Kemandirian itu laksana sebuah pohon. Awalnya, ia harus disebar bibitnya atau ditanam tunasnya sehingga ia akan mengakar dan tumbuh dengan kuat pada diri seorang anak. Ia bukan seperti menunggu buah yang matang, yang siap dipanen atau jatuh dari pohon.
So, menumbuhkan kemandirian memang memerlukan usaha.
Throwback. Seingat saya, saat usia Afra sekitar 4 tahun, ia sudah bersikeras memakai pakaiannya sendiri. Memasangkan kancing baju menjadi saat yang menyenangkan baginya. Begitu juga dengan merapihkan mainan. Lumayan lah, walaupun belum rapih banget.
Mungkin ada juga balita di usia yang sama tapi maunya dilayani saja. Karena si ibu tidak tegaan, pelayanan pun lanjut terus. Hmm...
Mandiri untuk Balita
Tentu saja, mandiri itu bukan singkatan dari mandi sendiri. Hehe... Istilah resmi dari mandiri adalah autonomy yaitu kemampuan untuk melakukan aktivitas secara sendiri. Lingkupnya sangat luas, misalnya: bekerja dan mengambil keputusan.
Nah, kemandirian untuk balita lebih ditekankan pada keterampilan kegiatan sehari-hari. Ini juga merupakan tugas perkembangan anak balita, lho. Menurut tahapan psikososial Erik Erikson, kemandirian ini dimulai pada tahun kedua kehidupan balita.
Pada tahun kedua tersebut, balita umumnya telah mendapatkan kedekatan dan dengan orang tua, saudara kandung, pengasuh, atau kakek-nenek. Ia mulai menyadari keinginan serta kemauannya. Lalu berlanjut dengan mencoba seberapa jauh kemampuannya.
Si Akmal saat berusia 2 tahun dulu, dia menarik-narik tangan Si Abi setiap kali melihat anak tangga. Dia bersikeras naik turun, yakin bahwa Si Abi akan membolehkan. Minimal akan mengawal di dekatnya. Jatuh? Siapa takut.
Bisa dibayangkan jika seorang balita tidak mendapatkan kedekatan itu. Dia akan ragu-ragu mencoba karena merasa tidak ada yang melindunginya.
2 Kunci Utama Kemandirian Balita
1. Kepercayaan
Lingkungan (orang tua, saudara, pengasuh, kakek-nenek) si anak balita harus memberikan kepercayaan bahwa segala aktivitas keseharian balita bisa menjadi ajang latihan kemandirian. Misalnya aktivitas sederhana seperti memakai topinya sendiri dengan benar.
Lingkungan si anak balita seharusnya berupaya memberikan bantuan yang minimal, sampai kepada tanpa memberi bantuan sama sekali. Cukup awasi dan berikan kepercayaan karena si balita sedang penasaran ingin mencoba sendiri.
2. Konsistensi
Saat si anak balita mencoba makan sendiri dan sepertinya enjoy melakukannya berkali-kali, sebaiknya jangan membuatnya bingung dengan menyuapinya lagi. Yuk, konsisten!
Konsistensi akan membuat si anak balita semakin terlatih dan terbiasa. Ini tentu berdampak positif pada perkembangan kemandiriannya.
Komunikasikan baik-baik faktor konsistensi dengan seluruh anggota keluarga. Harus jadi tim kompak yang tidak mudah kasihan pada balita di saat yang kurang tepat. Semua demi kebaikan si anak balita, kok.
5 Tips Melatih Kemandirian Balita
1. Terlibat tapi Tidak Terlalu Jauh
Untuk memulainya, pasti orang tua akan memberi contoh terlebih dahulu. Biasanya sih tidak hanya sekali. Tapi tetap niatkan itu sebagai keterlibatan awal saja, tidak seterusnya.
Misalnya, orang tua memberi contoh bagaimana memakai sepatu yang berperekat velcro. Sebaiknya saat awal-awal, bukan sepatu bertali, ya. Karena itu cukup rumit untuk ukuran balita.
Sekali, dua kali. Lalu coba biarkan si balita mencoba. Secara normal, si anak balita justru akan suka jika diperbolehkan memakai sepatunya sendiri.
2. Membagi Tugas
Sebaiknya orang tua mengelompokkan apa yang harus dilakukan si anak balita. Ini akan memudahkannya menyelesaikan 'tugasnya'. Berikan instruksi yang jelas dan rinci, bukan hanya kalimat singkat.
Misalnya, orang tua hendak melatih si anak balita untuk melepaskan bajunya sendiri. Katakan, "Lepas kancingnya satu per satu. Mulai dari kancing yang atas, ya. Kalau sudah, buka bajunya. Tangan kiri dulu yang dilepas, ya."
3. Memberi Batas Waktu
Merapihkan mainan biasanya adalah tugas sehari-hari orang tua, khususnya para ibu. Kita pastinya bisa membereskannya dalam waktu singkat. Sat set sat set...
Saat orang tua melatih si anak balita merapihkannya, coba beri batasan waktu juga dengan cara menyenangkan. Misalnya dengan menyalakan alarm yang berbunyi lucu. Ini akan membuat si balita bersemangat, sekaligus berlatih tentang tanggungjawab dan menghargai waktu.
4. Tanggapan Positif
Saat si anak balita mampu melakukan aktivitas hariannya sendiri, sebaiknya pencapaiannya itu kita hargai. Ya, mereka tetap butuh perhatian orang tua, dong.
Misalnya saat si anak balita bisa mencuci tangannya sendiri dengan sabun di bawah keran dan mematikan keran dengan baik. Ucapkan, "Wah, anakku pintar. Sudah bisa mencuci tangan sendiri. Menang lawan kuman, ya. Horeee!"
5. Latihan Membuat Keputusan
Sejak kecil, si anak balita sudah bisa kita ajak untuk belajar mengambil keputusan secara bijak. Itu bisa dimulai dengan mengajak si anak untuk memilih di antara dua hal. Misalnya, memilih warna pakaian.
Bisa juga dengan membuat si anak balita sebagai decision maker saat berlangsung piknik keluarga ke kebun binatang. Persilakan dia memilih kandang binatang mana yang hendak dikunjungi terlebih dahulu.
Si anak akan merasa senang karena opininya jadi bahan pertimbangan. Jika pun tidak sesuai dengan kondisi, jelaskan pelan-pelan saja.
So, kita sebagai orang tua harus optimis dan berpikiran positif bahwa si balita bisa. Kepercayaan dirinya akan terus tumbuh, perkembangan kemandiriannya pun meningkat.
Ujungnya, kita akan merasa lega dan bahagia karena buah hati telah melewati tahap perkembangan yang sesuai dengan usianya. Anak mandiri? Pasti bisa!
Salam,
Sumber info: Parentsguide Magazine No. 11/ Agustus 2008
Sumber gambar: pexels
0 comments