5 Hal agar Tetap Waras Bermedia Sosial


Pada hari ke-5 #BPN30DayChallenge2018, ada tantangan untuk menulis tentang media sosial. Wah, menarik, nih. Ya, berbicara tentang media sosial ibaratnya sedang menceritakan keseharian kita sendiri. Bukankah hari ini hampir semua orang mengenal, bahkan tidak bisa lepas dari media sosial?

Sedikit cerita, ya. Saya punya teman, sepasang suami istri yang saya kenal saat merantau di Batam dulu. Selepas dari Batam, mereka tinggal di kota yang jauh jaraknya dari tempat saya. Istrinya cantik, suaminya ganteng. Sungguh pasangan yang serasi, begitu kata orang-orang yang mengenal mereka. 

Keduanya dianugerahi tiga orang anak yang lucu dan menggemaskan. Kebahagiaan keluarga mereka tergambar jelas, setiap kali keduanya mengunggah kebersamaan mereka di facebook. What an almost perfect couple!

Saya sempat tidak mengikuti perkembangan kehidupan mereka beberapa bulan. Waktu itu saya memang agak jarang facebook-an. Begitu mulai berselancar lagi, saya sempat berpikir: kok status mereka jarang muncul, ya? Rasa penasaran saya terus berlanjut. Tapi entah kenapa waktu itu saya tidak meng-klik akun mereka. Yeah, saat itu tidak memungkinkan saya untuk kepo, sih :)


Sampai suatu hari, seorang teman lain yang berdomisili di Batam mengirimi saya pesan melalui facebook messenger. Dia memberitahukan bahwa pasutri idaman di atas telah bercerai. Saya begitu sedih mendengarnya. Bagaimanapun saya dan mereka pernah sangat akrab. Saat itulah saya membuka wall facebook mereka dan mendapati bahwa foto-foto kebersamaan mereka sudah tidak ada lagi.

Begitulah. Facebook, salah satu jejaring sosial itu dengan cepat bisa memberitahukan kepada khalayak ramai tentang kondisi terkini seseorang. Tentunya jika orang tersebut terbiasa aktif sebagai pengguna. Contohnya, teman saya itu. Walaupun dia tidak secara spesifik memberitahu pada dunia bahwa dia telah berpisah dengan suaminya. Status yang tersirat dan foto-foto kesendiriannya lah yang kemudian berbicara.

Untuk kedua teman saya, jika kalian membaca ini, saya hanya ingin berkata: both of you are still my friends. Saya tidak tahu secara detil penyebab kalian berpisah. Saat ini saya juga belum ingin mengusik kalian, terutama sang istri. Sabar, ya. Dalam waktu dekat kita akan ngobrol-ngobrol lagi via chatting. Insya Allah :)

Masih berkaitan dengan facebook. Kali ini tentang saya sendiri. Suatu hari seorang teman menanyakan tentang beranda facebook saya yang mayoritas berisi tentang dunia literasi dan blogging. Katanya: kok tidak nyetatus tentang politik lagi? Hehe... teman saya ini memang lumayan mengikuti beranda saya terus. Jadi berasa selebriti *kibas daster :D

Well, padahal ada juga sih status saya tentang politik tapi lebih ke arah himbauan kampanye damai. Duluuu, pernah sih beberapa kali saya nyetatus politik yang menunjukkan keberpihakan. Saya berusaha mengemasnya dalam bahasa sesantun mungkin. Insya Allah, tidak bermuatan hoaks juga. Eh, yang komentar lha kok malah agak kasar sembari meluapkan kemarahan. Bukan, bukan dari kubu lawan. Justru dari 'teman' saya sendiri. Waduh... saya jadi bingung menjawabnya.

Selain itu, semakin lama saya merasa tidak sreg karena setiap kali membaca status tentang politik praktis, selalu saja ada pertengkaran. Ada sih yang diskusinya hangat dan mencerahkan. Tapi, itu sedikit sekali saya temui di ranah medsos ini.

Saya menebaknya, mungkin karena yang berdebat kusir sebenarnya bukan ahli dalam bidang politik. Ditambah lagi,  mereka mungkin tidak sadar sedang berada di  echo chamber alias ruang gema. Lha ngumpulnya dengan yang sealiran melulu. Informasi yang didapatkan ya akhirnya tidak cover both side. 


Ini bukan berarti kita tidak boleh menyatakan dukungan terhadap partai atau paslon yang kita sukai. Silakan saja. Yeah, pada dasarnya bidang politik itu tetap menjadi salah satu pilar pembangunan bangsa ini, kok. Kita butuh politik sebagai sarana untuk memilih pemimpin. Tapi, dari perjalanan ngobrol saya dengan banyak orang, saya mendapati bahwa sebenarnya berbicara politik praktis itu memusingkan dan rawan menimbulkan perpecahan jika tidak hati-hati. Trust me!

