Siang Penuh Makna di Museum Radya Pustaka


Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 12 Oktober, ada seorang rekan di grup WhatsApp yang membagikan video  tentang Hari Museum Indonesia 2018. Di dalamnya, ada himbauan dari Pak Hilmar Farid selaku Direktur Jendral Kebudayaan untuk generasi milenial. Kata beliau, “Ke museum, yuk!”

Duh, saya jadi ingat bahwa saya punya PR untuk menceritakan kunjungan ke Museum Radya Pustaka, Surakarta. Saya sekeluarga mengunjunginya saat mudik ke Solo pada lebaran yang lalu. Sebelumnya, saya pernah menceritakan rencana itu pada postingan Museum Radya Pustaka dan Sebuah Kenangan Bersahaja



Akhirnya ke Radya Pustaka

Siang itu matahari bersinar cukup terik. Hawa Solo Raya yang biasanya memang panas menjadi semakin panas saja rasanya. Entahlah, mungkin karena saya terbiasa tinggal di daerah yang suhunya lebih rendah dari tempat asal suami saya itu. Tapi, the show must go on!

Biarlah terasa gerah. Kami telah membulatkan tekad untuk mengunjungi Museum Radya Pustaka setelah sekian lama tertunda-tunda. Padahal jarak museum tersebut dari rumah mertua saya tidak terlalu jauh. Hanya sekitar 10 kilometer saja. Pada libur lebaran sebelumnya kami malah melanglang buana sampai ke Karanganyar yang letaknya lebih jauh. Duh…

Suasana jalan raya yang tidak terlalu ramai membuat perjalanan kami lancar jaya. Karena terdapat larangan parkir di halaman museum, suami saya memarkirkan mobil di pinggir jalan raya Brigjen Slamet Riyadi. Letaknya berseberangan dengan Kompleks Taman Sri Wedari, lokasi Museum Radya Pustaka berada.

Seorang petugas parkir yang memakai baju warna biru cerah  melayani dengan ramah. Wah, baju seragam parkirnya baru, pikir saya waktu itu. Belakangan saya baru tahu bahwa baju lurik tidak lagi menjadi seragam para juru parkir di Solo. Mungkin Anda sudah cukup familiar dengan bentuk baju ini. Ya, baju lurik adalah baju khas Solo berwarna coklat dengan garis-garis vertikal berwarna hitam. Biasanya dipakai berpasangan dengan blangkon.

Dari situ, kami segera menyeberang ke sasaran. Gerbang Radya Pustaka yang megah menyambut kami. Saya menggandeng si sulung, Afra, sementara suami saya dengan sigap menggendong si kecil Akmal. Kami melangkah menapaki halaman museum yang tertutup paving itu. Di sana, patung kepala Rangga Warsita seakan mengucapkan, “Sugeng rawuh!” alias selamat datang.

“Mi, ayo foto dulu,” ucap Afra yang terlihat antusias.

Dia segera mengambil posisi di depan kiri patung kepala Rangga Warsita. Di sana ada papan beton lebar berwarna abu-abu tua yang bertuliskan huruf besar berwarna kuning, Museum Radya Pustaka Surakarta.



Saya mengiyakan dan segera mengambil ponsel dari dalam tas. Ah, saya baru tersadar bahwa baterai ponsel sedang low. Duh, teledornya saya! Untungnya saya masih membawa si kamera digital tua. Alhamdulillah.

Setelah selesai bergaya di sana, kami bergegas menyusul si Abi dan adek yang sudah terlebih dahulu menuju teras museum. Sudah tidak sabar rupanya mereka.

Di depan teras museum, di sisi sebelah kiri, seorang petugas menyambut kedatangan kami. Saya dipersilakan mengisi buku tamu. Oke, done! Saat saya tanyakan berapa harga tiket masuknya, si petugas menjawab: gratis. Lho? Padahal menurut informasi, HTM-nya sebesar lima ribu rupiah untuk pengunjung lokal.

Saya tidak sempat bertanya kenapa, sih. Mungkin saja karena hari itu adalah hari pertama museum-nya dibuka pasca libur lebaran. Ya, saat itu hari Kamis, tanggal 21 Juni 2018. Pengunjungnya masih relatif sepi. Asyik juga, nih. Bisa lari-larian di dalam. Hehe… Enggak ding.

