe…
Hobi Kok Menulis dan Membaca?
Saat masih menjadi murid SD sampai SMK, mempunyai kegemaran menulis dan membaca itu dianggap biasa oleh orang di sekitar saya. Mungkin kira-kira begini: Lha wong anak sekolah, ya wajar saja. Tapi dua hobi itu kemudian bagi sebagian orang menjadi sesuatu yang mengherankan saat saya sudah bekerja. Mungkin (lagi) kira-kira begini: Capek-capek bekerja ngumpulin duit, lha kok buat beli tumpukan kertas?
Tahun 2000, selepas SMK, saya bekerja di sebuah kawasan industri di kota Batam sekaligus melanjutkan kuliah di sana. Di sanalah saya mengenal majalah Annida dan menjadi pelanggan setianya. Dan dari Annida lah saya mengenal nama Uni Novia Syahidah untuk kali pertama :) Saat itu cerbung beliau “Putri Kejawen” dimuat di sana. Sayangnya, saya belum pernah sekali pun mengirim cerpen ke redaksi Annida. ‘Prestasi’ paling baik adalah surat pembaca saya dimuat di sana, hehe. Saya tetap menulis puisi seperti biasanya di buku harian saya, juga mengirimkannya ke buletin lokal yang ada di situ.
Surat pembaca yang dimuat di Annida 😁 |
Baca juga: Serenada Mapan
Penat bekerja, berorganisasi, dan mengerjakan tugas kuliah terobati dengan membaca majalah dan buku-buku. Rasanya kamar saya menjelma bak taman surga. Memang, seperti ada kesenjangan dengan teman-teman pada umumnya yang saat itu punya hobi jalan-jalan, nge-mall sekaligus shopping, main basket atau voli ataupun ikut karate. Saat itu sebenarnya saya juga suka jalan-jalan dan bermain basket, tapi kadarnya kecil saja.
Catatan tentang Menulis dan Membaca ala Saya
Berikut ini adalah hal-hal yang saya renungkan terkait dunia menulis dan membaca sejak saya anak-anak dan remaja dewasa, yang disandingkan dengan kenyataan hari ini:
1. Pentingnya Teladan Orang Tua
Orang tua saya, khususnya almarhum ayah, memang lumayan suka membaca dan menulis. Beliau melakukan hal yang sederhana yaitu memberi contoh di depan saya dan saya melihat itu semua. Pun dengan kebiasaan beliau menulis kata-kata indah, menjadi inspirasi saya untuk suka menulis puisi.
Kini, saya yang telah menjadi orang tua harus berjuang lebih keras, sesuai tantangan zaman anak-anak saya. Anak-anak bisa membaca di usia dini? Itu belum jadi ukuran ideal seorang anak akan mencintai membaca kelak. Bahkan itu masih debatable sampai sekarang.
Saya dan suami mengikuti jejak almarhum ayah untuk menumbuhkan minat membaca pada anak-anak kami. Kami lah yang harus lebih rajin membaca, menemani mereka membaca, dan menjadikan kegiatan membaca lebih mengasyikkan dibanding bermain games. Untuk itu, kami tidak membelikan gadget untuk si kakak sampai nanti dia duduk di bangku kelas 2 SMP. Anjuran ini saya dapatkan saat mengikuti seminarnya Ibu Ery Soekresno.
Tentu saja ia tetap kenal dengan gadget dan games, tapi sewajarnya saja. Jatah bermain games-nya hanya di akhir pekan, dengan meminjam tablet kami. Selain untuk bermain games, tablet saya juga dipinjamnya untuk membaca buku komik yang dibelinya via Google Play Book. Tentunya saya yang meng-approve permintaannya, lalu membeli komik-komik itu. Cukup dipotong pulsa, tanpa harus memakai kartu kredit. (Lagipula kami tidak punya kartu kredit dan bertekad tidak akan punya, Insya Allah).
