Anak Desa yang Berbahagia


Hujan turun rintik-rintik ketika putri saya, Afra, pulang dari sekolahnya. Setengah berlari ia masuk ke dalam rumah. Ada binar di wajahnya, walaupun ada gurat lelahnya juga.
“Alhamdulillah, aku dapet dua piala, Mi,” katanya, sesaat setelah mengucap salam.
Lantunan hamdalah yang sama segera meluncur dari bibir saya. Hari itu, Sabtu, 18 November 2017 ia mengikuti agenda pemilihan siswa berprestasi di bidang akademik dan Olimpiade Sains Nasional (OSN) tingkat kecamatan. Ia memenangi juara 1 OSN IPA dan juara 2 siswa berprestasi (mapel campuran).



Ia pun segera meminjam tablet saya untuk memberitahu si Abi yang saat itu sedang berada di Jogja. Si Abi pun tidak kalah gembiranya mendapat kabar itu. Biidznillah, doanya sepanjang perjalanan menuju Jogja dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Bukankah salah satu doa yang mustajab itu adalah doa orang yang sedang melakukan safar atau perjalanan? Bagi saya sendiri, keberhasilan Afra itu laksana hadiah milad dari Allah Ta’ala. Peristiwa itu dihadirkan oleh-Nya sehari sebelum saya melakukan kontemplasi atas jatah usia yang semakin berkurang di esok hari.

Berpose bersama temannya, sesaat setelah penyerahan piala

Afra, putri pertama saya itu memang mulai terlihat menyukai IPA sejak kelas 3 SD. Ia suka sekali melakukan percobaan kecil yang sederhana dan mudah dilakukan di rumah.Misalnya ia pernah mengambil potongan es batu dan seutas benang. Benang itu lantas dilekatkan di atas es batu dan ia menaburkan garam di sekitar benangnya. Tadaaa… Ia bisa mengangkat es batunya dan si benang menempel erat di atasnya. Dari percobaan itu, ia belajar tentang kegunaan garam yang memperlambat es mencair. Kekurangan praktik tentang IPA atau sains di sekolah tidak membuatnya berdiam diri.

Baca juga: Anakku Anak Negeri

Saya mendampingi percobaan-percobaan itu, tapi idenya sering datang dari ia sendiri. Lantas darimana ia memperoleh ide itu? Selain dari buku pelajaran, ide itu didapatkan dari majalah anak dan buku-buku bertema sains yang dibacanya. Maka, bagi kami orang tuanya, ia sudah menorehkan prestasi terlebih dahulu sebelum ia mengikuti OSN di atas. Ya, di usianya yang 10 tahun ini, ia sudah mulai menemukan hal yang disukainya. Bakatnya di bidang akademis sudah mengarah akan kemana. Belakangan ini ia sering bertanya-tanya tentang jenjang kuliah hingga S3. Katanya ia ingin sekali menjadi seorang profesor, hehe… Aamiin.

Percobaan yang bersumber dari majalah anak seperti ini selalu memancing rasa ingin tahu Afra

Capaian prestasi dalam berbagai lomba anak tentu saja membanggakan orang tua sekaligus menambah rasa percaya diri si anak. Bagi saya sendiri -dan juga kesepakatan dengan suami- prestasi seorang anak sebenarnya dimulai dari yang paling dasar yaitu fitrahnya yang tumbuh baik di usia 0-7 tahun sebelumnya. Awal mendidik Afra dulu, sebenarnya saya belum mengenal konsep “Fitrah Based Education” yang dipopulerkan oleh Pak Harry Santosa. Ternyata setelah saya bandingkan, apa yang saya dan suami lakukan tidak jauh berbeda dengan konsep FBE tersebut.

Berikut adalah 7 aspek fitrah yang seharusnya dicapai seorang anak dengan baik di usia 0-7 tahun dan harus terus di kawal di usia selanjutnya:

  • Fitrah iman
Kami memperkenalkan Allah Ta’ala melalui alam raya dan cerita-cerita berhikmah di buku anak. Mengenalkan keindahan Islam melalui akhlak Rasulullah dan manfaat dari ibadah seperti salat dan puasa. Di usia dini, ia perlu gambaran keindahan Islam yang membuatnya tertarik dan bergembira. Pembiasaan beribadah secara kontinyu baru dilakukan setelah 7 tahun setelah kecintaan pada Islam tertanam di alam bawah sadarnya.
  • Fitrah bahasa dan estetika
Kami mengajak ia berbicara bahasa Jawa di rumah, tidak terburu-buru mengajarinya berbahasa Inggris. Ini adalah upaya agar bahasa ibu (mother tongue) dikuasai dengan baik. Sementara penguasaan Bahasa Indonesianya meningkat setahap demi setahap dengan sering membacakannya buku atau menemaninya membaca buku.
  • Fitrah seksualitas
Ia mengenali bahwa dirinya seorang anak cewek yang kelak tumbuh besar menjadi wanita dewasa seperti saya. Perilaku saya menjadi contoh bagi dia. Begitupun ‘kegagahan’ si Abi adalah gambaran tentang sosok cowok atau laki-laki. Saya mulai ‘membentengi’-nya dengan pakaian tertutup sejak kecil (tidak membiasakan memakai singlet dan celana dalam saja). Juga mengajari adab ke kamar mandi dengan benar sejak dini.
  • Fitrah fisik dan indera
Lingkungan tempat tinggal kami kondusif untuk bermain di alam terbuka. Ia bermain di halaman, kebun belakang, atau bahkan hanya di dalam rumah yang space-nya luas. Jika harus pergi, kami mengusahakan pergi ke tempat yang menyuguhkan keindahan alam dan bisa dijadikan tambahan belajarnya tentang alam.
  • Fitrah bakat dan kepemimpinan
Ia cenderung pendiam di awal mengenal seseorang, maka kami tidak memaksanya harus seperti anak lain yang ‘rame’. Sementara itu ajang latihan kepemimpinan (executive functioning) kami terapkan dengan memberinya hewan peliharaan seperti kelinci, ikan, dan ayam. Juga memberinya tugas menyiram tanaman.
  • Fitrah sosial dan kehidupan
Kami memahamkan bahwa ada kebaikan dan keburukan di dalam hidup. Maka kami membacakan kisah tentang para pelaku kebaikan. Juga tentang profil anak-anak yang berperilaku baik dalam keseharian.
  • Fitrah belajar dan bernalar
Hampir sama dengan fitrah fisik di atas, ia belajar sekaligus bermain dengan gembira. Dulu di TK-nya ada calistung dan ia antusias menjalani. Kami tidak membebaninya harus bisa membaca. Justru yang penting adalah interaksi sebelumnya dengan buku yang cukup baik saat kami membacakannya kisah atau cerita.

Nah, jika ketujuh aspek fitrah di atas bisa tumbuh dengan baik maka di tahap selanjutnya si anak akan lebih siap menghadapi tantangan. Dalam hal ini, Afra bersekolah di sekolah yang umumnya dianggap biasa oleh banyak orang tua masa kini. Tantangan utama yang dihadapinya adalah pergaulan dengan teman sebayanya. Alhamdulillah, sejauh ini ia bisa menikmati lingkungannya yang ‘gado-gado’ itu. Ia membaur tapi tidak lebur, dengan caranya sendiri. Sedangkan ‘kelebihan’-nya bersekolah di situ adalah jam pelajarannya yang hanya sebentar saja. Di kelas 5 ini, ia sudah pulang ke rumah pada jam 12.30. Setelah itu ia bisa tidur siang sejenak, bersepeda dan bersepatu roda dengan temannya, membaca buku-bukunya, menonton film favoritnya, mengaji di TPA di sore hari, sampai bermain games di setiap akhir pekan.

Jadi dalam prinsip keluarga kami, Afra memang menghabiskan mayoritas waktunya di rumah. Kehangatan keluarga kami harapkan bisa menghangatkan jiwanya. Di masa kini, fenomena anak yang bermasalah bisa dipicu karena anak tersebut BLAST (Bored, Lonely, Angry, Stress, and Tired). Menurut beberapa sumber yang saya baca, itu dikarenakan sistem sosial yang paling kecil, yaitu keluarga yang rapuh. Sehingga anak kurang mendapat pemenuhan dari segi sosial, emosional, spiritual, dan moral. Sementara tuntutan di dunia pendidikan yang mereka hadapi seperti mengharuskan mereka bersaing habis-habisan dan mengalokasikan waktu mereka untuk itu.

Afra banyak belajar tentang sains dari buku-buku ini

Bagi kami sendiri, seorang anak tidak diharuskan menguasai seluruh ilmu yang ada. Bukankah secara fitrah manusia juga begitu? Ada bakat atau minat yang sebaiknya ditemukan sehingga anak bisa fokus pada minatnya itu. Menurut FBE, sebaiknya bakat tersebut ditemukan di rentang usia 10-14 tahun. Ia akan belajar dengan bahagia dan antusias jika itu berkaitan dengan minatnya. Tentunya jika fitrah belajar dan bernalarnya tumbuh baik, ia juga tidak abai pada hal-hal di luar minatnya. Bakat atau minat juga tidak harus diikutkan sebuah lomba agar dikatakan sebagai sebuah prestasi. Kawal saja minat si anak pada apa yang disukainya. Karena setiap anak itu unik dan diciptakan untuk memiliki potensi produktif yang kelak akan menjadi panggilan hidupnya.

Saya dan suami masih terus belajar tentang hal ini. Menjadi orang tua itu ternyata mengasyikkan dan penuh tantangan. And yes, by raising our children, we also raise ourselves. Wallahu a’lam bish shawwab.

Selamat mendampingi anak yang bahagia

Tatiek Purwanti

You Might Also Like

0 comments