Jelang Aqil Baligh Anak; Persiapkan Jauh-jauh Hari



Menjelang akhir Januari 2015 yang lalu beredar rangkaian foto menghebohkan yang menggambarkan seorang siswa SMP sedang ‘menembak’ kekasihnya yang masih berstatus sebagai siswi SD dan dilakukan di lingkungan sekolah yang ditonton teman-temannya. Sontak dunia sosial media menjadi ramai. Bahkan akhirnya hal ini diangkat sebagai berita di sebuah situs internet karena tema tersebut sedang menjadi trending topic di kalangan netizen. Dalam berita tersebut dipastikan mereka memang pacaran, bukan kakak beradik seperti yang dikira-kira sebagian orang yang masih mencoba tidak percaya.

Kali pertama membacanya, saya langsung beristighfar berkali-kali. Sedemikian jauhnya kah anak-anak sekarang memaknai tentang arti cinta tersebut? Jika di zaman saya masih bersekolah di SMK, gambaran ‘menembak’ calon pacar di depan umum sepertinya hanya ada di acara reality show televisi semacam “Katakan Cinta” yang notabene pelakunya adalah para siswa SMA atau mahasiswa, sekarang bahkan anak-anak yang seharusnya masih berkutat dengan seabrek tugas belajar dan ekstrakurikuler sudah berani merancang reality show-nya sendiri dan akhirnya ditonton oleh umum.

Dalam kasus itu tentu kita berpikir, bagaimana mungkin mereka dengan bebas melakukan aksi tersebut di sekolah? Salahkah sekolahnya? Mungkin iya. Karena walaupun itu dilakukan di jam istirahat, tak seharusnya siswa yang bukan penghuni sekolah tersebut bisa masuk seenaknya. Apalagi bukan untuk kepentingan keluarga. Yang paling menjadi pertanyaan besar seharusnya adalah bagaimana peran orang tua mereka selama ini. Ibu Fifi Proklawati Jubilea, pendiri dan pimpinan Jakarta Islamic School (JISc), berkata bahwa lingkungan yang terdekat dengan anak adalah keluarga, kemudian yang kedua adalah sekolah. Jika sekolah bagus dan keluarganya bagus maka akan tercipta lingkungan yang mantap. Jika keluarga biasa/tidak bagus dan sekolahnya bagus, maka menjadi ½ mantap. Jika keluarga bagus dan sekolah tidak bagus, maka jadinya ¾ mantap. Artinya dengan keluarga yang bagus, anak lebih besar potensi selamatnya walaupun mungkin lingkungan sekolahnya tidak bagus.

Saya mempunyai seorang putri yang bulan Maret 2015 nanti genap berusia delapan tahun. Setiap membaca atau mendengar berita tentang perilaku anak-anak yang nyeleneh, apalagi yang berpacaran dini seperti kasus di atas, kadang ada rasa was-was juga. Tapi alhamdulillah putri saya, Afra, sejauh ini sudah mengenal batasan-batasan hubungan dengan lawan jenis. Saya dan suami bahkan mulai mengajaknya berbincang tentang ini sejak ia berusia empat tahun. Ya, sekarang pada umumnya usia aqil baligh anak datang lebih awal daripada masa lalu kita yang sekarang menjadi orang tua. Maka kami pun mengambil ancang-ancang lebih awal untuk medampinginya menghadapi masa itu.