Adik dan kakak kompak berteman dengan buku |
Dan untuk menulis, kami membiasakan si kakak untuk menuliskan kesimpulan dari apa yang telah ia baca dan ia tonton. Ia punya buku khusus untuk ‘rangkuman’ itu. Saat saya sedang menulis, saya akan menjelaskan bahwa ibunya ini sedang belajar. Ia pun paham dan kerap menemani di samping saya.
2. Membaca Apa Saja, Tidak Harus Mahal
Buku-buku anak dengan tampilan menarik dan berisi beragam pengetahuan A sampai Z kini sangat mudah ditemui. Bahkan yang dijual dengan sistim paket, harganya membuat banyak emak geleng-geleng kepala. Walaupun bisa dikredit, sih. Tapi menurut saya, membeli buku paket berharga ‘wah’ itu adalah pilihan dan bukan kewajiban.
Jika dulu saya membaca majalah-majalah bekas demi memuaskan dahaga, maka saat ini pun si kakak juga. Kami tidak hanya mengajaknya ke toko buku atau Malang Islamic Book Fair, tapi juga ke lapak buku-buku bekas di Pasar Buku Wilis Malang. Tidak harus baru, yang penting isinya bermanfaat juga.
Stok Annida lama milik saya, kini dibaca si kakak yang duduk di kelas 5 SD |
Kami tentu saja tidak anti dengan buku-buku paket mahal seperti di atas. Sejauh ini, si kakak hanya punya satu paket, begitu juga dengan adiknya yang masih berusia satu tahun. Itu cukup bagi kami. Karena kami ingin mengajarkan juga tentang memiliki buku secara bertahap, dengan beragam konten. Termasuk menabung untuk membeli bukunya sendiri.
3. Menulis dan Membaca untuk Berprestasi
Saat menginjak bangku SMP dan SMK dulu, tema bacaan saya bertambah yaitu olahraga dan musik. Menyukai bacaan tentang olahraga sangat membantu saya meningkatkan nilai mata pelajaran olahraga di raport. Kekurangan nilai praktik mapel olahraga bisa saya tambal dengan nilai memuaskan untuk teorinya.
Sementara untuk musik, saya dulu amat gandrung dengan western song. Alasan utamanya adalah untuk menambah kosakata bahasa Inggris dengan cara menyenangkan, sekaligus belajar tentang listening. Saya rajin menulis lirik-lirik lagu itu dalam buku khusus dan sering dipinjam ke sana kemari oleh teman-teman. Ya, saya sangat menyukai kata-kata berima yang sering terdapat dalam lirik-lirik lagu tersebut. Nostalgia dikit, ah. Ada yang ingat ini lirik lagu berima milik siapa? :)
Candle light and soul forever
A dream of you and me together
Say you believe it, say you believe it
A dream of you and me together
Say you believe it, say you believe it
Akhirnya, kebiasaan menulis lirik lagu itu membuat nilai bahasa Inggris saya selalu berkisar di angka delapan atau sembilan. Alhamdulillah.
Cuplikan masa lalu saya itu hanya seputar manfaat secara akademis, sedangkan manfaat lebih luas pasti akan didapatkan anak-anak dan remaja yang suka menulis dan membaca. Anak-anak yang suka membaca akan lebih kaya kosakata dan lebih terlatih menggunakan imajinasinya. Hari ini banyak sekali para penulis cilik yang menerbitkan bukunya. Pastinya mereka terlebih dahulu mencintai membaca, sehingga banyak ide yang bisa dituangkannya.
Sedangkan para bookstagrammer alias para pecinta buku di instagram mayoritas adalah para remaja dan anak-anak muda. Saya salut dengan antusiasme mereka pada buku dan kemudian menuliskan resensinya. Saya kira, mereka adalah anak-anak muda yang berbahagia dengan caranya sendiri. Ya, dengan cara yang tidak biasa, jika dilihat dari budaya menulis dan membaca anak bangsa yang masih rendah.
