Tanggal 1 Februari 2019 kemarin bertepatan dengan 40 hari wafatnya tiga personel Seventeen Band: Muhammad Awal Purbani (Bani), Herman Sikumbang (Herman), dan Windu Andi Darmawan (Andi). Mereka bertiga menghadap Rabb-nya saat tragedi tsunami Selat Sunda mengguncang panggung mereka pada acara Family Gathering PLN di Tanjung Lesung, Anyer, Banten. (22/12/2018)
Saya bukan penggemar mereka. Tepatnya, saya tidak terlalu mengikuti perkembangan dunia musik Indonesia secara umum. Sekadar tahu saja. Tidak sampai mengharamkan musik, sih. Jika ada lirik lagu bagus seperti lagunya Seventeen Band yang berjudul Ayah, saya tidak keberatan mendengarkannya berulang-ulang.
Namun, tidak menggemari bukan berarti saya tidak peduli. Kepergian mereka saat tragedi tsunami itu begitu menyentak nurani, meninggalkan sesuatu di hati ini. Peristiwa yang sebenarnya sama dengan kejadiannya bencana di Indonesia sebelumnya; membuat saya merenung tentang keperkasaan Allah Ta'ala dan ketidakberdayaan manusia melawan takdir-Nya. Jika ajal sudah tiba, kita bisa apa? ðŸ˜
Sebagai emak yang jika ada waktu luang suka berselancar di instagram, saya tiba-tiba ingin mengetahui kehidupan ketiga personel Seventeen Band yang telah berpulang tersebut. Alhasil, beberapa kali saya meneteskan air mata menyaksikan gambar kenangan mereka dan juga yang dibagikan oleh para istrinya.
Begitu terpukulnya Cindri (istri Bani), Ully (istri Herman) dan Dewi (istri Andi) pasca kepergian suami mereka. Siapa pun niscaya ikut terharu menyaksikan Cindri yang tengah hamil kelak akan berjuang sendiri melahirkan anak keduanya. Ully berkata bahwa dia ikhlas melepas kepergian suaminya, tapi dia kerap dilanda rasa rindu yang menggebu. Sedangkan Dewi masih berat mengucapkan kata 'almarhum' di depan nama suaminya; serasa masih belum percaya.
Dalam sebuah acara #20TahunSeventeenBerkarya, ustaz Amir Faishol Fath yang diundang pada acara itu berkata bahwa tabiat mata itu menangis dan tabiat hati itu bersedih. Rasulullah pun menangis dan begitu bersedih saat kehilangan paman dan istrinya, Abu Thalib dan Khadijah. Sehingga tahun dimana keduanya wafat itu disebut 'Amul Huzn atau tahun kesedihan.
Ada pesan dari Sang Ustaz yang bisa direnungkan: silakan menangis dan bersedih, asal tidak berlarut-larut. Apalagi sampai menyalahkan kehendak Allah Ta'ala. Naudzubillah...
Saya menulis ini bukan dalam rangka memperpanjang kesedihan. Bukan. Tanpa mengurangi rasa simpati kepada para korban yang lainnya, kali ini saya hendak mengambil pelajaran dari foto-foto yang terdapat pada akun instagram Bani, Herman, dan Andi. Ada tiga buah permohonan dan doa yang sama yang dituliskan mereka tahun lalu. Silakan disimak, ya.
Sungguh, hati saya bergetar saat membaca caption mereka tentang Ramadan. Semuanya berharap dipertemukan lagi dengan Ramadan tahun ini. Kenyataannya mereka tidak akan bisa berjumpa Ramadan lagi. ðŸ˜
Begitulah, selalu ada hikmah di balik musibah. Pun bagi saya, ada nilai-nilai kebaikan yang menyisip diantara beraneka foto yang mereka bagikan.
Nah, semoga teman-teman tidak bingung lagi dengan judul postingan saya kali ini, ya.
Jika Bani, Herman, dan Andi telah menyebut-nyebut kerinduan pada Ramadan, saya pun ingin melakukan hal yang sama. Saya ingin membagikan tulisan saya yang pernah terbit pada buku antologi kesebelas saya, Ramadan Penuh Hikmah.