Oke, deh. Jadi, dua cerita di atas berkaitan dengan facebook -sebagai salah satu media sosial populer di Indonesia- dan segala fenomenanya. Cerita pertama tentang cepatnya informasi yang kita peroleh berkat media sosial. Sedangkan yang kedua adalah tentang perdebatan di antara warganet yang tak jarang berujung kepada permusuhan.

Well, media sosial memang punya dua sisi. Pastinya kita harus mengambil hal-hal baik dan membuang hal-hal buruknya dong, ya. Nah, kali ini saya ingin berbagi tentang 5 hal yang harus kita perhatikan agar media sosial tetap membuat kita waras.

1. Pilih Media Sosial yang Sesuai

Ada banyak pilihan media sosial yang aplikasinya tersedia dalam genggaman kita, tinggal 'klik' saja. Namun menurut saya, sebaiknya tidak semuanya kita pilih. Wah, bisa letoy jempol kita, hehe. Sesuaikan saja dengan kebutuhan, walaupun internal memory ponsel kita mungkin sudah sebesar 1 Terrabyte. *Wuih, horang kayah...

Misalnya, pilihan media sosial saya adalah blog, facebook, twitter, dan instagram. Itu karena saya memilih untuk lebih fokus menjadi Momblogger, karena blog saya membutuhkan tiga rekannya itu. Setelah menulis di blog, saya biasanya membagikan link blog saya melalui facebook, twitter, dan instagram. Selain itu, job blogger juga mempersyaratkan keaktifan ketiganya plus jumlah followernya. Pas, bukan?

Saya menjadi blogger di kompasiana juga, sih. Tetapi belum aktif lagi karena memang waktunya sedang tidak memungkinkan. Begitu juga dengan youtube. Saat ini saya belum bisa menjadi youtuber, entah jika nanti si kecil sudah besar. Saya pastinya tidak akan memaksakan diri untuk bisa menghandle semuanya. Kaskuser? Enggak juga, tuh.

Akun instagram saya. Follow, yak :)

Nah, boleh-boleh saja kok jika teman-teman hanya aktif di instagram, misalnya. Biasanya sih anak-anak muda nih yang suka jadi instagrammer. Anak saya yang sedang beranjak remaja begitu juga. Tidak lain karena dia penggemar berat komik dan instagram menyuguhkan beraneka komik menarik untuknya. Tapi ada juga teman yang tidak nyaman dengan instagram karena merasa itu tempatnya orang-orang pamer kebahagiaan melulu, hehe. Dia jadi merasa minder, gitu. It's okay. Uninstall saja jika merasa begitu. Pilih saja yang sesuai bagimu, deal?

2. Cerdas, Yuk!

Saya pernah merasa gimanaaa gitu saat membaca sebuah komentar yang  menggunakan huruf kapital semua. Ternyata yang seperti itu memang tidak sopan, bos! Biasanya diartikan sebagai seseorang yang sedang marah. Caps lock-nya sedang rusak? Melipir dulu, atuh. Hehe...

Saya pernah juga merasa pusing karena seorang teman menawarkan barang dagangan  agak memaksa dengan memakai tulisan orang lain. Jadi, saya tahu bahwa itu adalah tulisan Mbak A yang populer sebagai seorang ahli parenting. Lha, teman saya itu enteng saja memasang tulisan itu tanpa sumber asal, memang sih berkaitan dengan barang dagangannya. Saya tegur, deh baik-baik. Katanya dia mendapatkan tulisan itu dari grup reseller yang diikutinya. Hadeeh...

Lalu, hindari deh menyebarkan berita bohong. Tapi sepertinya masiiih ada saja kasusnya setiap hari. Biasanya sih berkaitan dengan kepentingan golongan atau suatu berita heboh tapi kurang klarifikasi. Kebetulan saya ikut bergabung di sebuah grup anti hoaks, sebagai anggota saja, sih. Tidak lain agar saya cepat mendapatkan jawaban jika ada berita hoaks yang berkeliaran.


Secara garis besar, konten hoaks dibagi menjadi dua golongan, yaitu: misinformasi dan disinformasi. Nah, secara singkat, misinformasi adalah sebentuk informasi yang salah, sementara disinformasi adalah informasi yang (justru) sengaja dibuat salah.

