[Sebuah Cerpen Pernikahan] After Pottery Wedding



After Pottery Wedding
Oleh: Tatiek Purwanti


Looks like we made it
Look how far we’ve come, my baby
We mighta took the long way
We knew we’d get there someday

They said “I bet they’ll never make it”
But just look at us holding on
We’re still together still going strong


Prita menggigit bibir bawahnya begitu menyadari makna lirik lagu yang mampir di telinganya. Lagu itu bergema syahdu memenuhi seluruh sudut minimarket. Ada seorang ibu yang tampak berkomat-kamit mengikuti irama lagu tersebut, menghayati sekali. Duh, ingin sekali Prita berbuat yang sama. Lagu lawas itu seakan mewakili kondisinya saat ini. 

“Silakan, Mbak. Nambah apalagi?” suara kasir menyadarkan Prita dari lamunannya. Rupanya sekarang gilirannya untuk maju. Pria yang mengantri di depannya sudah berlalu.

“Oh... eh. Sudah. Ini saja.” Prita buru-buru mengulurkan tiga batang cokelat mete berukuran besar. Janji Prita untuk membawakan coklat kesukaan putrinya yang membuatnya mampir ke minimarket itu.

Kasir itu menyebutkan nominal yang harus dibayar, begitu selesai melakukan bar code scanning. Prita bergegas membayarnya, kebetulan jumlahnya pas tanpa uang kembalian. 

Prita melangkah tergesa ke arah pintu keluar. Seorang pramuniaga sigap membukakan pintu kaca itu untuknya. Lagu yang mengusik hatinya itu pun tidak terdengar lagi. Kini yang memenuhi gendang telinganya adalah suara deru motor matic-nya. 


Prita memandang sekelilingnya yang sudah mulai gelap. Hampir masuk waktu Magrib. Sebentar kemudian, perempuan berusia tiga puluh dua tahun itu melesat ke arah jalan raya. Motor birunya bergabung dengan barisan kendaraan lain, pulang menuju istananya. Istana yang tidak lagi sama kondisinya setelah ulang tahun pernikahannya yang kelima.

***

“Mama besok jangan pulang petang lagi, ya?” Elsa, gadis kecil berusia menjelang tujuh tahun itu memandang Prita penuh harap. 

Prita baru selesai membacakan dongeng sebelum tidur untuk putri semata wayangnya itu. Jam dinding di ruang tengah baru saja berdentang delapan kali.

“Iya, Sayang. Sekali lagi maaf, ya. Tadi ada tugas tambahan dari bos-nya Mama. Besok-besok enggak lagi, deh,” balas Prita sambil mencium kening Elsa. 

Elsa tersenyum senang. Sedetik kemudian, Elsa mengucapkan doa sebelum tidur yang disambung dengan kalimat yang membuat dada Prita bergemuruh.

“Ya Allah, sebentar lagi aku bersekolah SD. Semoga Mamaku di rumah lagi seperti dulu, tidak usah kerja lagi. Biar bisa antar jemput aku sekolah. Semoga Papaku cepat sembuh. Biar Papa saja yang kerja. Aamiin.”

Ada setitik air mata yang terasa ingin menyembul di sudut mata Prita, tapi segera diusapnya. Dia tidak ingin gadis kecilnya tahu gejolak di dalam dadanya. Cepat disahutnya doa Elsa dengan ‘amin’ yang agak panjang. Elsa tersenyum, memeluk gulingnya, dan menutup matanya. Prita mengusap-usap punggung anaknya dengan lembut, mengantar Elsa sampai ke gerbang mimpi indahnya. 

Dengkuran halus Elsa mulai terdengar, seiring dengan tetesan air bening yang bergulir pelan di atas pipi Prita. Dirapikannya selimut yang menutupi tubuh mungil gadisnya itu. Prita duduk sejenak di tepi tempat tidur, memandangi foto keluarga yang menempel di dinding. 

“Elsa sudah tidur, Ma?” suara Mario menyadarkan Prita dari lamunannya. Suaminya itu berdiri di depan pintu kamar. Dua tongkat kruk menyangga kakinya yang tinggal sebelah.

“Sudah barusan,” jawab Prita sambil berjalan mendekat ke arah Mario.

Keduanya berjalan beriringan menuju kamar tidur mereka yang terletak di sebelah kamar Elsa. Prita mendapati beberapa lembar kertas berserak di atas meja di sudut kamar. Akhir-akhir ini Mario sering menggambar sesuatu di atas kertas, lalu gambar-gambar itu disimpan rapi di dalam map.

“Kamu pasti tidak lupa tanggal berapa ini, Ma.” Mario terlebih dahulu meraih salah satu kertas yang sudah bergambar. Diserahkannya kertas itu kepada istrinya.