Semoga ada nilai kebaikan yang bisa diambil, ya. Siapa tahu tahun ini adalah Ramadan terakhir saya. 😢
Hijrah Cinta di Bulan Mulia
Oleh: Tatiek Purwanti
Ramadan adalah bulan cinta. Setiap muslim yang mengaku beriman pasti meyakininya. Mereka menahan diri untuk tidak makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa selama sebulan lamanya. Mereka berlomba-lomba meraih kasih sayang Allah Ta’ala di dalamnya dan berharap ampunan atas segenap dosa yang dicetak di bulan-bulan sebelumnya.
Dengan cinta-Nya yang luas tak terbatas, Allah Ta’ala sendiri yang akan membalas hamba-hamba-Nya yang ikhlas berpuasa. Sungguh tidak cukup kata-kata indah untuk menggambarkan kisah cinta di bulan Ramadan nan penuh berkah.
Niat ingsun ngelakoni poso, tutug-o
Tutug-o sedino sakesuk
Anekani fardhune wulan Romadhon
Ikilah tahun kerono anut
Perintahe Gusti Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Saya mulai mengenal syair berirama di atas -yang oleh masyarakat sekitar saya disebut “pujian”- sejak saya masih kecil. Itu adalah niat berpuasa Ramadan dalam bahasa Jawa. Setiap kali bulan Sya'ban berakhir dan salat Magrib selesai didirikan di hari itu, “pujian” tersebut dibawakan dengan syahdu, bersahutan dari musala kampung ke musala yang lainnya.
Ramadan telah tiba! Saya yang saat itu masih duduk di kelas dua sekolah dasar bersorak-sorai dengan gembira.
Kata ayah dan ibu, Ramadan artinya belajar tidak makan dan minum. Siapa takut? Walaupun kadang saya berusaha menghirup sedikit air saat mencuci muka di siang hari. Segar!
Malamnya, saya mengikuti salat tarawih beramai-ramai bersama teman-teman di musala kampung yang jauh lebih ramai dari biasanya. Kami tidak langsung pulang karena ada es buah gratis yang dihidangkan untuk jemaah musala setelahnya. Senangnya... Es adalah minuman mewah saat itu.
Lalu kami melanjutkan ‘pesta’ dengan menyalakan kembang api dan petasan yang suaranya memekakkan telinga. Asyik! Begitulah, sebuah gambaran jatuh cinta pada Ramadan ala saya di usia belia.
Ada anak bertanya pada bapaknya
Untuk apa berlapar-lapar puasa
Ada anak bertanya pada bapaknya
Tadarus, tarawih apalah gunanya
Lapar mengajakmu rendah hati selalu
Tadarus artinya memahami kitab suci
Tarawih mendekatkan diri pada ilahi
Lirik lagu religi yang dibawakan oleh grup Bimbo di atas mewakili pertanyaan di kepala saya saat saya mulai beranjak remaja. Ayah dan ibu pun menjelaskan hakikat Ramadan secara sederhana, sesuai dengan pemahaman mereka.
Saya mengangguk-anggukan kepala dan meneruskan jatuh cinta saya pada Ramadan. Ya, saya cinta Ramadan. Buktinya, saya mampu berpuasa tanpa ‘bolong’ sejak duduk di kelas tiga sekolah dasar. Catatan tarawih saya lengkap, terisi penuh oleh tanda tangan imam dan khatib tarawih. Saya tidak pernah bolos setiap kali ada pondok pesantren kilat yang diadakan sekolah saya.
Tapi, saya yang saat itu duduk di bangku SMP mulai bertanya-tanya tentang “Puasa Khusyuk, Asmara Syahdu”. Apa pula itu?
Sebenarnya, slogan di atas adalah sebuah program di salah satu stasiun radio favorit saya yang rutin hadir setiap Ramadan tiba. Penyiar radionya akan menerima telepon yang berisi curahan hati para penggemar radio terkait dengan kisah cinta mereka di bulan puasa.
