Melalui Goresan Penaku, Kupersembahkan Cinta Untuk-Mu
- April 27, 2019
- By Tatiek Purwanti
- 0 Comments
Malam semakin erat memeluk bumi dengan selimut kelamnya. Saat seperti ini adalah waktu yang tepat untuk membaca buku atau melanjutkan PR menulis yang tertunda. Tanpa sengaja, mata saya tertumbuk pada sebuah buku bersampul hijau tua di sudut rak buku. Buku harian lama, tempat saya mencurahkan segala isi hati saat muda dulu.
Sudah lama sekali saya tidak menyentuhnya. Saat membuka lembarannya, saya seakan dibawa ke masa lalu yang penuh kenangan indah. Selepas lulus SMK pada tahun 2000, saya mengadu nasib ke Batam. Setiap hari saya harus bergelut dengan target kerja, membagi waktu yang tersisa untuk menjadi aktivis remaja masjid, dan kuliah di akhir pekan. Rasa penat, gembira, sedih, galau, dan rindu akan kampung halaman tertuang semua di dalam buku itu. Setelah menuliskannya, saya akan merasa lega dan bisa tertidur nyenyak.
Saya berusaha menggali kembali pelajaran yang menyertai setiap kejadian yang saya tuliskan. Setelah memutuskan untuk berhijab pada tahun 2001, tulisan-tulisan saya semakin berwarna. Saya akhirnya tahu bahwa pelajaran yang berusaha saya ambil itu bernama ibrah.
Saya pun semakin menyadari bahwa setiap peristiwa, baik dan buruk, seharusnya mengingatkan kepada Allah Swt yang menciptakan peristiwa tersebut. Maka, segala curahan hati di buku harian tersebut seakan menjadi zikir saya yang berwujud tulisan.
Puisi religi saya yang berjudul “Semalam Bersama-Mu” dimuat di sebuah buletin lokal. Saat itulah saya mengenal kata dakwah bil qalam yaitu berdakwah melalui goresan pena. Ya, berdakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Sarananya bisa lewat apa saja, termasuk melalui tulisan-tulisan pencerahan yang akhirnya bisa lebih mendekatkan pembacanya kepada Allah Swt. Saya yang kurang pandai dalam public speaking tetap bisa berkontribusi dalam menyampaikan nilai-nilai religi dan kebaikan melalui tulisan.
Pada tahun 2010, saya mengenal Blog dan Facebook, dilanjutkan dengan mengenal Kompasiana pada tahun 2014. Hobi menulis di buku harian mulai terbagi pada tiga media tersebut. Pada setiap tulisan, saya biasanya menyelipkan nilai kebaikan atau muatan religi, sekecil apa pun itu.
Sayangnya mood menulis saya masih naik turun. Saat itu saya belum bergabung dengan komunitas menulis mana pun. Saya juga sering berhenti menulis karena merasa kelelahan bekerja di kantor dan merasa rempong mengasuh anak. Alasan yang di kemudian hari saya sadari, seharusnya bisa ditaklukkan.
Pada akhir tahun 2013, saya bergabung dengan sebuah komunitas pecinta Alquran. Ada beberapa teman di komunitas itu yang juga mempunyai hobi menulis. Kami kemudian sepakat untuk menulis kisah nyata kami tentang kecintaan pada Alquran dalam sebuah buku antologi.
Lalu, lahirlah buku antologi pertama saya di tahun 2014 yang diterbitkan secara indie dan diperjualbelikan secara online. Duh, senang rasanya. Sebagian mimpi saya mulai terealisasi dan itu menjadi pendorong untuk lebih rajin lagi menulis.
Buku antologi kedua menyusul lahir di tahun berikutnya, masih juga secara indie. Bedanya, kali ini proyeknya lebih dahsyat karena ada event grand launching. Formatnya, kami membagikan seribu eksemplar buku bertema pergaulan remaja di dalam Islam secara gratis kepada para remaja yang menghadiri acara grand launching tersebut. Sebuah proyek kebaikan yang sampai saat ini menggetarkan dada saya. Di baliknya, ada kisah kerja keras tim penulis, tim ilustrator, tim editor, tim marketing, dan tim crowdfunding selama hampir enam bulan lamanya.