4. Menulis dan Membaca yang Masih Asing
Pertengahan tahun 2015, saat saya meng-upload buku antologi saya yang kedua, ada komentar kurang lebih seperti ini:
“Wah, mau dong bukunya. Buat teman sendiri, gratis dong!”
Apa yang akan Anda jawab dalam situasi seperti itu? Krik… krik… krik…
Pak Dwi Suwiknyo pernah 'menyentil' orang yang suka meminta buku gratisan seperti itu. Bukankah orang yang menawarkan bukunya juga sama dengan para penjual barang yang lain? Nah, bisa jadi karena buku dianggap bukan sebuah kebutuhan yang layak dibeli seperti halnya sandang dan pangan. Jika sudah demikian, tidak heran pula bahwa membaca buku itu bukan suatu hal yang penting untuk dilakukan. Makanan? cukup untuk perut saja. ‘Makanan’ untuk pikiran? Skip! Toh otak tidak pernah serewel perut jika kelaparan.
Menurut saya sendiri, membeli buku itu adalah salah satu cara membelanjakan uang dengan indah. Membeli buku adalah ‘sedekah’ yang menyenangkan. Kita menjadi jalan rezeki untuk penulisnya, sebagai gantinya kita mendapat limpahan ilmu yang mengenyangkan otak kita dan mendamaikan hati kita.
Jika berkeberatan membeli buku, masih bisa meminjamnya di perpustakaan umum yang ada di setiap kota. Tapi sepadat apa sih pengunjung perpustakaan dibandingkan dengan pusat-pusat perbelanjaan? Saya hanya membayangkan, seandainya ada mall baru yang dibangun, ada pula perpustakaan baru yang didirikan. Duh, mimpi saya indah sekali ya? :)
Begitupun dengan aktivitas menulis yang masih dianggap aneh bagi sebagian orang. Saya tidak melakukan survei, hanya (sekali lagi) memakai contoh kejadian nyata. Saya yang dengan penuh syukur menjalani keasyikan menulis, pernah dikomentari sebagai seorang pengangguran, hiks. Hanya karena saya lebih banyak di rumah. Padahal itu adalah pilihan saya, karena dua buah hati saya berhak mendapat cinta terbaik dari saya. Hanya karena ‘penghasilan’ dari menulis saya sejauh ini masih belum ada apa-apanya jika dibandingkan saat saya masih bekerja. Begitulah… saya yang menikmati prosesnya, orang lain yang sibuk mengestimasi keuntungan finansialnya. Hehe… Nah, berapa banyak orang berpikiran seperti ini di sekitar teman-teman?
Baca juga: Menulis Untuk Uang?
Kembali Bangun Cinta
Ya, saya kembali bangun cinta pada menulis dan membaca. Karena dulu sudah pernah jatuh cinta, sekarang waktunya bangun :) Karena betapa pun saya mengaku telah menyukai dua aktivitas itu, sebenarnya saya pernah mengalami masa pasang surut, terutama untuk aktivitas menulis.
- Saat salah memilih jurusan di SMK
Saya yang menyukai bahasa, sebenarnya memang merasa ada yang kurang pas saat diharuskan memilih jurusan Akuntansi. Tentu saja Akuntansi itu tetap berguna bagi saya kini. Tapi minat pada dunia literasi yang tidak tersalurkan itu membuat passion tidak optimal saya kembangkan.
- Saat masih bekerja, berorganisasi, dan kuliah
Capek memang menjalani ketiganya. Maka saat itu saya berpikir: membaca saja lah, menulis yang berat-berat enggak dulu. Saya menulis sih, tapi hanya puisi-puisi dan kisah-kisah di diary. Tidak terpikir sama sekali untuk mencoba mengirimkan naskah fiksi atau non-fiksi ke media cetak.
- Saat mulai mengenal media sosial
Sekitar tahun 2009, saya mengenal facebook dan mulai nge-blog. Tapi, euforia ber-medsos rupanya mengalahkan keinginan untuk rutin menulis di blog. Saya memang membaca dan mendapatkan banjir informasi, tapi jadi agak sulit untuk fokus dalam menulis tentang suatu bahasan tertentu. Senada dengan ucapan seorang teman bahwa kebiasaan meng-copy paste tulisan di medsos bisa mempengaruhi motivasi diri dalam menulis.