  1. Cinta Kepada Allah Itu Nomor Satu
Kata cinta yang hari ini mengalami penyempitan makna yang hanya seputar hubungan laki-laki dan perempuan perlu kita luruskan. Karena itulah yang pertama harus kita kenalkan kepada anak adalah cinta kepada Yang Maha Tinggi, Allah SWT. Saya dan suami dulu memulainya dengan banyak mengajak anak saya jalan-jalan, tidak harus ke tempat yang jauh. Jalan-jalan pagi sekeluarga menjelajah kampung-kampung sebelah yang kebetulan masih asri dan menawan. Kami mengajaknya mengamati matahari yang terbit dari timur, burung-burung yang berkicau, kerbau yang mulai berkubang di lumpur, rerumputan yang menghijau, bunga-bunga yang berbau harum dan kesegaran udara yang bisa dihirup di pagi hari. Kami mulai menanamkan prinsip ‘Allah Yang Paling Hebat’ sebagai kesimpulan dari rasa kagum terhadap  kehebatan Allah SWT dalam menciptakan itu semua. Maka dengan prinsip itu, anak akan lebih mudah diarahkan untuk patuh kepada aturan-aturan Allah SWT yang mulai kami kenalkan. Misalnya: “Mbak Afra kan cinta sama Allah, ngaji yuuk…” atau “Anak shalihah, pingin dicintai Allah kan? Shalat bareng yuk…” dan yang senada dengan ini, “Malu lah sama Allah. Masak gitu hayooo…”

Diselingi juga dengan mengajarinya gubahan lagu “Satu-Satu Aku Sayang Ibu” menjadi “Satu-Satu Aku Cinta Allah” yang mudah diingat anak sebagai gambaran tingkatan cinta yang sebenarnya.

Satu-satu aku cinta Allah

Dua-dua cinta Rasulullah

Tiga-tiga cinta abi ummi

Satu dua tiga, jalan masuk surga

  1. Orang tua Sebagai Role Model
Dimulai dengan mengajaknya membuka-buka album pernikahan kami dan kami bercerita bahwa saya dan abinya dulu tidak berpacaran, tetapi ta’aruf lalu sebulan kemudian menikah. Entahlah, pada saat ia berusia empat tahun itu yang jelas ia sudah mengenal kosa kata pacaran dari lingkungan sekitar. Kebetulan ada saudara yang kerap membawa pacarnya ke rumah. Mungkin juga dari obrolan teman-teman bermainnya yang lebih besar. Karena memang ia juga bermain dan berbaur dengan anak-anak di kampung saya. Maka segera saja saya mengenalkan konsep ‘pacaran setelah menikah’ dan ‘pacaran itu dosa’ dengan bahasa yang bisa dimengertinya. Saat ia memasuki bangku TK, beberapa temannya saling menjodoh-jodohkan satu sama lain. Wow, anak TK gitu lho! Tapi saat giliran anak saya  yang dijodoh-jodohkan, dengan tegasnya ia berkata, “Aku sama dia lho temenan aja! Apa itu pacaran? Kata ummiku dosa, tau!” Begitulah yang ia ceritakan sepulang dari sekolah dan membuat saya tersenyum.

Maka jika kita sebagai orang tua mempunyai kisah tentang ta’aruf dan menikah tanpa pacaran, kita sudah menjadi role model yang pertama dianutnya. Ada keteladanan yang bisa diikutinya kelak dan ada prinsip sejak dini yang bisa ia pegang. Menurut sebagian ahli tafsir, Nabi Yusuf As. yang dimampukan Allah SWT untuk menolak ajakan zina istri Al ‘Aziz adalah karena beliau terbayang wajah ayahandanya, Nabi Ya’qub As. Betapa keteladanan itu bisa sangat membekas pada diri anak saat ia dewasa. Berbahagialah orang tua yang anaknya jadi teringat dengan kebesaran Allah SWT saat mengingat orang tuanya.

Tentu saja bagi para orang tua yang dahulu sempat melewati masa berpacaran dan tidak ingin anaknya seperti itu, juga belum terlambat untuk memulai. Ada kisah pernikahan Rasulullah Muhammad dan ibunda Khadijah yang bisa diceritakan kepada anak. Bahwa Rasulullah menghabiskan masa muda untuk berprestasi dalam perdagangan dan muamalah lalu menikah di saat yang tepat dan mendapatkan jodoh yang tepat tanpa pacaran. Manfaatkan waktu emas untuk berkisah yaitu sebelum tidur karena di waktu ini suasana pada umumnya nyaman dan rileks. Serta lakukan secara teratur karena dengan pengulangan-pengulangan, si anak akan semakin mudah memahami pola yang ingin kita sampaikan melalui daya ingat cemerlang di masa golden age-nya.

