Merajut Hati Bening dengan Nasi Kuning
- November 07, 2017
- By Tatiek Purwanti
- 0 Comments
Tanpamu duhai Kanda, aku bagaikan nasi kuning tanpa lauknya :D
Sebuah quote yang menurut saya bikin baper sekaligus laper, hihi. Sebenarnya ini hanya sebuah catatan ringan tentang aktivitas dapur yang akhirnya dirasakan oleh para tetangga. Sekotak nasi kuning komplit mendarat dengan manis di rumah-rumah terdekat sekitar saya pada suatu sore, beberapa hari yang lalu. Ada sedikit rezeki, maka berbagi makanan adalah salah satu jalan untuk menebar kegembiraan.
Berawal dari Tumpeng
Memasak nasi kuning memang masih menjadi sebuah kebiasaan di daerah saya. Biasanya mereka ingin menyatakan sebuah rasa syukur melalui sebuah simbol. Sejak saya kecil, ayah saya sering membawakan nasi kuning jika pulang dari undangan kenduri. Nasi kuning tersebut berawal dari tumpeng yang meletus :D Tumpeng yang tinggi itu akan ‘dirobohkan’ dan dibagi rata kepada seluruh undangan yang hadir, berikut lauk-pauknya. Biasanya ada sambal goreng kering teri, ayam ingkung, telur bali, urap sayur, sambal, dan mentimun. Saya dan adik-adik pun berlomba makan nasi kuning kenduri itu dengan lahap. Jatah nasi kuningnya tentu saja sedikit-sedikit, tapi seru!
Ah, jadi teringat almarhum ayah yang sering nembang atau menyanyi dalam bahasa Jawa. Ada tembang Jawa yang berupa tebak-tebakan yang jawabannya adalah tumpeng. Seingat saya, kata-katanya seperti ini:
Ana gunung ganas tumumpang sesek winengku
Rinubung sarining gegodhongan lan kekembangan
Ana ceplok saloka lan emas mung nyeparo
Rinubung sarining gegodhongan lan kekembangan
Ana ceplok saloka lan emas mung nyeparo
Artinya kira-kira begini:
Ada gunung yang tidak tahan lama (karena segera dibagi-bagikan dan dimakan) yang diletakkan di atas nampan terbuat dari bambu
Ia dikelilingi banyak daun dan bunga-bunga (sayur-sayuran dan aneka warna lauk-pauk)
Ada irisan telur yang tengahnya seperti warna emas
Ia dikelilingi banyak daun dan bunga-bunga (sayur-sayuran dan aneka warna lauk-pauk)
Ada irisan telur yang tengahnya seperti warna emas
Filosofi Tumpeng
Tumpeng yang dinobatkan sebagai salah satu dari 30 ikon kuliner Indonesia sejak tahun 2013 oleh Kemenparenkraf ini banyak menyimpan filosofi. Bagi saya sendiri, tak ada salahnya belajar dari pesan kebaikan yang ‘disampaikan’ oleh si tumpeng. Walaupun di luar sana saya dapati ada yang berpendapat begini: Islam tidak butuh filosofi-filosofi semacam itu! Yaa, silakan saja. Bagi saya, filosofi yang biasanya berisi nasihat kebaikan tak ada salahnya kok dibaca dan dibenarkan jika memang isinya benar secara universal.
Nah, kata tumpeng berasal dari kalimat “Yen Metu Kudu Mempeng” yang disingkat. Artinya adalah jika kita keluar (untuk bekerja atau berusaha) harus bersungguh-sungguh. Tidak jauh berbeda dengan pepatah Arab, Man jadda wajada, bukan? Lalu bentuknya yang kerucut meninggi itu mengingatkan akan konsep ketuhanan yang tinggi. Agar saat kita memperoleh karunia, kita tetap ingat darimana anugerah itu kita peroleh. Mengerucut bisa juga sebuah nasihat untuk manusia agar berusaha keras menuju puncak (kesuksesan). Biasanya, bagian puncak tumpeng ini akan dipotong dan diberikan kepada tokoh yang dihormati.
Filosofi tentang lauk pauk tumpeng banyak sekali. Monggo disimak di sini saja :D Karena yang sebenarnya ingin saya ceritakan kan nasi kuningnya. Yang jelas Islam melarang jika tumpeng dimaksudkan untuk sebuah ritual sesajen, persembahan, dan yang semacamnya. Saya kira ini cukup jelas.
Nasi Kuning yang Tidak Lagi Asing
Setelah saya dewasa dan seperti yang kita ketahui sekarang ini, nasi kuning tidak selalu berasal dari tumpeng. Kita bisa dengan mudah menjumpainya dijual sebagai menu sarapan sehari-hari yang dikemas di dalam kotak mika. Para pengusaha katering pun biasa menjadikan nasi kuning sebagai menu andalan mereka. Saat si kakak diundang ke rumah temannya pun, nasi kuning biasa ia santap di sana. Maka ia tersaji tidak saja karena tradisi, tapi juga karena faktor rasa nasi kuning yang pastinya lebih gurih dari nasi biasa.
Itulah yang akhirnya menjadi alasan saya untuk memilih nasi kuning sebagai sarana berbagi. Berasa lebih istimewa, gitu. Memang ini tidak persis dengan hadits nabi tentang berbagi makanan ke tetangga dengan masakan berkuah, tapi esensinya berusaha meniru itu. Bahkan jika yang kita punya hanyalah beberapa potong roti tapi kita berniat berbagi, mengapa tidak? Wallahu a’lam.
Dari Abu Dzarr radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak masakan berkuah, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu.” (HR Muslim)
Salam cinta tetangga,
Tatiek Purwanti
0 comments