Gairah menulis mulai sedikit bangkit saat saya bergabung dengan komunitas One Day One Juz di tahun 2014. Ya, di sana ada kegiatan membaca Alquran satu juz dalam sehari. Dan yang sangat saya syukuri adalah teman-teman ODOJ yang berdomisili di Malang mengajak untuk membuat proyek menulis buku antologi. Alhamdulillah, saya seperti menemukan kembali permata saya yang hilang.
Bahagia yang sederhana: dua buku antologi. Insya Allah segera menyusul yang ketiga |
Sekitar tiga bulan yang lalu saya memutuskan untuk bergabung dengan empat komunitas menulis dan berusaha untuk aktif, termasuk bergabung dengan Blogger Muslimah Indonesia. Mayoritas waktu saya saat ini memang untuk si kecil dan kakaknya, saya dan suami sedang LDR-an pula. Tapi sungguh, saya sangat ingin membangun lagi cinta pada menulis dan membaca, semampu yang saya bisa. Karena justru dengan keduanya, saya mendapatkan Me Time yang nyaman dan berharga.
Tentu saja, saya pernah merasa baper karena merasa waktu saya sempit. Maka lahirlah puisi seperti ini :)
Membeli Waktu
Seandainya bisa, ingin aku beli waktu-waktu mereka
Orang-orang itu; yang bermain games sepanjang hari,
yang tak henti berdebat kotori hati,
yang berteman televisi mulai dari pagi,
yang asyik menggunjing orang via ngerumpi
Seandainya bisa, ingin aku beli waktu-waktu mereka
Orang-orang itu; yang bermain games sepanjang hari,
yang tak henti berdebat kotori hati,
yang berteman televisi mulai dari pagi,
yang asyik menggunjing orang via ngerumpi
Tak bermaksud mencela aktivitasmu, kawan
Aku tahu semua orang punya prioritas dan punya pilihan
Tapi hal yang dibolehkan, tak baik jika berlebihan
Maka ingin aku katakan:
seandainya waktumu engkau perdagangkan, mari sini aku beli
Untuk aku tambahkan kepada jatah waktuku sendiri
Agar lebih banyak waktuku untuk menulis dan membaca
Agar dengan itu aku lebih luas memandang dunia,
lebih bijaksana, pun lebih bersyukur atas karunia-Nya
Tapi aku sadar itu mustahil, tak akan bisa terjadi
Dan yang paling mungkin adalah mengelola waktuku sendiri
Waktuku, rezekiku
Kutata rapi, tak ingin sia-siakan ia lagi
Akhirnya, saya menganggap ini sebagai sebuah tantangan yang menyenangkan. Dunia literasi harus dihidupkan, disemarakkan. Mungkin saya hanya menyumbang sepercik cahaya, tapi semoga percikan itu bergabung dengan pendar besar cahaya yang lainnya.
Rabb kita telah memerintahkan agar kita membaca. Juga mengajarkan manusia dengan perantaraan pena. Betapa tidak terpisahkannya keutamaan menulis dan membaca. Semoga nantinya Indonesia akan terang benderang oleh ilmu pengetahuan dan kemilau prestasi yang ditorehkan oleh anak-anak kita. Aamiin.
***
Pakisaji, Malang, 5 September 2017
Tatiek Ummu Hamasah Afra
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰
Tulisan ini diikutkan dalam Postingan Tematik (PosTem) Blogger Muslimah Indonesia
#PostinganTematik
#BloggerMuslimahIndonesia
19 comments
Waah majalah Bobo dan Annida! Kapan ya terakhir baca? Udah lama banget kayaknya. Hehehe
ReplyDeleteSenang ya bisa suka menulis dari kecil. Saya masih baru-baru ini terjun di dunia kepenulisan, itu pun baru mulai dari blog. Semoga saja kedua hal ini bisa membawa manfaat buat saya maupun ke orang lain. Amiin...