Beberapa waktu kemudian, saya memutuskan untuk resign dan akhirnya memperoleh momongan yang kedua pada bulan Agustus 2016. Saat itu saya sempat mengalami baby blues. Saya juga vakum nge-blog hampir satu tahun lamanya.
Rasanya ada yang hilang dari diri saya waktu itu. Saat si kecil menjelang usia satu tahun, barulah saya mulai aktif lagi membaca buku dan mulai menulis catatan-catatan ringan. Saya terus memohon kepada Allah Swt agar dikaruniai ketenangan hati. Memiliki bayi dan harus ber-Long Distance Relationship dengan suami, mengharuskan saya banyak berdiam di rumah. Tetapi haruskah saya tidak “bergerak” dan “berkembang”?
Akhirnya, saya memutuskan untuk bergabung dengan beberapa komunitas penulis secara online agar semangat menulis tumbuh kembali, tanpa meninggalkan kewajiban utama. Saya menyadari bahwa semua ada masanya. Dulu saya bebas pergi ke mana saja untuk menghadiri seminar atau pelatihan. Kini saatnya harus lebih fokus mendidik kedua anak saya. Dan, belajar via online menjadi pilihan yang tepat.
Dari sana, saya mendapat banyak teman baru, bisa menerbitkan beberapa buku antologi baru, mengubah platform blog menjadi Top Level Domain, dan akhirnya bisa menghasilkan buku solo pertama pada bulan Januari 2018. Buku solo tersebut berupa novel indie, berjudul The Fear Between Us.
Novel tersebut mengangkat tema tentang fobia dan bergenre romance religi. Menurut saya, kisah romansa tetap harus dibarengi dengan nilai-nilai Islam sebagai tuntunannya karena cinta kepada manusia adalah cabang dari cinta kepada Allah Swt. Beberapa perenungan akan hikmah kehidupan juga saya tuangkan di sana. Segala puji bagi Allah Swt yang telah memudahkan urusan dalam menulis buku itu, di tengah kondisi yang bagi sebagian orang bisa dikategorikan tidak ideal.
Saya menyadari bahwa masih harus terus belajar merangkai kata. Apalagi untuk menyisipkan pesan-pesan Ilahi, sebaiknya menghindari kesan menggurui. Menulis banyak nasihat juga mendorong diri saya untuk berkaca, “Sudah sejauh mana kedekatan saya pada Sang Pencipta?”
Insya Allah, saya mantap memilih jalan juang ini, jalan yang bisa saya tempuh dari rumah. Jalan yang sebenarnya dilalui oleh para ulama.Ya, para ulama menuliskan ilmu mereka sehingga ilmu tersebut tersimpan rapi dan diwarisi secara turun temurun, dari generasi ke generasi.
Saya juga teringat akan perkataan Asma Nadia, “Ketika kita menulis, lalu ada kebaikan yang diperoleh oleh pembaca dan kita ikhlas menuliskannya, mudah-mudahan itu menjadi pengurang dosa-dosa. Ketika meninggal dan buku tersebut masih dibaca, akan terus mengalirkan pahala-pahala.”
Menulis dengan niat karena Allah Swt adalah landasan utama bagi saya. Niat tersebut berusaha saya perbaiki, selama berproses dan sesudahnya. Dengan niat tersebut, rasa berat dalam menyelesaikan sebuah tulisan akan berkurang karena saya merasa sedang beribadah kepada-Nya. Bukankah sebuah ibadah itu harus dijalankan dengan bersungguh-sungguh?
Dengan niat itu pula, saya terhindar dari kesedihan saat harus “kalah” dalam lomba kepenulisan. Saya yakin bahwa Allah Swt menilai usaha saya dan bukan dari hasilnya. Setelahnya tentu saja ada pelajaran berharga agar saya belajar lebih baik lagi.
Saya ingin terus menulis sampai tua nanti. Saya ingin agar anak-anak menjadi pembelajar sejati karena melihat ibunya tidak berhenti belajar. Saya senatiasa berdoa agar anak-anak menjadi hamba yang mencintai dan dicintai-Nya, sebagaimana saya sering menyebut nama-Nya dalam banyak tulisan.
Malang, 21 Maret 2018
*Tulisan ini dimuat dalam buku antologi "The Gift of Writing" (2018) oleh para penulis alumni Joeragan Artikel.
0 comments