Saya sendiri berusaha mengajaknya berdialog dari hati ke hati tentang sosok laki-laki yang baik yang boleh diidolakan. Rasulullah SAW tentu saja menjadi yang pertama. Selanjutnya adalah sosok abinya. Sejauh ini memang ia sangat dekat dengan abinya walau pun abinya bertugas di luar kota. Hari Sabtu dan Ahad saat abinya pulang menjadi primetime bagi mereka. Sering saya membiarkan mereka bercengkrama berdua. Pengalaman saya membuktikan jika seorang anak perempuan sudah nyaman dengan sosok Hero seorang ayah, niscaya ia tak akan mudah mencari sosok Hero lain di luar sana kelak. Dan jika sudah waktunya, lelaki pilihan sebagai suami tak jauh dari sosok baik sang ayah. Itu yang terjadi antara saya dan ayah saya dulu.

  1. Akhlak Yang Baik Adalah Prestasi
Krisis yang menimpa anak-anak di atas dan juga generasi muda saat ini adalah krisis akhlak. Sekali lagi, orang tua berperan penting dalam pemberian contoh dan pengarahan ke arah akhlak yang baik. Kaitannya dengan persiapan aqil baligh anak, akhlak pertama yang harus dimiliki anak adalah menghargai tubuhnya sendiri. Kami dulu mengajari anak untuk bersyukur terhadap tubuh sempurna yang dikaruniakan Allah SWT padanya. Dengan mengajaknya merasakan nikmatnya bisa berjalan, berlari, memegang, berbicara, mendengar dan melihat. Kami tanamkan prinsip ‘Tubuhku ini berharga’ sehingga tak boleh ada orang lain yang sembarangan memegang tubuhnya pada bagian-bagian yang kami jelaskan sebagai kehormatan bagi wanita dan anak perempuan. Kebetulan ada animasi tentang itu yang membuatnya lebih paham akan pesan yang kami sampaikan.

Maka sejak pra-TK ia mulai merasa malu jika mandi dengan pintu terbuka dan kami membelikannya piyama anak berbahan kain handuk agar saat keluar kamar mandi tubuhnya tertutupi. Juga saat berganti pakaian, ia akan menutup pintu kamarnya. Pernah ada beberapa temannya yang bermain-main di sekitar rumah dan hendak menyusulnya, disuruhnya menunggu di luar saja karena ia sedang berganti pakaian. Saat bermain di luar, pasti ia berpakaian lengkap. Jika memakai rok, ia akan meminta memakai celana sepanjang lutut sebagai dalamannya. Sungguh menyedihkan karena saya pernah menemui beberapa anak perempuan yang dibiarkan orang tuanya bermain-main dengan celana pendek dan kaus singlet saja. Begitu pun saat mengikuti saya ke luar rumah, ia akan meniru saya memakai jilbab. Dilanjutkan dengan pengenalan terhadap haid sejak ia duduk di kelas satu. Tentunya dengan penyampaian yang mudah dipahaminya.

Tontonan dan bacaan membawa pengaruh besar dalam perkembangan akhlak anak. Maka akhlak kedua yang harus dimiliki anak adalah menyukai tontonan dan bacaan yang sehat. Keluarga kami termasuk yang memiliki televisi di rumah tapi tentu saja jam menonton untuknya kami batasi satu jam saja. Pun sinetron cinta-cintaan tidak jelas atau tayangan kekerasan bukanlah menu di televisi kami. Sebenarnya ia lebih kami arahkan untuk menonton VCD kartun anak bertema Islam seperti Syamil dan Dodo di laptop dengan durasi satu jam juga. Kebetulan anak kami adalah anak bertipe visual, mudah menangkap pesan yang disampaikan lewat tayangan video atau gambar bergerak. Ia tidak bosan memutarnya berulang-ulang sampai hafal dialog tokoh-tokohnya. Suatu saat ia berkata, “Mi, aneh ya orang-orang yang takut hantu. Lha kan ruh orang mati itu ada dalam genggaman Allah. Mana bisa jalan-jalan?” Ternyata ia mendapatkan informasi itu dari film kartun Islam yang ditontonnya.

