Yuk, Kikis 4 Penyebab Ketidakbahagiaan Kronis!
- October 24, 2018
- By Tatiek Purwanti
- 14 Comments
Beberapa saat yang lalu, ibunda saya bercerita tentang salah seorang rekannya, sebut saja Ibu A. Nah, ibunda saya merasa aneh dengan Ibu A yang sudah bertahun-tahun tidak bertegur sapa dengan Ibu B, rekan lain yang dikenal ibunda saya juga. Keduanya pernah berseteru gara-gara anak mereka yang waktu itu masih remaja sedang tidak akur juga. Duh!
“Kok betah, ya? Lha aku yang di tengah-tengah jadi serba salah,” kata ibunda saya.
Hmm, benar juga. Apa enaknya ya menyimpan ganjalan di hati selama itu? Apalagi jika keduanya bertemu, bisa dipastikan akan saling melengos. Tak jarang jadi mempengaruhi rekan yang lain untuk menjauhi ‘musuhnya’ itu. Yaah, yang tidak ikut-ikut jadi diikut-ikutkan, deh.
Lalu, suami saya pernah punya seorang teman yang mengeluh terus tentang kondisi keuangan keluarganya. Seakan dia itu orang yang paling malang di dunia. Tiap kali bertemu, curhat melulu. Ujung-ujungnya sih meminjam uang. Sayang sekali tidak pernah dikembalikan, hiks.
Lha kalau versi saya apa, ya? Hmm… mungkin hampir sama dengan dua kasus di atas tapi ini terjadi di dunia maya. Lagi asyik-asyiknya mencari info di newsfeed facebook, eh adaaa saja orang-orang yang bertengkar tiada habisnya. Bahkan tak jarang mereka saling melempar olokan yang mungkin dihindari mereka saat mengajari anaknya. Sedihnya, itu terus terjadi beberapa tahun belakangan ini.
Sering juga menjumpai postingan orang yang isinya mayoritas adalah keluhan. Iya, sih itu hak mereka. Itu juga dilakukan di wall facebook mereka sendiri. Mungkin maksudnya adalah curhat sehingga setelahnya merasa lega. Tapi, saya yang membacanya jadi gimanaaa gitu.
Apa iya sih hidupnya sesuram itu? Tidak adakah hal kecil yang bisa disyukurinya? Apakah mereka adalah orang-orang yang tidak berbahagia?
Bahagia adalah Kuncinya
Perasaan bahagia sebenarnya adalah obat alami yang terbaik dalam hidup kita. Berbagai riset membuktikan bahwa ada hubungan kuat antara kesehatan dan kebahagiaan. Hampir semua perkembangan penyakit (degeneratif, infeksi, neoplasma/kanker) dipengaruhi oleh keadaan emosional.
Biasanya, orang yang mempunyai mood positif dan stabil itu kadar kortisolnya rendah. Kortisol adalah hormon stress. Apa efeknya jika kadar kortisol tinggi? Bahaya. Jika kadar tinggi itu berlangsung lama, maka bisa memicu peningkatan tekanan darah, obesitas abdomen (kegemukan pada perut), dan penurunan fungsi imun tubuh.
So, jika kita sedang merasa tidak bahagia, sebaiknya kita berusaha cepat mengalihkannya, ya. Sekuat tenaga kita. Percaya kan bahwa tidak ada kesedihan dan kemalangan yang abadi? Jika kebahagiaan tidak kita perjuangkan, bisa-bisa kita makin terpuruk, lho.
Keterpurukan itu akhirnya bisa menyerang kesehatan, mematikan potensi, meredupkan harapan, melumpuhkan motivasi, dan melemahkan spiritualitas kita. Gawat, kan?
4 Penyebab Ketidakbahagiaan Kronis
Jadi jelas ya, bahwa keterpurukan yang saya sebut di atas disebabkan oleh rasa tidak bahagia yang terus-menerus dan tidak berusaha diatasi. Inilah yang disebut dengan ketidakbahagiaan kronis.
Ada 4 penyebabnya yang sebaiknya kita hindari, yaitu:
1. Emosi yang Tidak Terselesaikan
Ini adalah respon emosi terhadap apa yang kita persepsikan tidak adil yang terjadi di masa lalu. Bentuknya macam-macam, seperti: kebencian, kemarahan, sakit hati, dan dendam.
Nah, itu mungkin yang dirasakan oleh Ibu A dan Ibu B di atas. Mereka tidak segera menyelesaikan permasalahan emosinya, sih. Malah dirasakan, disimpan, dan ditahan bertahun-tahun. Hasilnya, mereka merasa hidup mereka sempit setiap kali bertemu ‘musuhnya’.
Mengutip perkataan Robert Holden yaitu Happines is not only the absence of pain but capacity to learn from pain. Ya, masa lalu yang tidak mengenakkan itu memang membuat sakit hati. Tapi jika kita mau berbahagia, segera hilangkan rasa sakitnya dan belajar dari rasa sakit itu. Setuju?