Saya dan Afra bergegas menuju teras. Si Abi yang sudah nyelonong duluan melambai-lambaikan tangannya, menyuruh kami mendekat. Dia berdiri di dekat sebuah meriam tua yang diletakkan di sana, masih menggendong si kecil. Ada juga patung Ganesha, si lambang ilmu pengetahuan. Pas ini. Kami pergi ke sana karena ingin tahu lebih banyak.

Kami pun bersama-sama menuju pintu masuk yang berwarna putih dihiasi biru muda. Saya menengok sejenak ke sebelah kanan. Ada sesosok patung wanita. Oh, ini rupanya patung Dewi Durga, istri Dewa Siwa. Sepengetahuan saya, banyak patung peninggalan kerajaan Hindu di abad ke-7 yang tersimpan di situ.

Lanjut ke dalam, yuk!

Dari Kotak Musik sampai Makam Para Raja

Benda pertama yang kami jumpai begitu melewati pintu masuk adalah patung kepala sang pendiri museum yaitu Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV. Berkat ide cemerlang beliau, warisan sejarah yang terbentang di hadapan kami bisa dinikmati dari generasi ke generasi. Ngaturaken sembah nuwun nggih, Kanjeng. Harus diabadikan, nih.



Saya pun mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan pertama itu. Terlihat banyak koleksi topeng yang diletakkan di dalam lemari kaca. Penutup wajah dengan berbagai macam warna itu biasanya dipakai dalam tari-tarian khas Jawa. Warna topeng biasanya menggambarkan watak tokohnya, sebagaimana rupa-rupa sifat manusia. Misalnya, topeng yang berwarna merah biasanya untuk tokoh yang galak. Hiii...

By the way, saya jadi ingat, duluuu pas masih SD pernah belajar menari Topeng Bapang, khas Malang. Cukup gerah juga kalau memakainya lama-lama. Buka dulu topengmuuu… buka dulu topengmuuu...


Agak gelap, nih :P

Lemari kaca yang lain menyimpan koleksi beraneka tutup kepala khas Jawa seperti blangkon, kuluk, dan topi-topi untuk para bangsawan. Ada deretan senjata tradisional  seperti keris, tombak, pedang, dan panah yang menghuni lemari kaca di sebelahnya. Selain itu, terdapat arca-arca kecil peninggalan kerajaan Hindu-Budha juga.

Beraneka keris dan warangka (sarung)-nya.
Selain sebagai senjata, keris adalah lambang keagungan.
Tapi justru filosofinya berpesan agar si pemilik tidak boleh bersikap angkuh dan sewenang-wenang.

Daan… ini dia dua benda bersejarah yang paling ingin saya lihat: piala porselen dan kotak musik hadiah dari Napoleon Bonaparte. Wah, hubungan bilateral zaman dahulu keren juga, ya. Ada TV Led di sebelahnya yang menerangkan tentang dua benda dari Perancis itu. Tapi saya tidak begitu menyimaknya, sih. Hehe...


Kotak musiknya gede.
Bukan seperti kotak musik yang ada ballerina-nya :D

Piala porselen dari Napoleon Bonaparte

Si Abi dan adek entah sedang beredar dimana setelah itu. Saya tetap berjalan beriringan dengan Afra yang terkagum-kagum dengan koleksi museum itu. Saya menerangkan sedikit padanya saat kami berada di ruangan kedua. Ada satu set lengkap gamelan yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Sementara berbagai macam wayang di lemari kaca mengelilinginya.

“Itu seperti gamelan milik Mbah Buyutmu dulu, Nak. Ummi pernah bilang kan bahwa Ummi sering memainkannya saat Mbah Buyut masih ada dulu ,” jelas saya.



Putri saya itu manggut-manggut. Sambil memotret, sesekali dia bertanya. Saya pun menjelaskan tentang apa yang saya tahu. Termasuk saat kami menyaksikan Canthik Perahu Rajamala, hiasan berupa kepala raksasa Rajamala yang diletakkan di ujung kapal. Canthik itu diletakkan di sebuah kamar tersendiri dengan penerangan remang-remang.

“Bau apa ini, Mi?” tanyanya.
“Oh, ini bau dupa. Si Canthik rupanya masih dianggap keramat. Ada pihak yang masih percaya kalau Canthik itu memiliki kekuatan magis, Nak,” jawab saya.

Terlihat beberapa batang dupa ratus yang dibakar di kamar itu. Saya menjelaskan padanya tentang ritual adat yang memang masih dijalankan oleh beberapa lapisan masyarakat Jawa. Agar dia tidak merasa heran, sih. Begitulah.