Semakin dewasa ia, warna yang ia dapat dari teman-temannya juga mulai beragam. Beberapa temannya ada yang jadi penggemar girls band, dangdut sampai sinetron semacam Ganteng-Ganteng Serigala. Mereka tentu saja terpapar itu dari orang tuanya yang menyetel televisi tanpa batasan waktu atau tanpa kontrol. Tapi jika teman-temannya itu bermain di rumah, mereka segan untuk sekedar bernyanyi lagu-lagu picisan atau meminta diputarkan program televisi yang biasa mereka tonton di rumah. Rupanya anak kami mewanti-wanti peraturan yang kami berlakukan padanya kepada teman-temannya itu. Sewaktu ia masih duduk di bangku TK, ada sedikit kisah tentang lagu-lagu picisan yang dihafal teman-temannya dan waktu itu dinyanyikan mereka keras-keras di depan rumah. Anak saya langsung menegur, “Ngapain nyanyi lagunya orang dewasa? Nanti kamu tambah tua lho!” Tapi sebagian dari temannya tetap cuek bernyanyi sehingga membuatnya kesal dan masuk ke dalam rumah. Ia menangis dan mengadu kepada saya. Saya jelaskan bahwa ia sudah benar dan tidak apa-apa jika temannya tidak mau berhenti karena mungkin orang tua mereka belum memberi tahu tentang itu. Ia pun mulai tenang menghadapi kenyataan hasil ‘dakwahnya’.

Sebagai anak yang serba ingin tahu tentang film kartun, beberapa waktu yang lalu ia juga tergoda untuk menonton film kartun seperti Rapunzel atau Frozen.  Ia kami perbolehkan menonton dengan kami dampingi. Jauh-jauh hari kami sudah mengisahkan tentang nabi Musa dan para penyihir Fir’aun. Jadi ia sudah punya gambaran bahwa sihir itu bathil. Penasarannya terobati, tapi ia juga bisa menangkap pesan-pesan positif yang kami sampaikan dari film itu. Pada umumnya anak perempuan memang menyukai hal-hal berbau princess, begitu juga anak kami. Maka jauh-jauh hari juga kami membelikannya bacaan tentang kisah putri-putri Islam yang tertutup auratnya dan santun akhlaknya seperti Putri Jihan, kumpulan putri dari kesultanan Islam, kisah para putri yang diambil namanya dari Asmaul Husna, juga kisah tentang ‘Aisyah ra. yang banyak tersebar di buku cerita yang kami belikan sebagai gambaran putri yang cerdas dan shalihah. Ia sudah punya gambaran ideal para putri dan semoga prinsip itu terus dipegangnya. Saya ingat sebuah pelajaran mendidik anak yang disampaikan oleh Pak Adriano Rusfi, Psi bahwa orang tua harus meng-imunisasi anaknya terhadap gangguan dari luar dan bukan men-sterilisasinya.

Penerapan akhlak baik yang menjadi benteng baginya kami anggap sebagai prestasi. Kami tidak terlalu risau dengan prestasi akademiknya yang memang sejauh ini tergolong baik. Kami berusaha menghargai dan memuji praktik akhlak baik yang dijalankannya dan mengarahkannya atau memberi punishment yang mendidik jika ia belum memahami atau melanggar. Sungguh PR ini masih banyak dan panjang sebagaimana tantangannya ke depan juga mungkin lebih berat daripada yang kami hadapi. Kami pun terus belajar menjadi orang tua yang memberi keteladanan terlebih dahulu. Ya Allah, bimbinglah kami.

“Sesiapa punya anak wanita, dididik baik-baik, diajarkan akhlaq terpuji, dinikahkan dengan lelaki shalih; baginya dua pahala.” (HR. Muslim)

“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasihat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu. Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikitpun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (HR. Tirmidzi)

~~~

Malang, 05 Februari 2015/15 Rabiul Akhir 1436 H

Sepenuh cinta untuk putriku, Hamasah Afra Qonita Syazwina

Tatiek Ummu Hamasah Afra

*tulisan lama yang belum sempat teraplod ^_^v

You Might Also Like

0 comments