2. Ilusi-ilusi Pikiran
Ilusi pikiran terjadi sebab kita mendistorsi pikiran kita sendiri sehingga kita selalu merasa cemas dan tidak bahagia. Menurut Dr. David Burns dalam bukunya Feeling Good, contoh ilusi-ilusi pikiran itu adalah:
- Semua atau Tidak Sama Sekali
Biasanya ditandai dengan pemakaian kata-kata: selalu, semua, atau tidak pernah sama sekali. Pemikiran seperti ini menjadikan kita memiliki pandangan yang tidak toleran, berburuk sangka, dan sulit untuk melihat kebaikan orang secara proporsional.
Contoh:
“Dia selalu menjelek-jelekkan saya.”
“Dia tidak pernah berkata jujur.”
- Generalisasi Berlebihan
Hal ini timbul saat kita sewenang-wenang men-cap atau men-judge sesuatu walaupun sebenarnya hanya sekali saja terjadi.
Contoh:
“Dia pasti orang yang sombong karena tadi tidak menyapaku.”
Padahal yang terjadi mungkin karena si ‘dia’ yang baru dikenal sedang terburu-buru. Who knows?
- Filter Mental
Ilusi pikiran ini ditandai dengan keinginan kita untuk hanya melihat sisi negatif dari setiap peristiwa yang kita alami. Hal-hal positif tidak mampir di otak kita. Intinya, negatif thinking melulu, deh.
- Diskualifikasi Positif
Ini lebih ekstrem lagi dari filter mental. Mengakui sih ada hal positif tapi karena yang melakukannya adalah sosok yang kita benci, jadinya: “Huh, pasti sedang pencitraan. Cari muka!”
- Pembacaan Pikiran
Ini terjadi saat pikiran kita selalu menebak-nebak sendiri semau gue tentang apa yang dipikirkan orang lain. Contoh: ada orang lain yang benar-benar lupa dengan janji, kita langsung mengira bahwa orang itu tidak suka berteman dengan kita.
- Meramalkan
Ilusi pikiran ini membuat kita meramalkan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi di masa depan. Contoh: “Kalau kepala desanya dia, desa kita bakal sial terus, nih.”
- Penalaran Emosional
Ini ditandai dengan kecenderungan kita untuk menganggap apa yang kita rasakan secara subyektif itu selalu benar. Contoh: “Orang suku anu biasanya kasar-kasar. Pernah kok saya bergaul dengan orang-orangnya.”
- Pembesar-besaran
Ilusi pikiran ini ditunjukkan dengan pikiran yang selalu membesar-besarkan hal-hal kecil dan membuat rumit hal-hal yang sebenarnya sederhana. Contoh: “Duh, aku melakukan kesalahan. Bos pasti marah, lalu aku dipecat dan hidupku suram.”
Nah, ilusi-ilusi di atas tidak sepenuhnya salah. Kadang kala ada benarnya juga. Tapi, berkaitan dengan penilaian kita terhadap orang lain, kita sebaiknya mendahulukan berbaik sangka. Itu adalah nasihat dari Nabi Muhammad Saw. Kita sebenarnya hanya bisa menilai dari apa yang tampak dan sebenarnya tidak bisa mereka-reka apa yang tidak tampak dari orang di sekitar kita.
3. Disharmoni
Thomas Merton (1915-1968) mengatakan bahwa happiness is not a matter of intensity, but of balance and order, rhythm and harmony.
Senada dengan itu, dr. Arief Alamsyah Nasution, seorang trainer, mengatakan bahwa bidang kehidupan itu ada 5 yaitu: finansial, fisik, hubungan, intelektual, dan spiritual. Kelimanya harus seimbang dalam hidup kita jika kita ingin berbahagia.
Bayangkan saja bahwa kelimanya adalah senar kecapi. Kita harus bisa memainkannya dengan kekuatan yang seimbang. Jika tidak, suara yang dihasilkan si kecapi pasti tidak enak didengar. Tidak ada harmonisasi di sana.
4. Kelemahan Spiritualitas
Keyakinan agama dan spiritualitas adalah hal yang amat vital dalam pencarian kebahagiaan sejati. Ya, karena keyakinan agama memberi manusia arah yang jelas dalam hidup ini. Bisa dibayangkan apa jadinya jika keyakinan itu lemah.
Dr. Stephen Joseph, seorang psikolog dari Inggris, telah melakukan riset yang menghubungkan antara spiritualitas dan kebahagiaan. Hasilnya, rata-rata manusia yang religius itu lebih bahagia dari manusia kebanyakan. Setuju, kan?
Pernah mendengar kan bahwa banyak eksekutif muda di Korea sana menyukai terapi perkabungan? Mereka didandani dan ditempatkan di peti mati, seakan-akan sedang diambang maut. Dengan merasakan well dying, justru mereka mendapat ketenangan.
