Karena Cilok dan Hujan adalah Pasangan
- February 20, 2019
- By Tatiek Purwanti
- 29 Comments
Hujan yang akhir-akhir ini rajin mengguyur bumi pasti membawa banyak kesan dalam benak kita masing-masing. Paling awal, seharusnya berdoa saat hujan tiba. Selanjutnya, terserah Anda. 😉Ada yang tiba-tiba jadi puitis, lalu bermunculanlah ide menulis. Saya? Salah satu yang mengisi benak saya adalah cilok!
Membaca judul di atas, teman-teman pasti bisa mengira-ngira maksudnya, bukan? Dalam situasi dingin karena hujan turun seperti itu, mulut pun maunya ngemil yang hangat-hangat kuku. Ketika meminum kopi saja tidak cukup menghalaunya, maka cilok adalah kuncinya.
Tentu saja tidak setiap kali turun hujan lantas ada sepiring cilok di tangan. Paling sering sih saya ngeloni si kecil, hihi. Tapi tidak bisa dipungkiri bahwa cilok sudah mewarnai kehidupan saya (ceilee...) sekitar sembilan belas tahun ini. Boleh dong ya saya buat the fact about me and cilok seperti di bawah ini: 😉
Fakta 1:
Saya mulai benar-benar mengenal cilok saat tinggal di Batam tahun 2000. Saat itu teman-teman saya berasal dari berbagai daerah. Ada yang dari Kediri, Surabaya, Bojonegoro, Ngawi, Magetan, Solo, Yogya, Cilacap, Banjarnegara, Bandung, Jambi, Palembang, Padang, dan Medan. Banyak pokoknya. Kalau disebutkan di sini, bisa-bisa postingan saya kali ini hanya berisi nama daerah mereka. 😅
Sumber: resepmakansedap.com |
Nah, dari teman-teman yang berasal dari Bandung lah saya mengenal cilok. Aci dicolok, kata mereka. Alias tepung kanji yang dicolok, gitu. Mereka biasa menyuguhkan cilok plus saus kacang saat ada teman yang berkunjung ke dormitorinya. Rasanya endesss... Rata-rata mereka yang berasal dari Bandung bisa membuat sendiri makanan khas daerah mereka tersebut.
Sebenarnya sejak saya masih SD, sudah ada sih penjual pentol keliling. Saat itu di Malang belum booming cilok dan sebutannya memang pentol, gitu. Sampai saya lulus SMK, saya tidak begitu tertarik menyantap pentol. Biasa saja. Baru di perantauan lah mulut saya tergerak untuk mencicipi cilok lebih sering. Yummy...
So, merantau telah membuat pengalaman hidup saya bertambah, termasuk pengalaman kuliner. 😉
Fakta 2:
Saya sangat bisa menghindari gorengan, tapi tidak dengan cilok. Iyes, bisa dikatakan saya bisa tahan tidak makan gorengan hingga satu bulan. Tapi kalau sepekan saja tidak makan cilok, duh rindu ini tak tertahankan.
Pernah sih saya bertahan untuk tidak makan cilok saat masih disiplin ber-Food Combining (FC) dulu. Perpaduan karbohidrat dan daging yang terdapat di dalam cilok jelas sebuah larangan dalam aturan FC. Sekarang, karena sudah tidak disiplin lagi, CLBK deh pada cilok.
Made in sendiri yang pernah saya dokumentasikan. |
Cilok juga yang membuat saya maju mundur untuk mencoba pola makan yang lain yaitu Ketofastosis. Saya sudah menjadi anggotanya di grup Facebook, tapi belum juga mulai, nih. Bagi pola makan yang sangat membatasi karbo dan gula itu, cilok adalah sebuah Big No. Duh, saya belum sanggup kalau saat ini.
Yang saya terapkan sekarang adalah tidak anti makanan apapun selagi halal dan thayyib, bergizi, dan dengan porsi secukupnya. Kalau sudah makan cilok, biasanya saya tidak makan nasi. Plus, saya berusaha rutin berpuasa sunnah. Itu.
Fakta 3:
Seperti saya sebutkan di atas, waktu paling nyaman bagi saya dalam menyantap cilok adalah di saat hujan. Cukup sepekan sekali, sih. Kalau hujannya setiap hari, biasanya memilih di akhir pekan saat suami ada di rumah. Kan jadi ada yang megangin si kecil. Iyes, saya membuat sendiri ciloknya, dong.
Sumber: resepkoki.id |
Lha kalau musim kemarau? Ya tetap makan cilok, dong. Tapi sensasinya jadi sedikit berbeda, gitu. Trus, selain membuat sendiri, saya juga tidak anti beli. Kadang kan ada saatnya saya mager di dapur.
Ada dua penjual cilok langganan saya. Sama-sama enak, halal, dan lapak jualannya cukup bersih. Biasanya kalau membeli, saya memilih tidak pakai saus tomat dan kecap. Cukup saus kacang dan sambal. Tetap enaaak...