Ada 7 macam bentuk misinformasi dan disinformasi yang harus kita waspadai, yaitu:
  • Satire atau Parodi
Mungkin saja niat awalnya tidak bermaksud merugikan pihak lain, tapi konten ini berpotensi untuk mengelabui orang lain yang membaca, melihat, atau mendengarnya.
  • Konten yang Menyesatkan
Biasanya terdapat penggunaan informasi yang sesat untuk membingkai sebuah isu/berita atau individu.
  • Konten Tiruan
Ini adalah ketika sebuah sumber asli ditiru/diubahsuai. Nah, seperti kasus teman saya yang menawarkan barang dagangannya itu, lho.
  • Konten Palsu
Jenis ini berupa konten baru yang 100% salah dan (sengaja) didesain untuk menipu serta merugikan.
  • Keterkaitan yang Salah
Ini adalah ketika judul, gambar, atau keterangan tidak mendukung konten.
  • Konten yang Salah
Jenis ini adalah ketika konten yang asli dipadankan atau dikait-kaitkan dengan konteks informasi yang salah.
  • Konten yang Dimanipulasi
Ini adalah ketika informasi atau gambar yang asli (sengaja) dimanipulasi untuk menipu.

3. Kreatif dan Produktif

Media sosial seharusnya menjadi ajang adu kreatifitas, bukan adu jotos. ^^ Kesempatan terbuka luas bagi kita, para penggunanya, untuk unjuk gigi dalam bidang yang positif.

Nah, instagram digemari banget nih untuk berjualan online. Sebaiknya sih memilih yang instagram bisnis, bukan instagram personal, ya. Begitu juga dengan facebook, sebaiknya teman-teman yang punya bisnis online membuka fanpage tersendiri untuk jualan. Seringnya, teman-teman lain bisa jenuh lho kalau isi wall kita jualan melulu.

Unjuk gigi Sabyan Gambus di Youtube juga telah membuahkan hasil. Siapa sih sekarang yang tidak kenal dengan Nissa Sabyan, si cantik yang pandai melantunkan salawat itu? Begitu juga dengan Ria Ricis. Ini mah kesukaan anak saya gara-gara si Ricis sering membahas squishy , hehe.


Kampanye online pun boleeeh... Barack Obama pernah memasifkan kekuatan internet saat kampanye presiden tahun 2008. Tapi ya itu: tim kampanyenya harus kreatif dan sportif, ya. Pasti jagad maya akan lebih adem.

Nah, sedangkan nilai produktif dalam bermedia sosial bisa kita peroleh dengan bergabung di grup atau forum diskusi yang produktif, grup seprofesi, ataupun grup yang membahas tema-tema bermuatan positif lainnya. Aura positif sebuah grup akan menular ke seluruh anggota grupnya, lho. I've proven it!

4. Kenali Undang-undangnya

Sebagai warga negara yang baik, tentunya kita harus mematuhi undang-undang yang mengatur aktivitas kita di media sosial. Ya, karena bermedsos juga merupakan sebuah perbuatan, bukan sekadar mainan jempol saja. Menurut saya sih ini untuk kebaikan bersama juga.


Nah, ini dia undang-undang yang sudah disusun sejak lama:

  • UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik dan perbuatan yang dilarang.
  • UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi. Ada penjelasan tentang perbuatan apa saja yang termasuk tindakan pornografi, termasuk tulisan, foto, atau video yang kita unggah dan sebarkan di media sosial.
  • Surat Edaran Kapolri No. SE/6/X/2005 tentang penanganan ujaran kebencian (Hate Speech). Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana, seperti: penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong yang dapat berdampak pada tindakan diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Ini berlaku juga lho untuk tindakan di media sosial.


5. Batasi Waktunya

Secinta-cintanya kita pada media sosial, membatasi waktu penggunaannya adalah sebuah keniscayaan. Sekali lagi, sesuaikan dengan kondisi, ya. Bagi saya yang masih mempunyai anak batita, tentu saja tidak bisa setiap saat mantengin ponsel. Saya pun tidak setiap hari mengupdate status di facebook, kok. Kadang memang benar-benar tidak sempat.

Selain itu, yuk renungkan quote dari Peter Thomson, seorang Digital Brand Strategist. Social media is not something that you "do", instead you have to " be" social.
Yeah, media sosial bukanlah sesuatu yang kamu "lakukan", sebaliknya kamu harus "menjadi" sosial.


Kita masih punya kehidupan nyata yang sangat memerlukan keberadaan kita secara sadar. Ya, kita sebaiknya hadir secara fisik dan pikiran di setiap kegiatan harian kita, terutama yang bersentuhan dengan orang lain. Ponsel dan badan kita perlu rehat, lho. Jika sudah merasa cukup, tinggalkan dulu. Tidak semua kegiatan kita perlu kita unggah, pun tidak semua postingan harus kita komentari.

Itu menurut saya. Bagaimana dengan teman-teman? Boleh memberi tambahan tentang hal lain yang perlu kita lakukan agar tetap waras bermedsos. Monggo...

