"Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktik hidupnya manusia, atau praktik hidupnya bangsa, atau praktik hidupnya dunia kemanusiaan."
(Pidato Bung Karno saat menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 19 September 1951)
Waktu sudah menunjukkan pukul 13.30 WIB ketika saya sekeluarga menginjakkan kaki di depan gerbang Perpustakaan Proklamator Bung Karno, Blitar, Jawa Timur. Di atas gerbang bernuansa abu-abu itu tampak running text LED berwarna merah bertuliskan: Amanat Presiden Sukarno. (Memakai ejaan baru). Kalimat selanjutnya adalah yang saya tuliskan di atas. Seems familiar, right?
Alhamdulillah, akhirnya saya sekeluarga sampai juga di perpustakaan yang merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tersebut, setelah sekian lama tertunda. Padahal jarak perpustakaan ini dengan rumah Eyang saya di Blitar hanya sekitar 15 kilometer saja.
Biasanya, kami ke rumah Eyang dan keluarga besar dahulu. Kalau sudah ngobrol begitu, kami jadi keasyikan dan enggan ke mana-mana lagi. Maka saat itu, Jumat (19/04/19) kami memutuskan untuk mengunjungi Makam Bung Karno terlebih dahulu sebelum sowan ke Eyang.
Layanan Koleksi Memorabilia, Semua Benda tentang Soekarno
Layanan Koleksi Memorabilia, Semua Benda tentang Soekarno
Lho, kok Makam Bung Karno? Tadi katanya perpustakaan?
Nah, bagi teman-teman yang belum tahu, Makam Bung Karno ada di bagian belakang Perpustakaan Proklamator Bung Karno tersebut. Sejak diresmikan oleh Presiden Indonesia saat itu, Megawati Soekarnoputri (3/07/04), para pengunjung Makam Bung Karno tidak hanya sekadar nyekar. Mereka bisa menambah pengetahuan tentang Bung Karno dan segala jejak pemikirannya dengan mengunjungi perpustakaan itu.
Hari itu, pengunjungnya terlihat cukup ramai. Maklum, bertepatan dengan tanggal merah. Bahkan saat saya berpose di depan patung besar Bung Karno yang terletak di tengah jalan perpustakaan, beberapa anak sekolah berlalu-lalang. Sepertinya tidak sabar untuk menunggu antrean berfoto. Duh...
Oke, deh. Saya dan Afra segera saja menuju ke Perpustakaan Proklamator Bung Karno bagian Gedung A Barat. Bagian ini disebut juga dengan Bagian Layanan Koleksi Memorabilia. Di dalamnya tersimpan koleksi foto, patung, lukisan, dan benda-benda peninggalan Bung Karno.
Tidak perlu mengeluarkan biaya alias gratis. Saya hanya perlu mengisi buku tamu yang disediakan. Sampai saya selesai mengisi buku tamu, si kecil beserta Si Abi dan ibunda saya sepertinya masih betah di luar. Yo wis lah. Saya berkeliling ruangan dengan Afra saja.
Ruangan Memorabilia di lantai 1 itu cukup luas dan bersih. Terlihat di bagian kanan ada foto Bung Karno memegang wayang. Di sebelahnya, terdapat foto ibunda beliau yang berdarah Bali, Ida Ayu Nyoman Rai. Berikutnya, foto Bung Karno sungkem pada ibu, dan foto orang tua Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodihardjo beserta istri.
Bagi saya, itu seperti mengulang pelajaran sejarah saat SD dulu yaitu menghapal nama-nama. Setelah beranjak dewasa, saya akhirnya tahu bahwa mempelajari sejarah tidak hanya tentang menghapal nama dan tanggal, tapi juga memahami kisah di baliknya untuk dijadikan pelajaran hidup di masa kini.
