[Kisah Inspiratif] Il Mio Eroe Femminile



Aku tahu...
Tinta emas sejarah telah menggoreskan kisah.
Dari Kartini hingga Susi Susanti.
Dari Laksamana Malahayati sampai jutaan perempuan yang berjasa untuk negeri.
Aku tahu namamu tidak tercatat di situ.
Tapi pasti namamu lah yang terekam indah.
Di sini... di dalam hati. Bertakhta abadi, harum mewangi.




Batam, 27 November 2005

Dadaku masih belum kehilangan degup kencangnya, saat perias pengantin membawaku ke sebuah ruangan kecil. Itu adalah sebuah ruangan serba guna masjid yang disulap menjadi kamar ganti di hari pernikahanku. 

Nah, sekarang waktunya ganti kostum, Dik, ucap Mbak Zulfa, perias pengantin yang ternyata juga perantau sepertiku. Asalnya dari Kepanjen.

Eh, iya, Mbak, jawabku sedikit tergagap. Dua orang temanku yang menemaniku tersenyum-senyum.

Pengantin barunya masih grogi rupanya, kata salah seorang dari mereka.

Aku hanya tersenyum kecil. Benar sekali. Ucapan ijab kabul sudah bermenit-menit berlalu, tapi aku merasa seakan-akan ini hanya mimpi. Ya Allah, aku resmi menjadi seorang istri sekarang!

Mbak Zulfa dengan cekatan mengganti gaun berwarna kuning yang kupakai saat akad nikah tadi. Kini, busana adat Jawa berwarna hitam yang dihiasi bordir dan payet keemasan membalut tubuhku. Sebentuk jilbab yang terbuat dari gold satin dilengkapi untaian melati menyusul, menutupi kepalaku. 

Mbak, aku izin mau menelepon ibuku sebentar, ya? putusku setelah acara ganti kostumnya rampung.

Aku harus memanfaatkan jeda waktu untuk mendengarkan suara ibuku di Jawa sana. Ya, pernikahanku tidak bisa dihadiri oleh kedua orang tuaku. Sedih rasanya, tapi itu adalah hasil dari keputusan bersama. Ibu harus merawat ayah yang sedang terkena stroke, sementara pernikahanku harus segera dilaksanakan. Akhirnya, adik laki-lakiku yang bekerja di Surabaya rela mengambil cuti. Ia terbang ke Batam untuk menjadi wali hakim berbekal surat kuasa dari ayahku.

Mengapa menikahnya tidak di rumah saja? Beberapa orang sempat menanyakan itu. Ibuku lah yang menjelaskan semuanya ke orang-orang itu. Bahwa aku dan suamiku ingin menggelar akad dan walimatul ursy secara sederhana di sebuah masjid, dimana undangan laki-laki dan perempuannya duduk terpisah. Acaranya singkat saja, dari jam delapan pagi sampai Zuhur. Kami hanya memakai baju adat Jawa tapi tidak menyertakan ritualnya.

Gimana akadnya tadi, Nduk? suara ibuku di seberang sana terdengar bergetar. Aku merasa bahwa beliau sedang menahan sebuah keharuan.

Alhamdulillah, lancar, Bu, jawabku. Seakan mendapat getaran gelombang yang sama, dadaku menjadi sesak. Air mataku tiba-tiba mendesak-desak. 

Alhamdulillah, akhirnya kamu menjadi istri. Selamat ya, Nduk... ibu tidak meneruskan ucapannya. 

Aku tahu beliau sedang terisak lirih. Seikhlas apapun ayah dan ibuku, kesedihan karena tidak bisa mendampingiku tetap tak bisa ditutupi. Bulir-bulir bening yang sejak tadi kutahan, kini membasahi kedua belah pipiku. Lalu, kami lebih banyak terdiam dalam percakapan singkat itu. 