Salam warganet bijak,





Sumber:
Buku "Cakap Bermedia Sosial" by Kominfo tahun 2017.

Sumber foto: pexels

#BPN30DayChallenge2018
#BloggerPerempuan
#Day5
#TentangMediaSosial

You Might Also Like

19 comments

  1. yang sulit sih menurut saya yang terakhir, sulit banget ngatur waktu buat bersenang-senang dan selancar di sosmed. bawaannya kadang kelupaan terus keasyikan deh! akhirnya time management jadi kacau!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Emang PR banget ya yg no. 5. Makasih udah mampir :)

      Delete
  2. Betul mbak saya setuju kita harus bijak dan cerdas dalam menggunakan medsos. Lebih baik tebar manfaat sebanyak-banyaknya. Makasih sharingnya mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul, Mbak. Yang bermanfaat aja banyak kok. Yuk bikin medsos kita adem dan penuh ilmu ya :)

      Delete
  3. Wah Bun. Aku ikut sedih denger cerita Bunda. Kalau di medsos aku berusaha hati-hati bun karena terkadang kita nggak bermaksud untuk menyakiti ketika menulis status. Tapi eh ada yang tersakiti karena ketika kita menulis status pasti kita nulis lwar sudut pandang kita ya, jdi kalau ada yg brbda sudut pdang mereka jadinya tersinggung hihihi. Jdi aku brusha bkin status yang aman aja. Selain itu buat aku medsos tempat kerja dan tempat belajar. Aku suka ngikutin status atau ilmu yang dibagikan para ahli. Jdi ngerasa ilmuku updte karena apa yang mereka bagikan itu di medsos mereka hihihi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tepatnya bukan begitu, Bun ;)
      Jadi, status saya saat itu biasa aja. Cuma karena bertema politik, teman saya itu seperti punya kesempatan untuk marah2 di kolom komentar. Bukan marah ke saya.
      Singkatnya, kalo saya nyerempet ke politik jadi seperti memancing reaksi baik kawan atau lawan. Diskusi adem kan lebih enak, yak ;) Aslinya semua kan saudara. Kapok deh saya :D
      Iyes, Bun. Saya lebih suka mantengin status para ahli di bidangnya. Lebih mantep. Ya walaupun status teman2 tetap lewat seperti biasa, sih.

      Delete
  4. Gara² FB saya pernah diinbox mahasiswa yg protes nilainya. Jadi deh saya ganti nama bukan nama di kampus, dan saya engga berteman dng mahasiswa saya. Biarin deh teman dumay saya sedikit...hehe...
    Gara² FB juga saya bikin except u teman² yg suka kepoin saya. Haha...jadi saya bebas nulis di timeline, tanpa tau² ada yg japri ttg status saya. Aneh ya saya...

    ReplyDelete
  5. Social media is not something that you "do", instead you have to " be" social.
    Setujuu banget dengan penutupnya..
    Kontrol medsos memang ada di tangan kita..saya kadang terlena juga..sampai kerjaan lain tertunda . Hiks! Thanks for reminding me Mbak Tatiek..Ulasan yang lengkap ini!

    ReplyDelete
  6. Saya juga suka kepo sama kehidupan temen-temen mba. Apalagi saya jarang keluar rumah praktis hanya dari medsos saya bisa tau kejadian di dunia luar. Tapi ya itu, kalau udah nemu postingan yang pribados tapi diumbar umbar jadinya males. Hehehe apalgi yang hoaks dan berbaunhate speech. Kelaut aja deh

    ReplyDelete
  7. Perlu ngelawan hoaks ya mbak, baik yg misinformasi dan disinformasi, jadi cerdas dan bijak genakan medsos...

    ReplyDelete
  8. Kalo liat dampak negatifnya, ngeri juga bersosmed ya mb, miriis ih

    ReplyDelete
  9. Iya,Mba. Memang kita harus bisa sebijak mungkin menggunakan medsos. Kalau tidak, dampaknya bisa berbalik menyerang diri sendiri.

    ReplyDelete
  10. Memang harus cerdas dan bisa membatasi diri sendiri punya medsos itu. Kalo nggak dapat negatifnya aja ...

    ReplyDelete
  11. Menggunakan medsos dengan bijak memang membutuhkan kecerdasan ya Mbak. Dari semua sharingnya, yang paling susah buat saya itu adalah nomor 5 (hehehe..ketahuan).

    ReplyDelete
  12. Setuju banget mbak Tatik. Paling terakhir tuh maknyus... Istirahatkan diri... Hahaha... Gak muna sih kadang masih aja pegang hape padahal mata udah Burem. Haha

    ReplyDelete