My mother is a walking miracle.
- Leonardo DiCaprio
Sebuah tulisan itu dekat dengan inspirasi. Begitu sebuah inspirasi datang, maka lahirlah berderet-deret kalimat panjang. Kadang kita yang menuliskannya pun tidak menyangka bisa menuangkan ide sedalam dan seluas itu. Puisi, sebagai salah satu bentuk karya tulis, sebenarnya terlahir juga dari inspirasi seperti itu.
Maka jika saya ditanya dari mana inspirasi menulis puisi itu datang? Dari mana saja. Berlimpah ruah inspirasi dari sekitar yang akhirnya membuat saya terdorong untuk menulis kalimat-kalimat puitis. Biasanya begitu inspirasi itu hadir, saya buru-buru mencatat di buku catatan harian; sebagai outline.
Khusus puisi, biasanya saya mencoba menuntaskan saat itu juga. Menulis puisi dengan mood yang masih hangat itu membuat hati saya ikutan hangat. Tidak seperti menulis cerpen yang bisa dilanjutkan nanti lagi, puisi itu lebih baik segera dieksekusi. Itu kalau saya lho yaa...
Ada seorang teman yang berkata bahwa dia hanya bisa menulis puisi tentang cinta-cintaan melulu. Tentang patah hati melulu. It's okay. Style setiap orang tidak sama. Jika dengan itu dia bisa merasakan kenyamanan dan kelegaan, mengapa tidak? Siapa tahu ada 'sumbatan' hati di masa lalu yang harus dibuka dengan menulis puisi.
Nah, saya sendiri masih terus belajar membuka keran inspirasi agar terus mengucur menjadi sebuah puisi. Salah satu inspirasi terbesar saya adalah ibunda. Tidak perlu jauh-jauh mencari inspirasi karena memang ibunda saya tinggal serumah dengan saya. Segala tentang beliau adalah keajaiban yang jika dituliskan dalam bentuk puisi, mungkin akan berjilid-jilid tebalnya.
Di bawah ini adalah dua puisi karya saya yang menyebutkan sosok ibunda di dalamnya. Pertama, puisi berjudul Serenada Desa yang dimuat dalam buku antologi saya yang ke-7 yaitu Tanah Bandungan. Buku antologi puisi tersebut adalah hasil dari lomba cipta puisi bertema keindahan alam yang diselenggarakan oleh Forum Aishiteru Menulis (FAM) Indonesia.
Ya, tema sebenarnya adalah tentang keindahan alam. Tapi rasanya pas sekali jika keindahan alam itu juga saya kaitkan dengan sosok seorang ibu. Jika puisi bertema sahabat pada tulisan saya sebelumnya termasuk dalam kategori Puisi Deskriptif, maka puisi berjudul Serenada Desa ini adalah Puisi Lirik yang termasuk Ode.
Ode adalah puisi yang berisi tentang pujaan terhadap seseorang, suatu hal, atau pun keadaan. Memang, saya memberi judul puisi ini dengan memakai kata Serenada. Tapi puisi ini bukan termasuk jenis Serenada. Nah loh...
Serenada juga termasuk Puisi Lirik yang berupa puisi percintaan yang dapat disajikan dengan nyanyian. Kapan-kapan saja kita bahas yang ini, ya. Sekarang, selamat menyimak puisi di bawah ini. Puisi yang saya buat ketika masih doyan dengan baris-baris panjang. Sekarang sih saya lebih suka menulis puisi yang barisnya lebih pendek.
Serenada Desa
Oleh: Tatiek Purwanti
Sungai landai jernih berbatu-batu
masih seperti yang dulu, Ibu
Gemericik airnya mengaliri
hulu hingga hilir relung hatiku
Hamparan hijau hektaran sawah
Meredakan segala penat lelah
Burung-burung kecil bersenandung merdu
Seumpama kidung surga paling syahdu
Menyambut hadirku
yang berdiri terdiam, terpaku
Di tengah pematang meluaskan pandang
Menghirup lega sekumpulan udara
Mengisi penuh segenap rongga dada
Ibu...
