Televisi Bukan Sahabat Baik untuk Anak



pixabay
Di rumah kami ada televisi, sebagaimana semua rumah di kampung kami juga memilikinya. Jika saja berkeliling pada jam primetime di malam hari ke rumah-rumah tetangga, bisa dipastikan televisi mereka sedang menyala semua. Di rumah kami? Iya, tapi tidak selalu begitu setiap malam. Biasanya ibunda saya menonton pada jam tersebut jika tidak sedang ada acara keluar rumah. Kadang beliau menonton sinetron, lebih seringnya sih menyaksikan siaran berita lokal. Jika si kecil tidur atau saya sedang menyetrika baju, saya ikut nimbrung juga untuk ngobrol dengan beliau.

Keluarga kami tidak anti televisi, tapi juga tidak memilih televisi sebagai teman untuk menghabiskan waktu. Saya sendiri tidak merasa rugi jika seharian tidak menonton televisi. Dulu sih saya dan suami pernah menerapkan No TV at Home saat tinggal di Batam. Alhasil, kami sering ketinggalan informasi ini-itu. Sekarang tentu saja tidak lagi. Seluk beluk informasi tetap bisa kami dapatkan melalui gawai di tangan, bahkan kadang lebih cepat datangnya daripada berita di layar kaca.

Televisi dan Anak Kami
Bagaimana dengan anak kami? Si kakak Afra termasuk anak yang menyukai film dan sebenarnya ada film favorit yang selalu ingin dilihatnya di televisi pada sore hari. Saya memahami cara ‘belajarnya’ itu. Kok belajar? Iya, bagi kami sebagai orang tua, menonton film yang baik adalah salah satu sarana belajar untuk anak. Ia bisa mengambil pesan kebaikan dari film tersebut, menikmati dunia animasi (karena yang disukainya adalah film animasi), dan menambah perbendaharaan kosakata via percakapan tokoh di dalamnya. Tentu saja ada persyaratan tertentu, yaitu:
  • Sudah mandi sore dan salat Ashar
  • Durasi menontonnya adalah 1-2 jam saja
  • Jika saya tidak sempat mendampingi dan ada hal-hal yang baru baginya, ia saya dorong untuk bertanya dan berdiskusi sesudahnya
  • Jika ada kesibukan di rumah dan ada ulangan di sekolah keesokan harinya, menontonnya dibatalkan saja
  • Jika ada buku baru, saya menyarankan agar membaca buku saja



Si adek, Akmal, yang sekarang berusia 17 bulan juga berusaha tidak kami ‘kenalkan’ pada televisi di usia dini. Tentu saja tidak bisa ‘steril’ karena kadang si adek bermain di ruang keluarga saat televisi sedang ditonton eyangnya. Alhamdulillah, sejauh ini ia jarang sekali menatap siaran televisi yang sedang berlangsung. Ia lebih tertarik memainkan bolanya atau mondar-mandir ke kamarnya. Ya, kamar dan serambi rumah adalah arena favoritnya untuk bereksplorasi. Ada sih tontonan baginya yaitu VCD edukasi yang diputar via laptop untuk menstimulasi motoriknya. Itu juga kami batasi dan tidak setiap hari. Caranya, saya meniru apa yang ada di video tersebut dan ‘berakting’ di depannya. Ada komunikasi dua arah di antara kami, sehingga ia tidak pasif dan tergerak untuk mengikuti dan bereaksi.

Si adek lebih senang dibacakan buku atau diajak membuka-buka majalah bergambar



Mungkin ada anak-anak yang terselamatkan dari kecanduan televisi karena sudah ada gawai di tangan. Jika efeknya anak juga jadi kecanduan gawai, itu namanya lepas dari mulut buaya masuk ke mulut singa, dong. Sama saja ^^ So, menurut saya teralihkannya perhatian anak ke gawai itu bukan solusi. Membaca buku, bermain di luar rumah, dan lebih banyak berinteraksi dengan anak secara face to face adalah cara tepat bagi keluarga kami agar anak tidak menjadi sahabat baik televisi. Bagaimana menurut Anda?

Salam orang tua peduli,






Tulisan ini diikutsertakan pada program Tantangan #SatuHariSatuKaryaIIDN
 

You Might Also Like

0 comments