Ada bermacam kejadian yang dikisahkan, seperti: berangkat tarawih bareng pacar atau rajin tadarus sambil lirak-lirik gebetan. Curhat mereka lucu-lucu sebenarnya. Tapi bagi saya yang saat itu enggan berpacaran karena memiliki sifat pemalu jadi terasa aneh. Saya sulit mendeskripsikannya saat itu. Hanya berpikir seperti ini: Emang puasa bisa khusyuk ya kalo lagi kasmaran gitu?
‘Kan kuungkap rasa yang terindah
Tentang terkembangnya cinta
Yang semerbak wangi dalam jiwa
Yang kekal abadi selamanya
Hanyalah untuk Allah ‘kan kupersembahkan
Cinta yang tertinggi dan termurni
Yang tumbuh dalam nurani
(Persembahan Cinta oleh tim nasyid Gradasi)
Jawaban akan pertanyaan saya di usia belasan tahun itu baru saya temukan bertahun-tahun kemudian. Tepatnya saat saya berusia dua puluh tahun, saat saya menginjak belahan bumi-Nya yang lain, Batam.
Saya harus menempuh jarak sekitar dua ribu kilometer, dari Malang ke Batam, untuk dapat memahami hakikat cinta yang sebenarnya. Awalnya adalah sebuah kisah tentang hijrah tempat karena saya harus bekerja di sana. Atas izin Allah Ta’ala, saya pun mantap berhijrah: menghijabi kepala dan hati saya.
Bulan Ramadan tahun 2001 adalah momen berharga yang tidak akan pernah saya lupakan. Itu adalah bulan pertama kali saya menutup aurat dengan sempurna, sesuai dengan syariat-Nya. Saya sudah jatuh cinta pada Ramadan sejak belia dan sungguh ingin menyempurnakan cinta itu di bulan yang penuh rahmat dan ampunan-Nya. Puasa khusyuk, asmara syahdu? Noway!
Karena akhirnya saya tahu bahwa tidak ada istilah pacaran di dalam Islam, dengan bungkus kegiatan islami sekalipun. Saya akhirnya merasa bersyukur dianugerahi sifat pemalu sehingga dalam masa pencarian saya, godaan untuk berpacaran bisa saya tepiskan. Dari menolak karena malu, berlanjut dengan menjaga diri karena sudah tahu.
Rangkaian Ramadan berikutnya di tanah perantauan itu semakin berwarna. Sepulang bekerja, saya mengabdikan diri sebagai aktivis remaja masjid yang semakin sibuk saat Ramadan tiba.
Panitia kajian Ramadan, panitia lomba dan bazar Ramadan, panitia buka bersama, juga panitia tadarus Alquran adalah beberapa tugas yang saya emban bersama teman-teman. Sungguh tak terlukiskan indahnya. Bukan hanya ritual, tetapi ada ‘nyawa’-nya.
Sebulan menjalaninya rasanya kurang sehingga selalu ada tangisan di penghujung Ramadan karenanya. Duhai Allah, ingin rasanya sepanjang tahun itu berisi Ramadan saja.
Lihatlah wajah-wajah cerah
Para hamba yang berbuka puasa
Nikmat hidangan mereka rasakan
Sebab menahan diri demi Ilahi
Untukmu yang menjaga kesucian cinta
Nikmat yang sama akan kau rasa
Saya memilih untuk tidak berpacaran, tapi tentu saja saya merindukan hadirnya seorang pangeran. Bukan dia yang berkuda putih dan membawakan seikat mawar, tapi dia yang gagah berani datang melamar.
Bulan Ramadan tahun 2005 telah mencatat peristiwa bersejarah itu. Seorang lelaki salih yang saya kenal menawarkan sebuah ikatan halal. Gemuruh di dalam dada saya seakan menemukan peredanya. Salat istikharah pun saya tunaikan: Duhai Tuhanku, inikah jalan cinta yang Engkau hadirkan?
Kemantapan hati pun saya rasakan sehingga lamaran di pekan kedua Ramadan itu berbuah jawaban persetujuan.
