Cukup lama saya tidak mendengar nama Chrisye
disebut atau membaca tentang beliau. Sampai kemudian ada kabar tentang sebuah
film berjudul “Chrisye” yang dibintangi oleh Vino G. Bastian dan Velove Vexia pada
bulan lalu. Ini bukan tentang keinginan saya untuk menonton film yang
akhirnya tayang perdana di bioskop pada tanggal 7 Desember 2017 itu. Tapi ada
sebuah peristiwa yang berkaitan dengan Chrisye yang langsung memantik ingatan
saya kepada sosok ayah yang saya panggil Bapak.
Peristiwa itu adalah jarak kepergian Chrisye dan Bapak
yang berdekatan. Chrisye menghadap Tuhannya pada hari Jumat, tanggal 30 Maret
2007. Sedangkan Bapak lebih dulu meninggalkan segala kefanaan dunia pada
hari Rabu, 28 Maret 2007. Sebenarnya tahun itu saya masih bekerja di Batam. Qadarullah,
saya bisa mendampingi detik-detik kepergian Bapak karena sedang mengambil cuti
melahirkan anak pertama. Jarak yang terbentang ternyata tidak menghalangi
takdir Allah, sehingga saya bisa mentalqin dan melihat wajah Bapak untuk
terakhir kalinya. Maka saya menyebutnya sebagai sebuah anugerah di balik kesedihan
yang mendalam. Bukankah banyak terjadi saat anak di perantauan lalu tidak
berada di sisi orang tuanya saat mereka meninggal dunia?
Si kakak Afra masih berusia 21 hari saat itu dan
ia harus kehilangan kakeknya. Rezekinya untuk digendong kakeknya hanya sependek
itu. Sementara saya sendiri bisa menikmati kasih sayang kedua kakek saya hingga
dewasa. Ah, takdir kita memang tidak sama ya, Nak. Kehadiran Afra dan kepergian Bapak adalah pesan tentang perputaran yang niscaya di dunia. Ada yang datang
dan ada yang pergi. Ada bahagia, tak lama sedih pun tiba. Lalu, menyusul kabar
kepergian Chrisye dua hari kemudian yang menghiasi berita di televisi. Walau
saya bukan fans beratnya, saya ikut merasa sedih juga. Sepanjang yang saya
tahu, beliau adalah salah satu seniman di bidang musik yang tidak neko-neko
selama hidupnya.
Bapak (paling kiri), seorang pribadi yang tidak neko-neko di mata teman kerjanya |
Selain kepergian beliau berdua yang berdekatan,
ada hal lain pada diri Chrisye yang mengingatkan saya pada Bapak. Saya tidak
bermaksud memirip-miripkan, sih. Lha wong Chrisye adalah artis besar, sementara Bapak adalah rakyat biasa yang sehari-hari mengabdi untuk negeri sebagai
seorang PNS. Hal lain yang saya maksudkan itu tidak lain adalah tentang seni.
Chrisye pernah punya grup musik bernama Sabda Nada atau Gipsy, sedangkan Bapak aktif di grup karawitan. Seingat saya nama grup karawitannya adalah “Ngudi
Laras”. Kakek saya adalah seorang dalang sehingga bapak saya dibesarkan dalam
lingkungan yang full dengan nuansa gending-gending Jawa. Bapak bisa memainkan
segala jenis gamelan, terutama gendang. Bermacam tembang (lagu) Jawa dihapal
beliau dan dibawakannya dengan suara yang bagus. Kaset-kaset yang dikoleksinya
pun hampir semuanya berisi tembang-tembang Jawa, dan itu menghiasi masa kecil
saya. Duh, kenangan indah yang tiba-tiba terbayang-bayang dengan jelas.
Grup Karawitan "Ngudi Laras" |
Film Chrisye terus dipromosikan sampai tulisan ini
saya ketik. Hal yang sering diulang dalam promo tersebut adalah tentang lagu
beliau yang berjudul “Ketika Tangan dan Kaki Berkata”. Sebuah lagu yang liriknya
terinspirasi dari surat Yaasin ayat ke-65, bahwa di hari akhir nanti kita semua
pasti diadili seadil-adilnya oleh Allah Ta’ala. Sebuah lagu yang merupakan wujud
kegelisahan seorang musisi besar yang terus mencari kedamaian. Kegelisahan itu
juga pernah ditunjukkan oleh Bapak dalam tulisan di buku agendanya. Beliau
rajin menulis di buku agenda dan sebagian isinya adalah tentang muhasabah diri.
Di agenda itu ada motto hidup beliau: “Dengan bekerja hidup menjadi mudah,
dengan seni hidup menjadi indah, dengan agama hidup menjadi terarah.”
Agenda milik bapak yang masih tersimpan hingga kini |
Terima kasih, Chrisye. Terima kasih, Bapak. Saya
belajar dari panjenengan berdua bahwa memang tidak ada manusia yang sempurna dan pada akhirnya segala
muara kententraman jiwa adalah dekat dengan-Nya. Bahwa semua orang berkesempatan
menjadi orang baik dan bermanfaat bagi sesama dengan caranya masing-masing.
Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘aafihi wa’fuanhu.
Yang sedang menitip rindu buat bapak,
Tatiek
Purwanti
12 comments
Jadi rindu bapak setelah membaca tulisan ini.
ReplyDeleteIya, Mbak. Bapak adalah cinta pertama kita yang pasti akan selalu mengisi hati
DeleteWah beda 2 hari ya berpulangnya.
ReplyDeleteAl Fatihah buat almarhum 🙏
Aamiin. Makasih, Mbak. Iya, beda dikit. Makanya begitu dengar Chrisye langsung inget Bapak
DeleteSemoga Bapak-nya Mba di sana, mendapat tempat yang terbaik.
ReplyDeleteAamiin. Makasih doanya, Mbak :)
DeleteDesember ini saya pulang sekaligus mau ke makam bapak, Sudah 27 tahun sejak 29 Desember 1990. Beliau penggemar berat Chrisye juga. Dan menurun ke anak-anaknya.
ReplyDeleteSemoga bapak Mbak Damar sedang tersenyum di alam barzah sekarang. Al fatihah buat beliau.
DeleteBtw kalo Bapak saya bukan penggemar Chrisye, sih walopun mereka hidup se-zaman. Met berlibur, BukNaj :)
Assalamu'alaikum, Mbak Tatiek. Salam kenal yaa. Kunjungan balik, nih. Hehehe.
ReplyDeleteBapak tulisannya bagus, Mbak. Hihi, salah fokus ya.
Banyak hal yg bisa diteladani dari bapak ya Mbak pastinya. Semoga beliau mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Aamiin.
waalaikumussalaam Mbak Diah :)
DeleteTulisan beliau memang rapi, kalah saya :) Yups, banyak kebaikan beliau yang bisa saya teladani. Terima kasih atas doa dan kunjungan baliknya ^^
Al Fatihah buat Beliau berdua..,Bapaknya mbak Tatiek dan Mas Chrisye..
ReplyDeleteSetuju dengan quote penutunya, bahwa semua orang berkesempatan menjadi orang baik dan bermanfaat bagi sesama dengan berbagai cara. Semoga kita bisa menjadi salah satunya..:)
Aamiin Yaa Rabb... Terima kasih, Mbak.
DeleteBtw saya tidak pakai 'Mas' tuk Chrisye hehe... Kalo orang populer boleh langsung sebut nama, ya :D
Yups, Mbak. Semua orang berhak dan bisa menjadi pribadi bermanfaat dengan caranya