Gunung di ujung berselimut kabut
Serupa kabut di mata teduhmu
Lebat hutan jati di bawah kakinya
Pelindung rimbun tapal batas desa
Seperti hangat kasihmu sepanjang masa
Mereka, rangkaian keajaiban
yang segera kutinggalkan
Betapa sekejap saja liburan
Ya, pada hiruk pikuk kota
kuraih dapatkan segalanya
Tapi hanya ramah indah desa
mampu sejuk memeluk raga
Keelokannya membuai damai
sepenuh rasa di jiwa
Maka kini kupahat sebuah janji hati
Kelak kuhabiskan masaku
pada hening bening desaku
juga bersamamu, Ibu
Malang, 27 September 2017
Kedua, puisi berjudul Meraba Sketsa Ibunda ini dimuat dalam buku antologi puisi Perempuan yang Tak Layu Merindu Tunas Baru. Ini juga hasil lomba menulis puisi di FAM Indonesia dan kali ini memang bertema tentang sosok ibu. Buku antologi tersebut menjadi antologi saya yang ke-8.
Dalam puisi ini, saya mencoba menghadirkan 'aku' yang berbeda. Setelah membaca ini, pasti teman-teman akan memahami alasan 'aku' begitu memuja ibundanya. Selamat menyimak!
Meraba Sketsa Ibunda
Oleh: Tatiek Purwanti
Berkali kudengar di hening pagi
Senandung burung-burung membuka hari
Lalu tak terhitung kurasa hangatnya
Sinar Sang Surya belai sekujur raga
Pernah kuraba lembutnya kain sutera
Juga kuteguk air tawar sungguh segar
Kukira mereka karunia tiada bandingannya
Ternyata engkau hadiah terindah-Nya
Ibunda...
Padamu kudengar melodi paling indah
Peluk hangatmu redakan segala gundah
Belaianmu mampu menikam sendu
Lenyap dahaga saat kau suguhkan tawa
Tiga dasawarsa kau memilih setia
Tuntun aku di dunia tanpa cahaya
Engkau tak malu, tak campakkan aku
Sementara di luar sana kudengar
Bayi-bayi tak berdosa diakhiri hidupnya
Ibundaku...
Hadirlah dalam bunga tidurku malam nanti
Hanya di sana bisa kutatap jelitamu
Mari kita bercengkerama hingga pagi
Malang, 12 November 2017
Tak harus menunggu tibanya Hari Ibu untuk menuliskan tentang sosok beliau. Pun dua puisi di atas sangat tidak cukup untuk menggambarkan kehebatan sosok seorang ibu yang selalu menginspirasi di mata saya. Bahkan mungkin jika ribuan pena harus menuliskan tentang kehebatannya, rasanya masih harus ditambahkan lagi dengan ribuan pena lainnya.
Alhamdulillah, walaupun sederhana, ada kelegaan tersendiri setelah saya bisa menuangkan isi hati dalam bentuk puisi. Saya pun terdorong lagi untuk mengikuti antologi tentang menulis kisah nyata seorang pahlawan. Ya, pahlawan itu adalah ibu! I am going to write it soon.
Nah, teman-teman sendiri sudah pernah membuat puisi bertema ibu, belum? Atau mungkin sudah membuat tulisan panjang tentang ibu? Feel free to tell me.
Salam,
24 comments
Duh sepertinya saya harus berguru nih kalau mau buat puisi.
ReplyDeleteSaya dulu SMP bisa buat puisi sekarang mau memulai merasa aneh Bun 😑
Jadinya malah malu kalau buat puisi hehehe
Masya Allah bagus banget mba puisinya. Pemilihan diksinya juga oke dan maknanya dalam sekali.
ReplyDeletePuisinya bagus, walau singkat, tapi maknanya sangat dalam.
ReplyDeletebaca gini pas dirantauan, meleleh air mata
ReplyDeleteBagus puisinya teduh dan penuh rasa
ReplyDeleteBunda Tatiek, bunda itu salah satu penulis yang serba bisa di mata aku. Nulis cerpen bisa, nulis sesuatu yang sifatnya berita formal bisa dan berpuisi juga bisa. Bunda Tatiek itu paket lengkap seorang penulis.