Fakta 4:
Gara-gara cilok, saya jadi penasaran dengan novel Pengabdi Cilok. Hehe. Tahu kan novel bergenre komedi hasil karya Iwok Abqary dan Irvan Aqila itu? Sesekali boleh lah membaca yang ringan-ringan tapi tetap berisi. Berisi apa? Ya berisi cilok, dong! 😁
Alhasil, sekarang saya sedang otewe membacanya. Tidak membeli novelnya, sih. Saya membaca novel itu via iPusnas. Sekalian ingin menguji diri apakah saya bisa membacanya dalam waktu 3 hari seperti batas waktu peminjaman di perpustakaan digital nasional itu. Ternyata belum bisa, Saudara-saudara! Harus nambah hari, deh.
Insya Allah, novel itu masuk dalam daftar resensi buku untuk blog ini. Tunggu saja, ya.
Biar lengkap, setelahnya saya akan membaca juga novel Hujan karya Tere Liye. Maksa gak, sih? 😜 Penasaran sih dengan ulasan tentang novel itu yang berseliweran selama ini. Ingin membuktikan sendiri.
Resep Cilok Sayur ala Saya
Nah, ini salah satu cara saya agar saat makan cilok pun ada serat yang masuk ke tubuh. Ini adalah hasil modifikasi resep cilok yang biasanya saya buat dengan memasukkan sawi dan wortel ke dalamnya. Porsinya banyak karena untuk sekeluarga, ya. Cekidot!
Bahan:
500 gram tepung kanji
300 gram tepung terigu
100 gram kornet/daging ayam cincang halus
8 siung bawang putih
1 sdt merica
4 sdt garam
1 bungkus penyedap rasa sapi
600 ml air (lebih bagus jika air kaldu)
50 gram sawi
4 batang daun bawang
150 gram wortel
2 batang daun seledri
Cara membuat:
1. Aduk rata tepung terigu dengan kornet/daging ayam cincang, merica, garam, dan penyedap rasa. Sisihkan.
2. Cincang halus sawi, daun bawang, dan seledri. Parut halus juga wortel. Masukkan ketiganya pada campuran tepung terigu. Aduk rata kembali.
3. Geprek bawang putih, lalu tumis dengan sedikit minyak. Haluskan bawang putih dan masukkan ke dalam campuran tepung terigu tadi.
4. Didihkan air, lalu tuang ke dalam campuran tepung terigu. Aduk rata menggunakan sendok kayu.
5. Setelah agak hangat, masukkan tepung kanji ke dalamnya. Aduk rata kembali. Hasil akhir adonan sedikit lengket di tangan.
6. Cetak cilok menggunakan tangan kanan dengan memencet adonan seperti saat membuat bakso. Ambil dengan menggunakan sendok dengan tangan kiri. Masukkan ke dalam air yang mendidih.
7. Masak cilok sampai terapung. Angkat dan tiriskan di atas sarangan (wadah berlubang-lubang bawahnya). Tujuannya agar mudah saat menghangatkan cilok sebelum dihidangkan.
Note:
✍️Saat itu saya mager bikin saus kacangnya, hehe. Jadi memilih siraman mayonais pedas saja.
✍️Seperti yang disebutkan pada nomor 7, biasanya saya tidak langsung menghidangkan cilok. Saya meniriskan sekaligus menghangatkan lagi cilok di atas sarangan. (Apa sih Bahasa Indonesianya?) Hasilnya beda, lho.
✍️Saat itu si sulung me-request cilok keju. Gampang saja. Adonannya saya bagi dua. Saya tambahkan campuran 50 gram kanji, 50 gram terigu, dan 1 sdt garam untuk adonan separuhnya. Karena nantinya diisi keju cheddar yang dipotong dadu kecil, adonannya harus bisa dibentuk dan tidak lengket dong, ya. Ambil adonan, isikan keju di tengahnya, bentuk bulat, dan eksekusinya sama seperti membuat cilok di atas.
Ini penampakan Cilok Keju yang lama. Yang kemarin udah ludes, kelupaan difoto 😛 |
Saat saya menulis ini, eh hujan turun lagi. Tapi kali ini saya tidak berniat membuat cilok. Baru juga hari Rabu. Sabaar... Bagusnya sih melanjutkan bacaan novel Pengabdi Cilok. Biar bisa sebagai bahan postingan, gitu.
Saya suka cilok, tapi belum sampai level Pengabdi Cilok lah. Bagaimana dengan teman-teman? 🙂
Salam,
29 comments
Saya simpen ya, mbak resepnya. Pengen coba sama anak-anak nanti pas liburan. Itu kornetnya bisa diganti kornet sapi kah?
ReplyDeleteEmang kornetnya kornet sapi, Mbak. Pas adanya itu. Biasanya saya pakai daging ayam, sih. Jadi bisa pilih. Kalau pakai daging sapi, lebih enak lagi :)
DeleteWaaah pandangan pertama begitu menggoda . . .selanjutnya nikmaaat
ReplyDeleteHehe, Begitulah. Cilok emang selalu menggoda ;)
DeleteAku dulu gak suka cilok, sampai pada suatu hari nemu tukang cilok yang rasanya enak banget dan konsistensinya pas... Jadilah sekarang suka cilok. Pengen bangettttt liat ini.