Prita tersenyum tipis, lalu mengangguk. Tentu saja dia tidak pernah lupa tanggal pernikahan mereka. Hari ini, delapan tahun yang lalu mereka mengikat sebuah janji suci. Selalu ada pesta kecil di setiap ulang tahun pernikahan mereka. Tapi pesta rutin itu terhenti setelah ulang tahun pernikahan mereka yang kelima.


Prita menatap sebuah gambar guci dengan motif ukir yang ada di tangannya. Di bawah guci itu ada sebuah tulisan bergaya font Great Vibes Regular: “Our Pottery Wedding”. Pernikahan tembikar, sebutan untuk pernikahan yang berusia delapan tahun.

“Bagus gambarnya, Pa.” Prita kini beralih memandang Mario yang duduk di tepi ranjang. Suaminya itu tersenyum sebentar, lalu menarik napas berat.

“Seandainya tiga tahun yang lalu aku tidak keras kepala, mungkin kamu tidak harus berjibaku di luar rumah seperti sekarang. Mungkin Elsa tidak terus menerus protes. Mungkin di ulang tahun pernikahan kita yang kedelapan ini...” 

“Pa. Sudahlah,” potong Prita cepat. Ditatapnya Mario yang matanya kini basah.

“Ini malam yang tepat untuk merenungi lagi perjalanan kita, Ma. Jujurlah. Kamu ingin kembali lagi ke rumah seperti dulu, kan?” Mario balas menatap Prita, mencari-cari sebuah jawaban di mata itu. Ada mendung yang mulai menggantung di sana, tapi seperti ada angin yang berusaha menghalaunya.

“Pa, semangat hidupmu yang mulai kembali lagi itu lebih penting. Aku kadang memang menangis setiap kali Elsa ingin bersamaku lebih lama. Tapi sejauh ini masih bisa kuatasi. I am okay.” Prita mengembangkan sebuah senyuman, menepuk-nepuk bahu suaminya pelan. Mario menggenggam tangan Prita yang menempel di bahunya.

“Ma... Pengorbananmu luar biasa. Terima kasih, Sayang,” Mario menarik tangan Prita dan menciumnya lembut. Tangan mereka kini saling menggenggam. Beberapa saat lamanya mereka terdiam, terhanyut dalam aliran pikiran masing-masing.

Prita teringat kembali awal perkenalannya dengan Mario. Mereka awalnya bekerja di perusahaan yang sama, tapi Mario sudah cukup lama bekerja di perusahaan tersebut saat Prita menjadi karyawan baru. Mario berwajah tampan dan memiliki posisi cukup penting di perusahaan tersebut. Dua kriteria yang biasanya menjadi incaran para perempuan ada padanya. Tapi workaholic menghalanginya untuk bersegera menikah. Di usianya yang ketiga puluh lima, baru lah Mario mantap melabuhkan hatinya pada Prita yang saat itu berusia dua puluh empat tahun.

“Kenapa engkau memilihku, Mas? Aku tidak cantik seperti...” tanya Prita saat itu.

“Ssst... Hatimu cantik,” Mario memotong. “I choose you to complete me.” 

Pasca menikah, Prita memang bisa melengkapi Mario dalam banyak hal. Dia memilih menjadi ratu rumah tangga, sementara Mario meneruskan kecintaan pada pekerjaannya. Elsa yang lahir setahun setelah pernikahan mereka bisa mendapatkan perhatian penuh dari ibunya. Mario merasa beruntung mendapatkan Prita. Demikian juga Prita yang pelan-pelan bisa menikmati perannya sebagai sekolah pertama bagi anaknya.

Hampir tidak ada gelombang besar yang menerpa bahtera mereka yang berlayar. Hingga suatu hari, ada sebuah keputusan Mario yang mengundang datangnya badai.

“Aku sudah empat puluh tahun, Ma. Sudah saatnya punya bisnis sendiri, punya investasi yang menjanjikan. Benar kata Harun, aku tidak seharusnya jadi pesuruh terus.” Mario mengulangi lagi alasannya untuk berinvestasi setelah pertemuannya beberapa kali dengan Harun. Teman Mario itu disebut-sebut punya banyak bisnis dan membuka kesempatan bagi para investor baru untuk bekerja sama di lahan-lahan bisnisnya.

“Pa, selama ini kita juga sudah berinvestasi emas di bank syariah. Kalau Papa mau nambah investasi ya silakan. Tapi setelah kubaca-baca brosur dari Harun, kok rasanya aku kurang yakin, ya?” Prita berkata hati-hati, demi dilihatnya Mario begitu menggebu-gebu.