Itulah kebahagiaan ‘di dalam’. Kebahagiaan ini tidak hanya menyentuh aspek-aspek kebendaan, tapi juga sampai ke tingkat roh yang sebenarnya merupakan eksistensi seorang manusia. Badan akan hancur, tapi roh akan tetap eksis, bukan?
Jadi, spiritualitas yang menjelma menjadi core belief atau keyakinan dan way of life atau jalan hidup akan membuat seseorang lebih optimis. Ya, karena ada kebahagiaan ‘di dalam’ itu tadi. Beberapa ahli kebahagiaan menyebutnya happiness without reason. Ya, susah mengatakan alasannya. Sudah merasakan damai di hati, sih.
Nah, itulah keempat penyebab ketidakbahagiaan kronis. Jika pernah merasakan sih wajar, asal jangan sering dan berlarut-larut. Yuk, pelan-pelan kita kikis agar ketidakbahagiaan kronis ini habis.
Mari menjadi pribadi yang bahagia dan menebarkan kebahagiaan bagi sesama.^^
Salam bahagia,
Postingan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post bersama Estrilook Community.
#ODOP_Day12
Sumber:
Buku “The Way to Happiness” oleh dr. Arief Alamsyah Nasution
Sumber foto: pixabay
Sumber foto: pixabay
14 comments
saya berusaha memperbaiki satu persatu mbak, kerasa banget disharmonis ini ga enak rasanya... timpang gitu
ReplyDeleteBahagia itu ditumbuhkan, dan hanya diri sendiri yang bisa lakukan itu. Berpikir positif salah satu kuncinya. Tq Mbak Tatiek, so inspiring tulisannya^_^
ReplyDeleteWhuaa tercerahkan sekali. Dan betul mungkin sekarang kita bisa denial atau mungkin maklum dengan yang dulu kita alami, tetapi tdk sadar emosi negatifnya masih ada. Wujudnya macam2, ya bisa jadi pemarah krn merasa insecure, boros, minder, dsb. Nah penting merelease emosi negatif itu. Sekadar sharing aja, Klo yg pernah aku pelajari itu ada ho'oponopono dan seft. Alhamdulillah, it works!
ReplyDeleteKeyakinan akan membuat seseorang lebih optimis sehingga terkikis ketidakbahagiaan kronis.
ReplyDeleteSepakat dengan ulasan ini :)
Rasa bahagia memang obat yang paling mujarab. Banyak penyakit yg akhirnya datang kr kurangnya rasa bahagia ini. Suka banget dg ulasannya, mba...
ReplyDeleteWah kebetulan nih, suasana hati lg tak menetu gara gara lagi mau menstruasi, gejolak emosi lg tinggi .baca ini jadi pengingat diri, terimakasih 😘 sudah diingatkan mbak
ReplyDeleteAkar kepahitan dan citra diri negatif juga bisa menjadi asal muasal kenapa seseorang tidak pernah merasa bahagia dan sebaliknya, selalu negatif thd sekitar. Makasih mba, tulisannya inspiratif!
ReplyDeleteBaca tulisan bunda serasa lagi baca buku motivasi-motivasi yang pernah saya baca. Makasih bun sudah mengingatkan. Yang masih jadi PR saya adalah, saya itu baperan. Misalnya ktika ada orang nyinyit, biasanya yang pertama saya lakukan adalah baper wkwkwk. Karena langsung kerasa ke hati euy. Udh gitu baru biasa lagi hihihi. Nggak mau ngerusak kbhgian sndiri gara2 org lain. Rasanya itu nggak penting ya
ReplyDeleteemosi yang tidak terselesaikan bisa jadi akar ke tidak bahagiaan ya?
ReplyDeleteLantas bagaimana cara menyelesaikan emosi ?
terimakasih jawabannya
saya suka skip aja mbak, kalo ada status galau, takut ikutan baper,
ReplyDeletemenurut saya sih, mending ngadu pada Allah, plong rasane
Bahagia itu ga sesusah yg dirasa kalau kita ikhlas bersyukur dg apa yg kita miliki.
ReplyDeleteMba makasih banyak ini tulisannya mencerahkan. Aku pernah sakit hati dan gak segera terlesaikan, akhirnya jadi kepikiran terus huhu. Kalo tau sebabnya gini bs tau mau ngapain. Solusinya juga bs pas. Ah makasih banyak ya mbak :)
ReplyDeleteintinya semuanya dari hati dan pikiran kita sendiri ya, mbak :)
ReplyDeleteSaat hati kita tidak menyimpan dendam dan pikiran tetap positif, kita akan menemukan kebahagian :)
Seneng baca artikel ini, poinnya setuju semua. TFS ya mba. Bagian ke 4 itu yg tidak tertawar utk bisa memaknai bahagia sebagai bukti rasa bersyukur. ^_^
ReplyDelete