Tentang mereka yang meminta buku karya kita secara gratisan, pastinya karena mereka belum paham bagaimana perjuangan seorang penulis untuk menghasilkan sebuah karya. Kalau masih ada yang seperti itu, sodorkan aja tulisan Om Tere itu Mbak :D
ReplyDeleteMembeli buku adalah membelanjakan uang dengan cara yang indah >>> suka banget dengan kalimat ini hehe. Semoga kita semakin bersemangat menulis dan membaca.
ReplyDeleteTerimakasih sharingnya :)
Wah subhanallah Mba udah banyak juga antologi nya ya. Iya sama, saya juga ngalamin massa2 nulis di block note bareng temen. Dan iya banget majalah pertama saya pun majalah bobo. sepertinya kita sezaman ya :)
ReplyDeleteSalam kenal Mba tatiek :D
ReplyDeleteBobo dan Annida itu saya banget, hehehe ...
ReplyDeleteSepertinya kita seangkatan, Mbak. Aku dulu juga selalu punya buku kenangan yang akan diisi dengan kata kenangan dan kata mutiara. ehehehe...
ReplyDeleteBacaan pertamaku, Koko Moni, bonus bacaan anak-anak di Majalah Ayah Bunda, sebelum akhirnya membaca Bobo. Kesukaan aku: Pak Janggut.
Aku paling sebal kalau ada teman yang justru minta buku atau dagangan kita gratisan atau diskonan. Seharusnya justru karena teman dia akan lebih menghargai karya kita.
Dulu juga saya punya notes yang imut dan wangi berisi biodata teman-teman sebagai kenang-kenangan. Sayang notes udah gak tahu ada di mana. Btw, alhamdulillah pernah ngirim cerpen di Annida dan dimuat tahun 1999, kalau gak salah.
ReplyDeleteMembaca dan menulis adalah 2 ketrampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang, oleh karena itu harus terus ditingkatkan
ReplyDeleteSenang ya Mbak kalo ortu mendukung minat baca tulis kita..
ReplyDeleteNice post, thanks for sharing :)
Wah, saya juga pernah ngisi-ngisi buku kenangan begitu pas masih imut, mbak... :)
ReplyDeleteSama, Mbak.
ReplyDeleteJaman saya juga masih saling ngisi buku teman buat nulis kesan kesan. Aaah... Kenangan berharga
Seruuu. Aku jd inget buku diary berisi biodata temen2 pada masa itu, truz jg majalah bobo. Ortu kita jg sama, ngebiasain membaca dari kecil. Tp pas aku udh SMP berenti langganan krn masuk asrama
ReplyDeleteku inget nulis buku kenangan jaman smp, buku diary yang ditulis secara bergantian oleh teman-teman, kadang dikasih foto
ReplyDeleteBarakallah, Mba.. memang membaca itu harus dimulai dari teladan orangtua.
ReplyDeleteSemoga kita selalu istiqomah membaca dan menebar kebaikan (juga jariyah) lewat menulis. Aamiin...
Saya juga termasuk generasi Annida
ReplyDeleteDan sekarang cetaknya sudah tak ada
Duuh, itu Annida... Kenal Annida dr teman, mulanya pinjam, lama2 pengen punya sendiri jadi menyengajakan beli, tp tak lama doi "go green". Sediih. Nah, terus koleksi majalah yang tak seberapa pun entah ke mana, hikz.
ReplyDeleteaih...senang dengan puisinya. Akuntansi angka terus ya, Mbak. Beda dengan puisi dan blog yang merangkai kata-kata. Btw, aku juga lulusan Akuntansi. Ya lumayan terpakai buat keuangan keluarga.
ReplyDeleteWaaah, Annida saya pada ke mana ya, hiks, kurang telaten merawat koleksi.
ReplyDelete