“Harun itu teman baikku, Ma. Lagi pula aku sudah melihat sendiri perkebunan pisang Cavendish yang ada di brosur itu. Prospeknya sangat cerah, makanya orang beramai-ramai menanamkan modalnya di perusahaan Harun itu.” Mario tetap teguh dengan pendiriannya. 


Prita tidak bisa lagi berkata-kata, pendapatnya mentah. Pertemuan Mario yang berkali-kali dengan Harun itu seperti mengubah sebagian paradigma berpikir Mario. Entah apa saja yang dikatakan oleh Harun yang pandai berdiplomasi itu. Mario seperti malu karena ‘hanya’ menjadi karyawan saja, belum memiliki bisnis sendiri seperti Harun. Padahal menurut Prita, segala jenis pekerjaan yang halal tidak seharusnya direndahkan.

Alhasil, Mario mengalihkan investasi emasnya dan sebagian besar tabungannya untuk berinvestasi di perkebunan pisang Cavendish milik Harun yang sudah merambah pasar ekspor itu. Mario pun bergabung sebagai tim marketing dan mengajak serta beberapa temannya untuk berinvestasi di sana. Laba dari hasil panen raya pisang itu memang benar didapat di tahun pertama. Tapi di tahun kedua, Harun menghilang tanpa jejak! Benarlah firasat dan kekhawatiran Prita selama ini; perkebunan pisang itu hanya sebentuk investasi bodong.

Teman-teman Mario yang menanamkan modalnya di situ tentu saja marah-marah. Mereka menuntut Mario untuk mengembalikan uang mereka yang hilang. Jika tidak, maka jeruji besi sudah menunggu. Menjual rumah dan mobil akhirnya menjadi pilihan realistis bagi Mario agar dia selamat. Keluarga Mario akhirnya beralih menempati rumah yang lebih kecil dan hanya menaiki motor saat bepergian. Rupanya, prahara rumah tangga mereka tidak berhenti sampai di situ saja.

Mario yang tengah frustasi mengalami kecelakaan lalu lintas yang cukup berat sepulangnya bekerja. Motornya hancur tertabrak sebuah bus, tubuhnya terpental cukup jauh dan kakinya kanannya terlindas roda truk yang melintas dengan cepat. Mario mengalami koma beberapa minggu, kakinya pun akhirnya harus diamputasi. Setelah pulang dari rumah sakit, Mario seakan kehilangan semangat hidup berbulan-bulan kemudian. Ia pun harus kehilangan pekerjaan yang sebelumnya memberi posisi mapan di perusahaan tersebut. 

Sebuah ujian hidup yang tidak pernah dibayangkan itu membuat Prita berjibaku berjualan apa saja, secara online dan offline. Tapi hasilnya tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari sekaligus biaya pemulihan Mario. Akhirnya, Prita menerima tawaran untuk kembali bekerja di perusahaan yang ditinggalkannya dulu. Sebuah pilihan yang harus membuatnya berjauhan dengan Elsa di sepertiga harinya. 

***

Prita memandang langkah-langkah perlahan Mario dengan haru. Ada kaki buatan yang sekarang menopang kaki Mario yang hilang. Sementara itu Elsa bertepuk tangan senang menyaksikan ayahnya yang berjalan mendekat padanya. Sebentar kemudian, ayah dan anak itu berpelukan karena Mario telah berhasil mencapai ‘garis finish’ yaitu tempat Elsa berdiri.

“Bagaimana hasilnya. Ma?” Mario menoleh begitu melihat Prita mendekat.

“Positif, Pa,” jawab Prita pendek dengan senyum yang terus mengembang. Mario merengkuh Prita ke dalam pelukannya, lalu memandang Elsa yang terheran-heran menyaksikan orang tuanya yang masing-masing meneteskan air mata.

“Elsa sebentar lagi jadi kakak, Nak,” Prita mendahului memberi kabar itu sebelum Mario sempat membuka mulutnya. Gadis kecil itu kembali bersorak gembira, membuat beberapa orang yang melintasi taman rumah sakit itu menoleh sejenak.

Mario mengajak anak dan istrinya duduk di bangku taman yang tidak terlalu ramai itu.


“Bayi kita pasti punya jatah rezeki sendiri. Kemarin aku mendapatkan tawaran menjadi ilustrator di perusahaan periklanan milik temanku, Ma. Gajinya jauh lebih kecil dari yang dulu tapi semoga mencukupi kita berempat nanti. Kamu bisa kembali lagi ke rumah menemani anak-anak kita, menjadi guru terbaik bagi mereka,” Mario memandang Prita, masih dengan berkaca-kaca.

Prita mengucap hamdalah untuk kedua kalinya hari ini, setelah tadi mengucapkannya selepas menerima hasil tes laboratorium. Badannya yang sedikit lesu akhir-akhir ini seakan mendapatkan sumber kekuatan baru. 