Saat menatap foto kedua orang tua Bung Karno itu, teringat kembali kisah cinta mereka yang heroik. Dua insan berbeda suku dan agama itu akhirnya bisa bersatu setelah melewati pertentangan berat dari keluarga. Lebih lengkapnya, gugling saja, yak. Hehe...
Lanjuuut...
Benda paling menarik perhatian saya di ruangan itu adalah baju kebangsaan Bung Karno yang berwarna coklat muda dengan empat saku. Baju tersebut sering dipakai Bung Karno saat acara kenegaraan atau kunjungan ke luar negeri. Akhirnya, saya bisa melihat langsung baju bersejarah itu walaupun hanya dari balik kaca.
Koleksi yang lain tentu saja menarik pula, seperti: replika pesawat udara masa kemerdekaan, replika bendera merah putih, mata uang kertas Orde Lama yang bergambar Bung Karno, koper pribadi Bung Karno, Keris Kyai Sekar Jagad milik Bung Karno, dan lukisan sosok Bung Karno yang lain.
Berbelok ke kiri, ada deretan miniatur tempat pengasingan Bung Karno yang diletakkan dekat dengan tembok. Tercatat, Bung Karno pernah diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur (1934-1938), ke Brastagi dan Parapat, Sumatera Utara (1948), dan ke Bengkulu (1938-1942).
Saya merenung di depan 4 miniatur itu. Betapa dipenjara dan diasingkan tidak membuat semangat juang Bung Karno surut. Pernah hampir menyerah, sih. Tapi beliau segera bangkit lagi. Salah satunya atas dorongan istrinya saat berada di pengasingan Ende, Inggit Ganarsih. Ah, apa kabar kita yang terkena cobaan hidup sedikit lalu mutung? Hiks...
Lalu, di seberang miniatur-miniatur tersebut berjajar rapi puluhan foto yang menceritakan kehidupan pribadi Bung Karno maupun kiprah beliau sebagai pejuang dan pemimpin negara. Foto-foto itu di-copy dari sumber aslinya dan dicetak dengan resolusi tinggi sehingga nyaman dilihat.
Butuh waktu yang lumayan lama untuk melihat momen-momen bersejarah di dalam foto-foto tersebut. Kesimpulannya: Masya Allah, bangsa Indonesia sungguh bangga pernah memiliki salah satu putra terbaik seperti Bung Karno.
Di sudut paling akhir menuju pintu keluar, ada salinan teks proklamasi berukuran besar yang diapit gambar Bung Karno dan Bung Hatta. Sejak kecil, saya suka mendengar saat teks proklamasi dibacakan. Merinding dan haru. Hormat saya kepada Anda berdua, wahai pahlawan proklamator.
"Yuk, ke gedung sebelah," kata Si Abi yang ternyata sudah membuntuti saya sejak tadi. Sementara itu, Afra sedang bercanda dengan Eyang Uti dan adiknya di sudut perpustakaan lain, di dekat patung Garuda Pancasila.
"Gedung sebelah Timur tutup hari ini, Bi. Sayang banget, jadi gak bisa lihat buku-buku," sahut saya.
Gedung A Timur yang berisi koleksi buku-buku sejarah Indonesia dan dunia itu sedang tutup. Sayang sekali. Saya tidak dapat melihat-lihat koleksi perpustakaan yang disebut sebagai yang terbaik dibandingkan koleksi seluruh kampus di Indonesia. Ya, Perpustakaan Proklamator Bung Karno memang dibiayai oleh APBN dan memperoleh hibah buku dari banyak pihak.
Maka pilihan kami selanjutnya begitu keluar dari pintu Ruangan Memorabilia tentu saja ke arah Makam Bung Karno.
Tempat Peristirahatan Terakhir Putera Sang Fajar
Tempat Peristirahatan Terakhir Putera Sang Fajar
Dari jauh, terlihat jelas gapura yang menjadi pintu gerbang Makam Bung Karno. Beberapa orang tampak berada pada sisi jalan yang mengarah ke tangga tinggi menuju makam. Di sisi kiri tembok ada deretan penjual cinderamata, sedang di sisi kanan berderet ukiran semen yang menggambarkan sosok Bung Karno.