Usia saya genap dua puluh empat tahun lebih sepekan saat saya dan dia dipersatukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Rasulullah dan Aisyah menikah di bulan Syawal, kami pun mengikuti jejak mereka. Cukup satu setengah bulan saja masa taaruf kami.
Masjid Nurul Islam di kawasan Mukakuning, Batam akhirnya menjadi saksi bersatunya dua hati. Alhamdulillah... Ramadan tahun berikutnya akan ada teman sejati yang menemani. Nah, saya baru setuju jika itu dinamakan puasa khusyuk, asmara syahdu.
Bahtera rumah tangga kami pun berlayar di lautan lepas kehidupan. Atas izin-Nya, hanya ada riak-riak kecil saja pada perjalanan yang kami tempuh. Kami berlindung kepada-Nya dari badai yang bisa memporak-porandakan bahtera kami.
Ramadan adalah pelabuhan cinta yang setiap kami singgahi selalu menghadirkan indahnya pelangi. Apalagi saat rahim saya akhirnya dihuni oleh sosok mungil yang kami nanti.
Mengajaknya berpuasa adalah salah satu cara saya mendidiknya sejak dini. Alhamdulillah, si janin seakan antusias menyambut ajakan saya. Kelak ia hadir ke dunia sebagai putri pertama kami yang sangat kami sayangi.
Hijrah tak cukup sekali
Karena manusia hilang arah berkali-kali
Jangan menyerah, teruslah berhijrah
Dari gelap menuju cahaya
Dari semata pandangan manusia menuju hanya ridha-Nya
Bertahun-tahun kemudian, bulan Ramadan tahun 2014 mencatat kisah hijrah saya yang lainnya. Ya, saya menyebutnya dengan hijrah. Tidak hanya tentang berpindah tempat tapi juga membulatkan hati untuk meyakini sebuah jalan rezeki.
Sebelumnya, saya dan suami sudah pulang kembali ke Malang pada tahun 2010. Kepulangan yang disambut gembira oleh orang tua kami yang sudah mulai sepuh. Konsekuensinya, saya dan suami memulai perjuangan dari nol lagi. Kami saat itu menyebutnya dengan left the comfort zone.
Tidak mudah memang. Suami saya harus berpindah-pindah tempat kerja. Diselingi juga dengan wirausaha yang masih tersendat hasilnya. Saya bersikeras membantu suami saya menambah penghasilan keluarga dengan bekerja di luar rumah.
Kalkulasi manusia biasanya mengatakan bahwa satu ditambah satu sama dengan dua. Padahal tidak selalu begitu hitungannya. Hingga suatu hari saya dan suami merenungkan hal tersebut. Terutama terkait putri kami yang quantity time-nya bersama kami sangat kurang. Juga tentang buah hati kedua yang tak kunjung datang.
Maka bulan Ramadan tahun 2014 menjadi saksi atas sebuah keputusan: saya ingin menjadi ibu yang lebih baik lagi. Saya membulatkan tekad untuk berpindah tempat kerja. Dari bekerja di luar rumah menjadi fokus bekerja di dalam rumah.
Rekan-rekan di lingkungan kerja saya tergolong baik tapi mayoritas mereka adalah laki-laki. Sebuah hal yang baru saya sadari bahwa saya sebaiknya tidak berada di antara mereka. Ada sosok mungil dengan sepasang mata beningnya yang lebih membutuhkan saya. Berada di sampingnya pasti lebih aman dan nyaman, lebih diridai-Nya.
Sementara suami saya masih saja berpindah tempat kerja, sebuah kondisi yang -menurut versi manusia- belum mapan. Tapi kami sudah bulat meyakini bahwa jatah rezeki kami pasti dipenuhi-Nya selama napas kami masih ada.
Bismillah... kami berhijrah. Kami berusaha membebaskan diri dari bayang-bayang ketakutan akan kemiskinan. Allah Ta’ala Maha Kaya, hamba-Nya hanya perlu berusaha dan berdoa untuk menjemput jatah rezekinya.