ReplyDeleteKadang emnag nunggu waktu yg tepat untuk suka sesuatu. Saya pun perlu waktu tuh untuk jatuh cinta sama cilok ;)
DeleteAku mah kalau hujan ingetnya langsung bakso atau mie rebus bun wkwkwkwk. Tapi aku juga penyuka cilok lho. Aku lebih suka makanan gurih daripda yang manis soalnya. Tapi sayangnya sejak pindah ke tangsel aku belum nemuin cilok yang enak ikhh
ReplyDeleteWahaha pengabdi cilok wkwkw. Aku orang Bandung mbak. Betul cilok aka aci dicolok atau aci dicocol. Ntah mana yang bener. Cilok mah tetep enak bumbu kacang mba menurutku, hehe. Coba nanti ak buat ngikutin resepnya mbak deh
ReplyDeleteSaya penggemar cilok, tapi lebih syukak tinggal makan. Alias gak mau repot wkwkwkwk. Kalo ujan, sekarang yg kebayang baso sama indomie kyaaaa #goodbyediet
ReplyDeleteDuh mbak, pas lagi hujan jadi ngiler deh.
ReplyDeleteAq jadi penasaran bikin deh mbak hihihi... Oiya mbak ditiriskan diatas sarangan wadah jaring jaring ya... "sekaligus menghangatkan itu mksdnya gmn bunda?" apa diatas uap panas gt tah bun?
ReplyDeleteIh ... jadi ngeiler sama cilok Mbak. Terima kasih resepnya. Kalau saya nggak harus nunggu hujan kalau mau makan cilok. Kalau pas ada pedagang lewat, hati ini selalu terpanggil untuk mencicipinya.
ReplyDeleteCilok nih emng sudah menjadi makanan nasional y rasany
ReplyDeleteDi mana2 adaa xixixi
Resepnya patut dicoba mbaa buat bikinin bocahh hehe
Saya juga hobi makan cilok mba, dan baru tau ada buku novel tentang cilok hahahahaha
ReplyDeleteWkwkwkwk,hujan dan cilok.sy paling suka cilok goang ba, jadi seger klo hbs mkn itu. .
ReplyDeleteDuh bikin lapar hehehe... Semoga bisa mencoba resepnya ya bunda. Pengen nyoba akh nanti pas sabtu atau ahad hehehehe
ReplyDeleteKayaknya saya belum pernah nyoba cilok, deh meski namanya sudah sering dengar. Kayaknya sih rasanya enak, ya. Kenyal-kenyal karena pakai tepung kanji.
ReplyDeleteSaya mengenal cilok (bahasanya pentol) baru 2017 kemarin di Samarinda. Aaaah jadi kangen. Btw, makasi resepnya mbak. Bisa mengobati kangen nih, berhubung di lingkungan saya sekarang jarang yg jualan cilok.
ReplyDeleteCilok memang jajanan favorit banget ya , saya pun suka mba, kalau abis ke pasar pasti jajannya itu
ReplyDeleteduuuh ciloknya bikin ngiler aja nih. di bogor banyak. tapi kenapa ukurannya guedhe banget yak. wkwk
ReplyDeletembak...ini juga makanan favorit aku sejak aku menjadi penduduk bandung loh hehehehe...cilok citarasa tiada duanya
ReplyDeleteSebetulnya saya lebih suka makan bakso, Mbak. Tapi kalau duit di kantong lagi tipis, alternatifnya ya si cilok ini, hitung-hitung sebagai bakso kw, hehe... dapat enaknya, dapat murahnya. Terima kasih resepnya, Mbak.
ReplyDeleteKesukaannya Lubna ini.
ReplyDeleteTiap pulang sekolah klo hujan beli cilok 5rb udah kenyang dia. Di Yogya apa sih yg nggak murah hehheee
saya udah baca bukunya juga tuh, mbak. bagus plot dan alurnya, amanat yang ingin disampaikan tidak terasa menggurui. tapi lucu dan mendidik. recomended untuk dibaca
ReplyDeletewaaah waahhh, cilok dan hujan, dua-duanya mewakili perasaankuu, xixiixiii. jadi pengen baca bukunya juga tuh mba
ReplyDeleteApplause buat inovasi cilok plus sayurnya mbak. Makanan ini banyak disukai anak2, jadi sangat tepat memasukkan beragam bahan bergizi didalamnya👏👏
ReplyDeleteAku yang bisamasak ajaliat cilok di atas jadi pingin nyobain hasil masak sendiri mbak..kayaknya enak kali dan bergizi kalau dibikin sendiri ya
ReplyDeleteHehehe, ada ya mbak.
ReplyDeleteBuku berjudul Pengabdi Cilok.
Jadi pingin tahu saya ulasannya apa aja. ��
Langsung eksekusi cilok. Hihihi
ReplyDelete