Saya sekeluarga mengambil pose beberapa kali di depan ukiran tersebut. Afra dan adiknya tampak asyik mengamati ukiran-ukiran dinding itu. Si Adek kegirangan saat melihat ukiran mobil kepresidenan Bung Karno. Anak cowok, sih. Apapun yang berbau mobil pasti suka ;)
Kami pun segera menaiki tangga, lalu berbelok ke kanan. Di pojok kanan itu terdapat Sekretariat Makam Bung Karno. Setiap pengunjung yang ingin mengunjungi makam harus mengisi buku tamu, cukup perwakilannya saja yang mengisi, sih. Sekaligus membeli tiket retribusi seharga Rp. 3.000 per orang.
Done. Tidak terlalu lama antreannya, alhamdulillah.
Saya sekeluarga segera memasuki gerbang makam yang dijaga ketat security. Di sisi kanan gerbang, tampak jelas plakat bertuliskan tanggal peresmian oleh Presiden Soeharto, 21 Juni 1979. Itu persis 9 tahun sejak wafatnya Bung Karno pada tanggal 21 Juni 1970.
Sebenarnya, Bung Karno berwasiat agar dimakamkan di Bogor. Tapi saat itu Presiden Soeharto menilai bahwa sebaiknya Bung Karno dimakamkan di dekat makam kedua orang tuanya di Blitar saja. Mengingat Bung Karno adalah sosok yang sangat dekat dengan ibunya, kata Pak Harto saat itu. Hingga kini, anak-anak Bung Karno masih berbeda pendapat tentang wasiat Bung Karno tersebut.
Sebagai keturunan orang Blitar yang sekarang tinggal di Malang, saya tentu saja ikut bangga karena Makam Bung Karno berada tidak terlalu jauh dari tempat tinggal saya. Semoga makam beliau tetap di Blitar ya, Bu Mega :)
Back to the laptop...
Dari pintu gerbang itu, terlihat Cungkup atau bangunan utama makam sudah dipenuhi oleh banyak peziarah. Semakin mendekat, semakin terdengar jelas lantunan ayat-ayat suci Alquran. Kami mendekat, menaiki anak tangga Cungkup. Para peziarah yang khusyu berdoa tampak mengelilingi tiga makam. Bung Karno sedang tertidur dengan damai di dalam sana, diapit oleh kedua orang tuanya. Ah, tiba-tiba saja ada gerimis turun di mata saya.
Saya tiba-tiba teringat sesuatu. Saya pernah membaca cuplikan tulisan Bung Karno dalam bukunya, Penyambung Lidah Rakyat. Beliau bercerita tentang masa kecilnya yang indah bersama sang ibunda.
Ibu telah memberikan pangestu kepadaku ketika aku baru berumur beberapa tahun. Di pagi itu ia sudah bangun sebelum matahari terbit dan duduk di dalam gelap di beranda rumah kami yang kecil, tiada bergerak.
Ia tidak berbuat apa-apa, ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang arah ke timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang.
Aku pun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya.
Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak:
"Engkau sedang memandangi fajar, Nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita. Karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu.
Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kaulupakan, Nak. Bahwa engkau ini putera dari sang fajar."
Ia tidak berbuat apa-apa, ia tidak berkata apa-apa, hanya memandang arah ke timur dan dengan sabar menantikan hari akan siang.
Aku pun bangun dan mendekatinya. Diulurkannya kedua belah tangannya dan meraih badanku yang kecil ke dalam pelukannya.
Sambil mendekapkan tubuhku ke dadanya, ia memelukku dengan tenang. Kemudian ia berbicara dengan suara lunak:
"Engkau sedang memandangi fajar, Nak. Ibu katakan kepadamu, kelak engkau akan menjadi orang yang mulia, engkau akan menjadi pemimpin dari rakyat kita. Karena ibu melahirkanmu jam setengah enam pagi di saat fajar mulai menyingsing.