Rajab adalah bulan menumbuhkan daun
Sya’ban adalah bulan menumbuhkan dahan
Ramadan adalah bulan memanen dan pemetiknya hanya kaum mukminin
(As-Sariy As-Suqthi)
Di sinilah saya sekarang, di penghujung Rajab. Menulis baris-baris kalimat sebagai pengingat. Hampir empat tahun keputusan itu kami jalani. Atas izin-Nya, sekarang sudah ada seorang bayi laki-laki mungil di pelukan saya. Rezeki dari-Nya yang kami yakini akan hadir jua.
Rezeki lain berupa harta benda sungguh dicukupkan oleh-Nya, bahkan rasanya jumlahnya lebih banyak dari saat saya bekerja di luar sana. Tak harus satu ditambah satu agar menjadi dua. Tetapi cukup satu tekad karena Allah Ta’ala yang akan menentramkan kami berdua.
Ramadan selamanya adalah bulan hijrah cinta bagi saya. Berada di dalamnya selalu menumbuhkan semangat memperbaiki diri dan berbagi. Memang hanya ada satu Ramadan dalam setahun, tapi spirit Ramadan ingin saya pertahankan sepanjang tahun. Maka sejak Rajab saya bersiaga seraya memanjatkan doa agar umur saya disampaikan ke sana. Aamiin.
-Selesai-
Vokalis Seventeen Band, Ifan, saat ini ditinggal sendirian. Tidak hanya kehilangan sahabat-sahabat terbaiknya tapi juga istrinya, Dylan Sahara. Dia pernah mengutarakan rasa syukur karena diberikan 'kesempatan kedua' untuk hidup. Mungkin, dia satu-satunya personel Seventeen Band yang nanti akan menjumpai Ramadan tahun ini.
Kita -saya dan teman-teman semua- juga masih belum bisa memastikan, bukan? Maka mari berdoa agar disampaikan pada Ramadan, seraya menjadikan perjumpaan dengan Ramadan nanti sebagai salah satu resolusi untuk jiwa kita.
Di tengah sambutan dan ingar-bingar kancah perpolitikan negeri ini, semoga masih banyak yang rindu datangnya Ramadan. Karenanya, lalu berhati-hati dalam menjaga hati, bertindak, dan berkata-kata. Semoga itu kita.
Salam,
Sumber gambar: pixabay
20 comments
keren tulisannya...
ReplyDeleteMasyaAllah bun jazakillah khyar atas remindernya. Saya lagi ngebut2nya mengqodho puasa saya. Jadi 2 bulan kedepan insyaAllah udah tenang ga ninggalin hutang puasa ramadhan. Mudah2an dihari-hari menuju ramadhan kali ini kita benar2 diberikan umur untuk berjumpa lagi. Menikmati dengan lebih baik. Hijrah lebih baik. Mencintai Allah lebih baik. Dan aku juga percaya bun ga perlu satu ditambah satu jadi 2. Cukup Allahlah yang mencukupkan segalanya
ReplyDeleteSemoga mba Tatiek dan keluarga diberikan nikmat sehat dan kesempatan untuk bertemu Ramadhan lagi tahun ini ya.
ReplyDeleteMasyaAllah... sangat berkesan buat saya, Mbak.
ReplyDeletePerjalanan hijrah yang mengingatkan saya akan perjalanan diri, tidak bekerja di luar, satu keputusan yang sangat saya syukuri.
Berjumpa lagi dengan Ramadhan menjadi doa saya juga, meski Ramadhan ini saya harus menjalaninya tanpa suami yang Allah berkehendak memanggilnya lebih dulu.
Semoga Allah mengabulkan doa kita untuk sampai di bulan Ramadhan tahun ini, Mbak.
Terima kasih sudah emngingatkan Mbak Tatiek..
ReplyDeleteEnggak nyangka ya ternyata yang Ramadhan lalu masih ada, Ramadhan depan sudah tiada. Kuasa Allah memang di atas segalanya. Manusia tak ada yang mampu tahu apa yang telah ditakdirkannya.