ReplyDeleteKalau aku, aku nggak tahu ya aku itu penulis atau nggak, punya passion menulis atau nggak, wong nulis di blog adalah salah satuku mnegalihkan aktualisasi diriku dari nggak ngajar lagi. Jadi aku nggak tahu aku penulis seperti apa sih hahaha. Soalnya aku itu ga bisa nulis kayak bunda tatiek dan kyak lifestyle blogger yang serba bisa menuliskan banyak topik dan aku jga kurang juga nulis dengan banyak topik. Makanya aku nggak belajar juga. Hihihihi. Keren bunda Tatiek itu. Semangattt trus berkarya ya ��
Masyaallah, keren mb tatiek. Serba bisa pokoknya. Kapan-kapan kalo ketemu, saya mau belajar mb :)
ReplyDeleteAku belum pernah buat puisi tentang ibu nih mba. Ternyaaa bagus juga dipadu padankaa dengan alam.
ReplyDeleteMba Tatiek ini diem-diem jago puisi ya. Keren mba tulisannya. Semoga nanti bisa punya buku solo khusus puisi ya mba.. amin.
ReplyDeleteIbu merupakan sosok yang selalu bisa dijadikan inspirasi menulis dalam bentuk apapun. Saya sendiri kurang menguasai untuk menulis puisi. Salut aja untuk mereka yang piawai menulis bait-bait puisi. Kereen!
ReplyDeleteKalau puisi pernah tp tidak kubukukan, jadi koleksi pribadi saja. Nah, kalau tulisan ttg ibu pernah juga di status FB. Aku sebenarnya nggak kuat nulis ttg ibu, krn perjalanan kami terlalu berliku
ReplyDeleteMbak Tatiek keren bener.cerpen oke, ngeblog kece..puisi ayo ajeee
ReplyDeleteSelamat untuk puisi yang indah ini. Hasil lomba dan dibukukan pula.
Saya nulis puisi untuk Ibu cuma masih disimpen...hihi
Mesti banyak berlatih lagi biar sekeren mbak Tatiek ;)
Alhamdulillah sudah mbak. Dalam antologi kisah shahibah JA puasa tahun lalu.
ReplyDeleteNtr kalo bukunya dah ditangan ku share di blog.��
masyaAllah mbak, puisinya bagus banget...pengen ih belajar nulis puisi :)..sukses selalu ya mbak dengan karya-karyanya
ReplyDeleteBunda Tatiek luar biasa multitalented, berpuisi pun begitu indah. Semoga sukses selalu ya mbak
ReplyDeleteMasya Allah, selamat, Mbak..keren sekali. Semoga semakin bertambah lagi karyanya ya. Jujur aja saya nggak punya antologi puisi karena jarang banget bikin puisi. Padahal dulu zaman masih di pesantren suka banget...hehe
ReplyDeleteKisah tentang Ibu, memang menjadi sumber ide yang tak habis2 ya Mbak. Baik dalam cerpen, puisi, kisah inspiratif dll. Puisinya keren2 Mbak... Semoga sukses dengan buku dan tulisan2nya🤗
ReplyDeleteTiap katanya menyentuh sekali mba, saya pun jadi ikut terbawa membayangkan sosok ibu di rumah. Menginspirasi sekali mba
ReplyDeletePuisinya indah sekali Mbak. Sukaa. Saya jarang nulis puisi, tapi suka baca puisi. Baca puisi Mbak ini, saya jadi kangen sama Ibu saya :')
ReplyDeleteTertarik dengan puisi yg kedua.
ReplyDeleteSosok "aku" dan ibu tercintanya yg tak pernah mencampakkannya...
Dulu aja mbak pas jaman sekolah bikin puisi bertema ibu ini. Sudah lama sekali ga pernah nyoba bikin puisi lagi hehe. Kosakatanya keren mbak. Ingin rasanya belajar bahasa-bahasa pujangga kayak gini
ReplyDeleteAih mupeng pingin bisa belajar bikin puisi juga🙊
ReplyDeleteIbu adalah keramat ku dunia akhirat. Karena perjuangan menghadirkan aku ke dunia bukan hal mudah terlebih saat kita belum juga hadir dalam hidupnya
ReplyDeleteMasya Allah mbak, puisinya keren banget. Terlebih buat saya yang sudah 10 tahun ditinggal ibu menghadap Sang Khalik. Saya bacanya sampe berkaca-kaca, terharu, dan makin kangen ibu saya, hiks.
ReplyDelete