Sebentar kemudian, Mbak Zulfa dan kedua temanku memberi isyarat agar aku bersiap-siap menuju pelaminan yang ditata di serambi masjid. Khutbah walimah akan segera dimulai rupanya. Aku menyeka pelan-pelan bekas air mataku dengan tisu. 

Sungguh, saat ini aku ingin memelukmu, Ibu. Terima kasih atas pembelaanmu, di saat orang-orang mempertanyakan mengapa tidak menggelar pesta besar. Katamu, engkau tidak butuh angpau-angpau. Engkau dan ayah lebih percaya kepada cita-citaku untuk mewujudkan sebuah pernikahan impian, sesuai syariat Islam. 

Malang, 10 Februari 2007

“Bayinya sungsang ini, Mbak. Harus dioperasi, vonis bidan desa itu. 

Aku, calon ibu muda yang minim pengalaman tentu saja berdebar-debar tidak karuan. Membayangkan pisau bedah saja aku sudah ngeri. Lagipula, biaya dari mana? Aku dan suamiku adalah karyawan biasa. Kami hanya punya dana untuk proses kelahiran normal. 

Tenang, Nduk. Nanti ibu temani ke bidan yang lainnya. Siapa tahu hasilnya beda, ujar ibu menenangkanku. Aku sedikit lega mendengarnya. 

Sebuah pesan SMS masuk. Rupanya dari suamiku yang masih berada di Batam sana. Aku memang pulang kampung sendiri, dalam rangka cuti melahirkan selama tiga bulan. Pastinya jatah cuti normal suamiku tidak sepanjang aku. Tidak ada jalan lain, kami bersepakat bahwa ia akan menyusulku pulang kampung belakangan.

Maaf ya, Sayang. Abi ternyata tidak bisa cuti di sekitar Hari Perkiraan Lahir. Ummi lagi-lagi harus sendiri :( Abi bisa cuti di bulan April. Nanti sekalian kita balik ke Batam bareng.

Aku lemas membaca SMS itu. Tapi segera kuambil sisi baiknya; aku tidak sendiri jika kembali ke Batam nanti. 

Malang, 7 Maret 2007

Alhamdulillah, perempuan, ucap ibuku sambil memegang tanganku. 

Suara tangis bayi terdengar begitu merdu di telingaku. Rasa sakit yang berjam-jam mendera perut bagian bawahku mendadak sirna. Aku telah melahirkan secara normal dan lancar. Sebelumnya, aku sudah berusaha melakukan ritual sujud agar kepala janinku berputar ke bawah. Sementara itu, aku tahu bahwa ibuku terus mendoakanku di setiap sujudnya, di setiap usai salatnya.

Kulihat kelegaan luar biasa di wajah ibuku. Aku menangis haru, juga ibuku yang sejak kemarin mendampingiku. Ini seperti de javu. Dulu kami pernah berada dalam suasana seperti ini. Dulu ibuku juga pernah berdarah-darah, dan aku saat itu masih bayi merah.

Nanti biar Pamanmu yang meng-azani si kecil, kata ibuku sambil membelai rambutku. Bidan yang menolongku rupanya sudah selesai memandikan bayiku. 

Ya, hanya pamanku yang saat ini bisa melakukannya. Suamiku hanya bisa menangis haru di seberang sana saat kukabari lewat SMS singkat. Ia tidak bisa meng-azani putrinya, begitu juga dengan ayahku yang sedang sakit. Beliau berada di rumah. Ibu menitipkan beliau ke bibiku. 

Menjelang magrib, aku diperbolehkan pulang karena kondisiku dinilai telah stabil. Menaiki angkot sewaan, aku, ibuku, dan paman pulang ke rumah. Suasana jalan begitu gelap, hanya ada pendar-pendar lampu dengan cahaya sederhana. Sedang mati lampu rupanya. Tapi aku seakan melihat pelita yang terang benderang. Pelita itu, bayi mungilku. 

