Pexels.com |
Mungkin Anda pernah mendapatkan broadcast message dalam bahasa Jawa tentang seorang pemuda yang disuruh ibunya pergi shalat Jumat. Saya lupa siapa nama si tokoh. Sebut saja namanya Jupri. Padahal baru saja si Jupri pamitan ke ibunya, eeh… dia balik lagi ke rumah.
“Lha shalat Jumat-nya baru mau dimulai kok kamu malah pulang, Jup?” tanya sang bunda.
“Aku takut, Mak. Lha Khatibnya barusan bilang begini: ‘Saudara-saudara, yang bawa hape dimatiin saja!’ Daripada aku dibunuh, ya mending pulang saja. Soalnya aku bawa hape dan tak taruh di celana nih, Mak.” Jawab si Jupri.
Kisah fiktif ini lumayan membuat senyum dikulum. Karena ada seseorang yang dengan polosnya menerjemahkan secara mentah perkataan orang lain. Padahal yang dimaksud sang Khatib tentu saja adalah mematikan hape, bukan matiin atau membunuh orangnya :D
Jika yang di atas adalah rekaan belaka, maka saya pernah mengalami kisah nyatanya. Suatu siang, saya diantar oleh suami untuk janjian dengan seorang teman. Ternyata beliau belum pulang dari aktivitasnya. Kami memutuskan untuk berkeliling sebentar sambil menunggu beliau kembali ke rumah. Tak lama kemudian azan Dhuhur berkumandang. Kebetulan ada masjid yang tidak jauh letaknya dari tempat kami berkeliling, berada di sekitar Pasar Besar Malang.
Ini pertama kalinya saya mampir ke situ. Jamaah wanitanya tidak terlalu banyak dan rata-rata sudah paruh baya, sepertinya penduduk sekitar. Di belakang masjid memang ada perkampungan penduduk. Tidak ada yang aneh sampai saya selesai mengucapkan salam dan berzikir. Saya mundur dari shaf dan melihat keluar, ke arah parkiran. Suami saya belum berada di sana rupanya. Saya putuskan untuk berada di dalam dulu sambil menunggu sms dari teman saya. Saya mengeluarkan tab dari tas dan mengecek inbox, masih belum ada. Saya teruskan membuka aplikasi Alquran karena saya tidak membawa mushaf saat itu.
Saya baru membaca sebagian dan merasa ada seseorang lewat di depan saya sambil berbicara dengan nada mengomel. Saya belum ngeh, sampai kemudian saya mendongak dan mendapati seorang wanita paruh baya –mungkin seusia ibu saya- sedang memandang tajam ke arah saya sambil menunjuk tulisan di dinding masjid: MATIKAN HP SAAT MASUK MASJID.
“Wong masuk masjid kok menghidupkan hape… bla…bla…bla…” Beliau masih melanjutkan kicauannya ternyata. Saya menelan ludah, memasukkan tab ke tas dan melihat beliau berlalu ke arah pintu keluar. Wow, saya melakukan kesalatan fatal rupanya.
Ya sudahlah, saya memutuskan segera keluar saja dari situ. Daaan… di depan pintu keluar, ternyata si ibu masih di situ. Masih dengan wajah tak ramahnya dan mengomel dengan nada yang tidak enak didengar. Saya mencoba mendekat dan menjelaskan maksud saya mengeluarkan tab tadi. Berharap juga bisa membuka obrolan tentang maksud peraturan yang tertulis di dinding masjid itu. Eeh, beliaunya memotong perkataan saya dan terkesan tidak mau tahu sambil menghindar. What an unforgettable moment, hiks :(
Saya termasuk orang yang suka mampir ke masjid jika bepergian dan baru kali ini mendapati peraturan kaku ditambah sikap tidak bersahabat dari salah seorang jamaah –jamaah senior kali, hihi- Karena yang saya tahu, maksud dari peraturan yang tertulis di dinding itu tentu saja mematikan hape saat shalat sedang berlangsung agar tidak mengganggu jalannya ibadah jika tiba-tiba ada ringtone berbunyi. Saat masih menjadi pengurus sebuah Remaja Masjid dulu, malah ada pilihan selain itu: … Atau Ubah Ke Nada Getar.
Saya menduga si ibu memang ‘terlalu disiplin’ dan memahami peraturan yang tertulis secara tekstual, sama seperti si Jupri. Begitu haramnya perbuatan seseorang yang menghidupkan hapenya di masjid bagi beliau dan tak termaafkan pula tindakan seperti itu. Atau peraturannya memang seperti itu? Sayangnya saya tidak sempat bertanya kepada takmirnya. Selain terburu-buru pergi, juga ada sedikit rasa shock karena barusan dimarahin orang, hihi…
Saat menceritakan hal itu kepada suami, maka ada hikmah yang kami temukan bersama. Ya, pelajarilah adab sebelum berilmu. Terus terang, sikap si ibu itu berbahaya jika diterapkan kepada jamaah yang kebetulan mampir ke situ dan mempunyai pemahaman seperti saya. Mereka bisa kapok datang ke masjid itu lagi. Jika ada ‘jamaah baru’ yang dianggap melanggar peraturan, seharusnya diingatkan dengan nada baik-baik. Bukankah seorang muslim harus menunjukkan kemuliaan Islam yang sesungguhnya?
Dan tentang hape, baiklah. Memang lebih baik membawa mushaf saat bepergian sehingga saat ingin tilawah di masjid, kita bercerai sejenak dengan si hape. Tentang larangan mematikan hape saat di masjid, pemahaman saya masih sama; itu berlaku saat shalat berlangsung. Selesai shalat, kita boleh membukanya tapi tetap memastikan bahwa saudara-saudara kita yang mungkin sedang menjadi makmum masbuk tidak terganggu dengan tat-tit-tut suara hape kita.
Begitupun saat mengikuti kajian di dalam masjid, kadang kita memang memerlukan hape untuk mengambil gambar pemateri atau merekam isi taujihnya. Lebih baik kita memang fokus mendengarkan dan mencatat daripada sibuk whatsapp-an atau bbm-an, lha kan niatnya ngaji! Itulah yang saya alami saat mengikuti sebuah kajian di sebuah masjid di jalan Kahuripan, Malang. Masjid yang lebih ‘bersahabat’ karena saya tidak menemui adanya larangan itu, baik pada saat kajian berlangsung, pada saat kajian selesai dan dilanjutkan dengan shalat Dhuhur.
Note: Untuk ibu itu yang saya tidak tahu siapa namanya; Terima kasih atas pelajarannya ^_^
Tatiek Ummu Hamasah Afra
0 comments