Semoga kita bisa dipertemukan dengan Ramadhan yang akan datang ya Mbak. Aamiin
Masya Allah,makasih banget postingannya mbak, ini mengingatkan saya akan hutang ramadan, semoga kita bisa berjumoa dwngan ramadhan ya mbak
ReplyDeleteMasyaAllah, hatiku jadi terasa begitu perih. Ramadhan tinggal beberapa bulan lagi. Tapi seusai sholat, belum ada doa yang kupanjatkan agar dipertemukan dengan Ramadhan. Semoga Allah masih memberikan usia untuk bertemu dengan Ramadhan, diberikan kesempatan meraih pahala sebanyak-banyaknya. Ramadhan yang indah dan penuh berkah. Terima kasih untuk pengingatnya ya, Mbak ...
ReplyDeleteUsia tak ada yang tahu kapan berakhirnya, tapi berusaha menjadi baik dari waktu ke waktu adalah nyata adanya. Hanya kita yang bisa tahu, apa dan bagaimana menjadi baik. Bersyukurlah, kita punya Ramadhan yang dijanjikan sebagai bulan yang penuh berkah. Semoga kita semua dapat berjumpa dengan Ramadahn tahun ini lalu menjalaninya dengan sebaik-baiknya.
ReplyDeleteHampir semua hijrah disaat ramadhan tiba, ya mbak?
ReplyDeleteWahh mbak sungguh luar biasa, dikala banyak orang menunggu bekal THR dan nggak berani mengambil keputusan penting, Mb Tatiek berani melangkahkan kaki ke keputusan baru di bulan yang mulia itu.
Selamat ya mbak.
Semoga selalu dimudahkan jalannya untyk semua niatan hijrah yang mulia ini.
Aamiin
Terima kasih pengingatny ya bun. Semoga kita selalu dberi kesehatan. Keberkahan dan usia yang panjang untuk beribadah. Aamiin yra
ReplyDeleteNangis bacanya mbak dan ijin nge-share ini ke suami:
ReplyDeleteHijrah tak cukup sekali
Karena manusia hilang arah berkali-kali
Jangan menyerah, teruslah berhijrah
Dari gelap menuju cahaya
Dari semata pandangan manusia menuju hanya ridha-Nya
Aku sedang menjelang hijrahnya lagi dan lagi
Lepas dan selamat dr musibah yang bnyk memakan korban mmg seperti terlahir dan mendpt kesemptn hidup kedua kalinya. Betul ya mb...kyk si Ifan. Di Ramadhan depan klu umur pnjng hnya dia dr seventeen band yg bisa menymbutnya. Smg kita semua juga bs mnymbutnya Ramadhsn Kareem...Aamiin...
ReplyDeletebikin nagis bacanya nmbak...hikz
ReplyDeleteya Allah semoga kami pun masih bisa menjumpai Ramadhan tahun ini..aamiin
terimakasihg remembernya mbak...
Aamin, semoga kita bisa ketemu Ramadhan lg yo mb. Jadi kangen Ramadhan di Batam, hiks
ReplyDeleteTulisan yang indah, makasih sudah berbagi Mbak. Sungguh usia adalah misteri, dan semoga kita semua mampu sebaik2nya mengisi dengan amalan yang Allah ridhoi.
ReplyDeleteLuar biasa kisah perjalanan hijrahnya mbak. Semoga kita dipertemukan kembali dengan ramadhan yang tinggal beberapa bulan lagi ini ya mbak
ReplyDeleteTerima kasih sudah mengingatkan sebentar lagi ramadhan. Bagus karyanya mba
ReplyDeleteTerima kasih atas reminder Ramadannya Mbak Tatiek. Semoga kita akan berjumpa dengan tamu Allah tahun ini. Amin Allahumma Amimn.
ReplyDeleteHikss barusan denger lagunya seventeen trus teringat para personil yg tiada, rasanyaaaaa #bikinmewekpagi2 apalagi inget anak istrinya hiks
ReplyDeleteTulisannya dalam, penuh makna... Jadi reminder buat saya, Mudah-mudahan ketemu lagi bulan Ramadhan tahun ini dalam keadaan beriman :')
ReplyDeletePerjalanan Mba Tatiek luar biasa, keep istiqomah ya Mba. Semoga selalu dalam berkah, ridho dan kasih sayang Allah selalu. Aamiin