Hari-hari selanjutnya adalah tentang belajar dan berjuang. Aku sedikit kaget ketika harus begadang setiap malam. Ibuku mondar-mandir, antara menemaniku menimang si kecil dan merawat ayah. Aku tahu beliau lelah, tapi tidak ada keluhan yang keluar dari mulutnya.

Ya, beliau telah terbiasa. Hampir sepuluh tahun, ibuku mendampingi ayahku berobat ke mana saja. Menemani ayah keluar masuk rumah sakit seakan menjadi hal yang ringan baginya. Hingga suatu hari, perjuangan ibuku harus berakhir karena takdir.

Saat si kecil berusia 21 hari, ayahku pergi menghadap Ilahi. Kulihat mendung tebal menggantung di mata ibuku. Kami sama-sama menangis lagi, tapi kali ini menangis karena hancurnya hati. ‘Hadiah indah sudah kudapatkan, tapi tak lama kemudian aku harus kehilangan. Padahal rasanya aku masih belum membahagiakan cinta pertamaku itu. Aku yang masih muda dan fakir ilmu terguncang. Sampai-sampai ASI-ku menolak untuk keluar di hari-hari berikutnya. 

Ibu, aku tidak bisa membayangkan saat aku harus kembali lagi ke Batam nanti. Engkau akan sendirian. Apa sebaiknya aku menemanimu saja? Atau kulanjutkan mimpi yang masih separuh jalan kulalui?

Malang, 15 Agustus 2016

Aku, suamiku, anak sulungku, dan ibuku duduk mengitari sesosok mungil yang terbaring menggemaskan. Bayi laki-lakiku telah hadir ke dunia. Haru dan bahagia, hampir sama dengan sembilan tahun yang lalu. Tapi tentu saja ada yang berbeda. Kali ini aku melahirkan di sebuah rumah sakit swasta via sectio caesarea. Bayiku tak kunjung mau lahir sampai minggu ke-42. Ketubanku sudah menghijau, tapi anak keduaku itu sehat dan selamat. Alhamdulillah.

Ya, aku dan suamiku sudah kembali ke Malang pada akhir tahun 2010. Mimpiku untuk menyelesaikan kuliahku telah teraih. Janjiku untuk pulang kembali pada ibuku pun kutunaikan. Aku dan suamiku memulai perjuangan kami dari nol lagi. Ternyata memang tidak mudah. Tapi ibuku terus menyemangati dan aku tahu doa-doanya selalu menyertai.

Alhamdulillah, Nduk. Cucuku bertambah satu lagi. Syukur, kondisi kalian sudah jauh lebih baik dari yang dulu. Setiap anak yang lahir memang membawa jatah rezekinya sendiri, kata ibuku. Bintang-bintang tampak berkerlap-kerlip di matanya.

Sungguh, aku memang harus banyak bersyukur pada Allah Swt. Perjuanganku merantau sejak tahun 2000 sampai aku pulang kembali ke Malang telah banyak mengajarkan tentang arti ketangguhan. Aku belajar setangguh ibuku. Aku belajar tegar sepertinya. Aku ingin anak perempuanku nanti juga mengikuti jejak ketangguhan neneknya. 

Ya, anak perempuanku itu pernah menemani hari-hari sepi ibuku. Mengingatnya, membuatku sedih sekaligus lega. Sedih, karena aku harus berpisah sejenak dengan anak sulungku itu. Lega, karena anak sulungku menghadirkan selaksa keceriaan bagi ibuku, sepeninggal ayahku.

Ya Rabb, jagalah ibuku dengan segenap kasih sayang-Mu. Aamiin. 

***

Catatan:

Il Mio Eroe Femminile, bahasa Italia, artinya Pahlawan Perempuanku

You Might Also Like

1 comments

  1. Masyaallah bun sedih ya menikah tanpa orang tau. Bersyukur juga bisa menikah dengan syari tanpa khalwat. Saya dulu nikah enggak bisa begitu, yaudah yang penting tidak menggunakan adat-adatan hehe. makasih bun kisah inspiratifnya.

    ReplyDelete