Kita orang Jawa mempunyai suatu kepercayaan, bahwa orang yang dilahirkan di saat matahari terbit, nasibnya telah ditakdirkan terlebih dulu.
Jangan lupakan itu, jangan sekali-kali kaulupakan, Nak. Bahwa engkau ini putera dari sang fajar."
Kami pun ikut berbaur bersama mereka. Duduk bersimpuh, menundukkan kepala, berdoa agar Allah menerima segala amal dan mengampuni segala kesalahan presiden pertama Indonesia itu.
Selesai berdoa, saya mengamati langit-langit Cungkup yang berhias ukiran indah. Angin cukup semilir menerpa, seperti ada AC di tempat itu. Tidak sama dengan hawa di luar Cungkup yang sedikit panas. Apakah banyak malaikat sedang mengelilingi tempat itu?
Anggota keluarga saya pun meninggalkan area Cungkup, namun saya masih betah berlama-lama di situ. Mengabadikan para peziarah yang datang silih berganti sekaligus memutar kembali ingatan saya tentang hari-hari terakhir Bung Karno yang pernah saya baca. Oh, Putera Sang Fajar...
"Mi, ayo!" Si Abi memberi isyarat agar saya segera turun, saat saya mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Rupanya langit berubah lebih gelap dari sebelumnya. Sudah saatnya pergi dari situ. Saya menatap makam penuh taburan bunga itu sekali lagi.
Saya pamit, Bung Karno. Terima kasih atas keteladanan dalam mencintai negeri ini. Saya akan melakukan hal yang sama dengan cara terbaik saya, insya Allah.
Cinderamata, Memberdayakan Masyarakat
Cinderamata, Memberdayakan Masyarakat
Saya sekeluarga pun segera meninggalkan pelataran makam. Pintu keluarnya ada di sebelah kanan. Begitu keluar, wuiihh... deretan penjual cinderamata resmi berjajar menyambut kami. Ada gantungan kunci, tas, beraneka kerajinan kayu, baju, oleh-oleh khas Blitar, dll. Dipilih... dipilih...
Sebuah strategi marketing yang bagus, nih. Hanya ada satu pintu keluar sehingga para pengunjung mau tak mau harus berhadapan dengan para penjual. Saya kira mereka adalah masyarakat sekitar yang ikut merasakan manfaat keberadaan wisata sejarah di Blitar tersebut. Jumlah lapaknya banyak pula. Deretan lapak itu berbelok-belok tak habis-habis seperti labirin. Fiuhhh...
Setelah labirin berakhir, rasanya napas sedikit lega. Hehe... Kami sudah membeli sedikit cinderamata. Lalu, cuzz ke arah parkiran dan menuju arah pulang.
Overall, saya sekeluarga senang karena bisa mengunjungi Makam Bung Karno lagi. Saya tidak pernah bosan pergi ke sana dan ingin ke sana lagi suatu hari nanti. Bagaimana dengan teman-teman?
21 comments
mbak lengkap dan bagus sekali tulisannya. jmasya Alloh. d berasa sedang berkunjung ke Blitar ^^ hhe. terima kasih mb. salam kenal ^^
ReplyDeleteWah Blitar ya mbak, asyik banget itu kota kelahirannya langsung berarti maknanya lebih terasa yaa
ReplyDeleteAku pernah ke makam Bung Karno, mba.. Tapi kok gak ke perpustakaannya ya.. Kayaknya lain kali mesti ke Blitar lagi.
ReplyDeleteLengkap bgt ulasannya :)
semua spotnya keren. Maunya, semacam ini ada di tiap daerah. Jadi jiwa patriot anak bangsa bisa tumbuh. Mereka juga gk cuma tau sejarah dri teori2 lama, namun lihat langsung beberapa miniatur atau benda2 duplikat pada zaman itu. Jadi terasa lebih dekat.
