Menulis Itu Kesungguhan

Menulis, kata Kurt Anderson, adalah sebuah perjuangan. ”It’s a very moment-to-moment struggle,” kata novelis ini. Betapa tidak, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, adalah hasil sebuah kemauan dan kesungguhan. Betapa banyak orang punya potensi, tetapi sedikit yang mencoba. Betapa banyak orang punya ide, tetapi sedikit yang rela berbagi. Banyak yang mampu, tetapi sedikit yang mau. Banyak yang berlatih, tetapi sedikit yang sungguh-sungguh.

Jadi, dimensi pertama dari ’perjuangan’ di sini adalah kemauan untuk menulis. Kemauan untuk menuangkan pikiran atau perasaan dalam sebuah tulisan. Ini tak ada hubungannya dengan siapa kita atau apa profesi kita. Pun tak terkait dengan apa yang kita punya. Setidaknya orang pernah berpikir dan berperasaan, maka itu akan menjadi bahan tulisan yang tak ada habisnya. Sayangnya, perkembangan budaya menjadikan ini semakin tidak mudah. Teknologi yang memupuk tradisi ‘kecepatan’ dan ‘kepraktisan’ telah membuat kita bahkan enggan untuk menuliskan sebuah kata secara lengkap.

Dimensi kedua, adalah kemauan untuk menulis dengan cara lebih baik. Ahmad Tohari pernah bercerita tentang perjuangan seorang lelaki tua yang ingin menulis. Penulis Novel Ronggeng Dukuh Paruk itu, suatu waktu, didatangi seorang purnawirawan yang ingin belajar menulis. Nasihat Kang AT–begitu dia biasa disapa, sederhana, “Belajarlah dengan menulis buku harian.” Nasihat yang agak aneh mungkin. Seorang kakek-kakek disuruh menulis buku diary ala anak SMA. Tapi kesungguhan mengalahkan segalanya. Pria tua itu pun patuh. Singkat cerita, selang beberapa bulan kemudian, cerpen pria itu dimuat oleh surat kabar ternama.

Dimensi perjuangan dari menulis berikutnya adalah kesadaran bahwa menulis adalah sebuah laku moral. Kesadaran bahwa menulis adalah kanal untuk berkomunikasi dengan orang lain, sehingga setiap huruf yang ditulisnya akan membawa pertanggungjawaban. Karenanya, menulis bermakna tak sekadar ekspresi tetapi juga berbagi. Tak semata narsis tapi juga katarsis. Inilah jalan perjuangan para guru dan pemikir yang telah membagi sekaligus mengabadikan ilmu dan ide-idenya dalam tulisan. Mereka lah para pejuang pena.


 


Source: Tarbawi

You Might Also Like

0 comments