Prita tidak menyadari ada langkah-langkah kaki yang mendekat.

“Hai! Mario, ya?” sebuah suara perempuan diikuti sosok semampainya hadir di depan mereka bertiga. Prita mencoba mengenalinya: Ambar! 

Prita hampir tidak percaya bahwa perempuan cantik itu menampakkan dirinya lagi. Ambar, perempuan yang selama lima tahun pernikahannya terus mencoba menggoda Mario dan menghilang saat Mario hampir kehilangan nyawanya dulu.[]

-SELESAI-




Keterangan: 

Cuplikan lirik lagu: “You’re Still The One” oleh Shania Twain

Sumber gambar: Canva

Cerpen ini dimuat pada buku antologi pernikahan "Soulmate". Resensinya menyusul, yak ^^


You Might Also Like

26 comments

  1. Terharu hiks pernah seperti itu soalnya

    ReplyDelete
  2. Ambar, ganggu aja deh wkwkw. semoga kali ini gak ganggu lagi yes, plis lah bahagia aja sama lelaki lain yang masih bujang sana, wkwkwk *kenapa saya jadi senewen, heu.

    ReplyDelete
  3. Bersambung gak nih? Penasaran dengan Ambar, semoga gak bikin masalah,, emak-emak selalu sewot ama tokoh antagonis, hwkwkwkwkk...
    Bagus mbak cerpennya...

    ReplyDelete
  4. Duh. ada tokoh antagonisnya juga. Awas, ya. jangan main-main Ambar....

    ReplyDelete
  5. Huaa ini bagus banget huhuhuhu .. semangat bagi para working mom diluar sana dan banyak bersyukur bagi yang bisa dirumahnya menghabiskan 24 jam bersama buah hati

    ReplyDelete
  6. Kenapa sih Ambar tiba² muncul? Saya sampai scroll bolak-balik. Ini tokoh udh ada belum sebelumnya...
    Haha...

    ReplyDelete
  7. saya baca lirik lagu Shania Twain sambil berdendang & saya masih hafal sampai tuntas lagu itu, hehe... *sudah tua
    Yakin deh, Mario nggak bakal tergoda sedikit pun sama si Ambar.

    ReplyDelete
  8. Ahahai, itu si Ambar bikin saya terkezut.. untungnya ini short story yes. kalau cerbung bisa bikin esmonjit wkwkwk

    ReplyDelete
  9. Cerita yang menarik..suka dengan sosok Prita yang tegar dan setia. Like this story.��

    ReplyDelete
  10. Kok selesai mb? Terus Ambar gimana? Hihi...

    ReplyDelete
  11. Adanya tokoh ambar saya mulai masuk ke dalam cerita...saya ga suka ambar...duh maafkan terbawa emosi

    ReplyDelete
  12. Huaaah tiba2 ada ambar. Kenapa yah dia datang setelah lama menghilang. Ini ceritanya ngegantung gini aja mbak nih? Aduh

    ReplyDelete
  13. Shania Twain, lagu jadul hikssss
    Ini cerita udah habis kah? nagih kwkwkwk

    ReplyDelete
  14. Ya bikin lanjutannya dong mbak. Kepo nih sama si Ambar yg tiba-tiba muncul.

    ReplyDelete
  15. Wuikkk Ambar kok gitu sih...bikin sewot aja...lnjut dong....

    ReplyDelete
  16. Nah..Ambar datang lagi.duh, ngapain juga. Ending yang tak terduga
    Semoga Mario dan Prita kisahnya berujung bahagia...
    Kalau cerbung bakal panjaaang ini.hihih
    Sukaaa!

    ReplyDelete
  17. endingnya bikin greget ... harusnya jangan selesai mbak .. penasaran sama kelanjutan kisahnya Ambar ... hihihi

    ReplyDelete
  18. Larut dengan ceritanya hingga akhir. Penasaran menunggu lanjutannya. Heheh..

    ReplyDelete
  19. Kok selesai? Bukannya bersambung? Yah penasaran Ambar mau ngapain... Jangan goda suami oraaaang

    ReplyDelete
  20. cerpennya mengharu biru dan plotnya mengalir begitu Mbak Tatiek..keren! Tapi, kenapa harus ada Ambar nih?

    ReplyDelete
  21. kok udah selesai sih mbaaaak? terus ambar itu apa kabar?

    ReplyDelete
  22. Lah ujungnya gak enak amat yah begitu si Ambar nongol... 😮 btw lgnya itu lh yg bkn baper

    ReplyDelete
  23. Ditunggu lanjutannya mbak..
    Salam kenal buat prita..hehe

    ReplyDelete