Canthik alias hiasan di ujung depan kapal. Berbau mistis.

Angin yang berembus melalui jendela-jendela besar museum lumayan menyejukkan ruangan itu. Kami masih saja asyik menelusuri jejak sejarah yang berharga lewat benda-benda yang ditampilkan. Sayang, ruang pustaka sedang ditutup untuk umum. Di ruangan itu tersimpan ratusan kitab yang sudah usang dari masa lalu. Kabarnya, kitab dan buku-bukunya sedang dalam proses pemilahan dan digitalisasi. Hmm, bagus. Kita tidak boleh kalah dengan rayap!


Ruang pustaka yang disebut Kapustakan Jawi.
Pintunya sedang ditutup rapat untuk umum.

Di ruangan paling akhir, ada maket makam raja-raja Jawa. Sebuah perwujudan ikatan darah antara Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Mengamatinya membuat saya berpikir: semuanya memang akan berakhir. Ya, sekadar pendapat saya saja, sih. Ruangan-ruangan di depan menunjukkan beraneka kejayaan dan kemegahan. Tapi di sini, orang-orang diajak merenung bahwa kita tidak akan selamanya ada di dunia.

Sebuah suara menyadarkan saya dan Afra untuk bergegas pulang; suara si Abi. Dia dan si adek muncul dari sisi sebelah kanan pintu ruangan belakang itu. Entah waktu itu pukul berapa. Sebenarnya saya masih merasa belum puas, sih. Berharap suatu hari nanti bisa ke sana lagi.



Radya Pustaka, salah satu cagar budaya di Surakarta itu masih terus berbenah sampai sekarang. Masih terus disempurnakan penataannya. Saya sudah ke sana; sudah ke museum dan belajar banyak dari situ. Bagaimana dengan Anda?

Salam pecinta budaya,








Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post bersama Estrilook Community

#ODOP_Day5

You Might Also Like

14 comments

  1. Museum bisa jadi wisata edukasi untuk semua orang, insyaallah akan ada pembelajaran dari setiap perjalanannya. Makasih sharingnya mba ^^

    ReplyDelete
  2. Sepertinya semua museum di Indonesi memang sepi mbak, di Semarang banyak juga museum yg sepi.
    Semoga kedepan semakin rame ya...
    Btw, saya jadi pengen jalan2 di Solo juga

    ReplyDelete
  3. Saya belum pernah ngajak anak2 ke museum situ padahal dekat. Besok deh. Bwekunjungnya yang jauh-jauh dulu.

    ReplyDelete
  4. Saya juga suka ke museum. Lewat museum, kita serasa dibawa melanglang buana ke masa lalu. Malahan, saya pernah pengen jadi arkeolog, lho. Sayang, gak kesampaian...

    ReplyDelete
  5. Wah...saya rugi nih, bulan September lalu menyempatkan diri jalan-jalan bareng keluarga ke Solo dan kebetulan juga nginapnya sskitar jalan Brigjen Slamet Riyadi..tapi tidak ke Museum ini. Setelah baca tulisan mb Tatik Purwanti, jadi mupeng.

    ReplyDelete
  6. Nyesal dua tahun sempat kuliah di solo tp ngk sempat main ke museum....
    Jd kangen surakarta....

    ReplyDelete
  7. Terima kasih, Mbak. Infonya berguna sekali untuk edu wisata.

    ReplyDelete
  8. Seruuu ya mbak jalan2 ke Museum dengan keluarga, saya juga pernah bawa anak2 ke Museum Yogyakarta. Anak zaman milenial memang perlu dikenalkan budaya yang memiliki nilai sejarah. Jadi pengen ke Museum solo

    ReplyDelete
  9. Nambah ilmu lg
    Thanks sharenya mb
    Wisata edukasi 😊

    ReplyDelete
  10. Bagus banget tempatnya. Terima kasih sudah sharing, Mbak. Saya juga jadi ingin mendokumentasikan kenangan saat berkunjung ke museum terus menuliskannya 😊

    ReplyDelete
  11. Pernah lewat waktu ke solo, tp belum pernah mampir :)
    Baru tahu klo ada hubungan bilateral antara Napoleon & kesultanan Surakarta, kerenn nenek moyang kita

    ReplyDelete
  12. Selalu suka museum karena itu salah satu rekam jejak sejarah
    Nanti mampir ke sini juga ah
    Makasih infony mb

    ReplyDelete