ReplyDeleteDduh saya kok merinding ya... lihat baju kebesaran beliau, membayangkan sosok beliau saat berpidato, Masyaallah... Semoga saya bisa berkunjung juga ke sana
ReplyDeletejadi pengen ke blitar nih mba:)
ReplyDeleteWow, saya dah lama kesana mb tatiek. Kayaknya sekarang tambah bagus ya kapan kapan saya pingin ke blitar naik KA. Ada enggak ya angkot di stasiun blitar arah ke makam?
ReplyDeleteWah jadi ingin berkunjung ke sana. Anak-anak juga suka melihat buku-buku soalnya. Semoga bisa berkunjung ke perpustakaan dan tempat bersejarah di blitar. Aamiin ☺
ReplyDeleteyaah sayangnya jauh banget, tapi semoga suatu saat aku bisa berkunjung kesana :)
ReplyDeleteWah jalan jalannya edukatif banget ya mba apalagi bw anak anak, mantul nih, smg suasuatu saat bisa visit ke sana juga
ReplyDelete..
saya baru tau dong kalo di makan bung karno ada perpustakaannya. lah, selama ini saya kemana aja? padahal ke sana udah lebih dari 2 kali tapi biasanya setelah ke makamnya ke museum tempat tinggalnya bung karno. gak jauh dari situ. hee. nanti kalau mampir ke makam bung karno juga main deh ke perpusnya. makasih bun sharingnya.
ReplyDeleteBagus banget ulasannya, Mbak. Saya jadi pengen ngunjungin juga. Hehe
ReplyDeletebapak satu ini memang presiden no wahid dan akan sellau wahid. Semangatnya tiada duanya. Dia juga inspirator paling keren. Adakah pemimpin Indonesia seperti beliau lagi? Alfatihah untuk beliau.
ReplyDeleteBung Karno, sosok idola almarhum bapak saya. Bapak sampai mengoleksi buku dan lukisan Bung Karno.
ReplyDeleteBuku biografi tentang Bung Karno yg ditulis oleh ajudannya juga pernah saya baca ketika masih SD. Sungguh menginspirasi.
Aku juga pengin ke sana mba. Karan Presiden RI Pertama ini adalah pemimpin favoritku. Selalu bangga dengan beliau, perjuangannya, jasa-jasanya.
ReplyDeleteWah jadi pengen ke Blitar mbak, keren tulisannya lengkap banget infonya, tfs ya mbak .... Semoga ada kesempatan main ke Blitar
ReplyDeleteSaya baru tahu nih, makam Sukarno ternyata di Blitar ya mbak tepatnya di belakang perpustakaan bung karno ini. Btw seru sekali ya jalan2nya mbak, jadi banyak informasi yang saya bisa tahu setelah membaca postingan ini.
ReplyDeleteSaya pernah kesana mba tp dulu jadi belum sebagus skrg. Wah kudu kesana lagi nih. Mksh infonya mba, thx
ReplyDeleteAh, jadi kepingin bisa melihat langsung ke Blitar. Saya selalu kagum mendengar rekaman pidato Bung Karno yang benar-benar bisa mwmbakar semangat para pejuang. Bukan cuma isinya, tekanan suaranya juga begitu bersemangat. Jadi terharu mendengar kata-kata ibu kandung beliau yang berisi haraoan agar anaknya menjadi seorang pemimoin yang dibanggakan dan dicintai rakyat.
ReplyDeleteBetapa disayangnya Beliau yaah Mbak.
ReplyDeleteMakamnya selalu ramai dan banyak yg mendoakannya. Semoga diampunkan segala kesalahan dan diterima semua amal baiknya, Aamiin.
Jadi ingin berkunjung juga suatu hari nanti.
Masya Allah, saya belum pernah ke sana, Mbak..tempatnya nyaman sekali...
ReplyDelete