Sebetulnya sudah lama saya ingin menulis tentang ini. Sebuah tema yang sepertinya menjadi bahan perdebatan di antara tema-tema yang lain, seperti: ibu rumah tangga vs ibu bekerja, ibu melahirkan normal vs ibu melahirkan sesar, ASI vs sufor, dll... Maka tentang pilihan memasukkan anak ke SD menjadi keriuhan berikutnya yang tak kalah seru diperbincangkan. Terakhir, sebuah status di fb seorang ibu yang memasukkan anaknya di sebuah sekolah dasar full day di-likes oleh lebih dari tujuh belas ribu facebookers dan dengan komentar yang tidak kalah serunya. Warbyasak! (baca: luar biasa, ini kata gaul ala anak-anak muda sekarang, hehe).
Nah, bagaimana dengan anak saya sendiri? Anak saya, si Afra, bersekolah di sekolah dasar negeri, saudara-saudara! Jika status si ibu itu berupa dialog-dialog dengan orang yang mempertanyakan mengapa anak si ibu koq di full day-kan, dll, dsb, maka ada juga yang bertanya mengapa koq saya memasukkan anak saya ke sekolah dasar negeri? Di tengah sorotan kepada sekolah dasar negeri yang dianggap tidak memberikan kualitas pendidikan yang baik kepada muridnya, pilihan saya rupanya jadi sebuah tanda tanya besar bagi sebagian orang. Baiklah, mari dengarkan saya bertutur 😁
1. Kondisi anak
Pilihan saya memasukkan si Afra ke sekolah dasar negeri adalah dengan mempertimbangkan kondisinya sebelumnya. Sejak TK, Afra terbiasa tidur siang. Jika beberapa hari tidak tidur siang, bisa dipastikan kondisinya drop. Jadi menurut saya, pilihan memasukkannya ke sekolah full day tentu saja tidak tepat. Ditambah dia sendiri pernah bilang: "Afra tidak mau sekolah yang sampe sore, Mi. Capek." Karena ia melihat anak tetangga yang pulang sekolahnya selalu sore dan terlihat capek sekali sehingga jarang berkumpul dengan anak-anak lain di lingkungan sini.
Sedikit contoh tentang mempertimbangkan kondisi anak. Ada seorang teman saya yang semula anaknya bersekolah secara full day di sebuah sd yang jaraknya agak jauh dari tempat tinggalnya. Suatu hari ia memutuskan memindahkan anaknya ke sd negeri dekat rumahnya. Rupanya anak tersebut kecapekan dan menderita sakit selama sebulan sehingga keputusan itu harus diambilnya. Teman saya itu adalah seorang kepala sekolah sebuah TKIT.
Suami saya pernah menjadi instruktur robotika dan bercerita bahwa sebagian besar muridnya adalah anak-anak SD favorit full day di kota yang sepulang sekolah langsung mengikuti les robotika di tempat suami saya bekerja tersebut. Menurut beliau, hampir semua anak terlihat kelelahan sehingga kurang bisa mengikuti jalannya les dengan maksimal, padahal biaya lesnya tergolong mahal. Contoh yang ini memang bukan tentang pilihan sekolah, tapi masih berkaitan dengan kurangnya pertimbangan orang tua terhadap kondisi anak mereka sebelum memberi mereka kesibukan tambahan. Demi apa? Saya tidak tahu dan enggan menduga-duga.
2. Jarak sekolah
Rumah saya berada di wilayah yang bukan kota tapi juga bukan desa yang terpelosok. Sekolah dasar yang ada memang sekolah-sekolah negeri yang jaraknya sekitar 500-an meter dari rumah, sebut saja SD Negeri A dan SD Negeri B. Nah, Afra bersekolah di SD Negeri B yang letaknya sejalur dengan rumah sehingga tidak perlu menyeberang jalan raya. Setiap hari ia berangkat bersama teman-temannya dengan berjalan kaki, kadang juga saya antar.
Sebelum Afra menyatakan pendapatnya tentang pilihan sekolahnya, saya dulu pernah berangan-angan untuk memasukkan si Afra ke sebuah SDIT full day yang terkenal di kota. Jaraknya dari rumah? jangan ditanya. Ada lagi sekolah sejenis yang baru berdiri yang lumayan dekat jaraknya, sekitar 7 kilometer. Saya sendiri akhirnya berbicara kepada kepala sekolahnya -yang kebetulan adalah teman saya sendiri- dan meminta maaf karena penawarannya tidak bisa saya penuhi. Apa jawab beliau? "Tidak apa-apa, mbak. Wong saya sendiri sebenarnya ingin meng-homeschooling-kan anak saya."
Seorang teman saya yang lain berkata: "Kalau masih kecil begitu, gak papa mbak disekolahkan deket dengan rumah. Kasihan kalau kejauhan." Teman saya kali ini adalah seorang guru SMKIT. 😊
3. Kondisi lingkungan
Saya dan keluarga termasuk pendatang baru di lingkungan kami. Walau pun sebenarnya saya pulang kembali ke kampung halaman sejak meninggalkan Batam, tentu saja banyak perubahan yang terjadi di sini. Terutama orang tua-orang tua baru dan anak-anak mereka. Sebagian besar anak-anak mereka juga bersekolah di SD Negeri B tempat Afra bersekolah.
Secara umum, para orang tua tersebut adalah tipe orang tua yang menyerahkan bulat-bulat pendidikan anaknya ke sekolah dan ke guru les tambahan. Tingkah laku anak-anaknya tidak bisa dibilang buruk, setidaknya karena di kampung kami ada surau dan TPA yang aktif dijalankan. Walaupun sebagiannya masih belum bisa disebut mencerminkan akhlak Islam, seperti: makan minum sambil berdiri, membuang sampah sembarangan, saling mengolok dan terpengaruh menyanyikan lagu-lagu 'orang dewasa.'
Semua orang pasti menginginkan lingkungan terbaik di tempat tinggalnya masing-masing, tapi menurut saya, impian itu kadang tidak bisa seperfect yang kita harapkan. Ada yang harus kita lakukan untuk mengubahnya sedikit demi sedikit. Alhamdulillah, dengan menyekolahkan Afra di sekolah yang sama dengan anak-anak mereka, kami selaku orang tua bisa melakukan interaksi lebih dengan mereka dan tidak terkesan memisahkan diri.
Maaf jika harus menyebut kata-kata yang sensitif yaitu nilai akademis. Ini ada hubungannya dengan paragraf sebelumnya. Jadi, Afra tergolong murid yang nilai akademisnya tinggi, ehm... dia rangking satu di kelasnya sejak kelas satu. Positifnya, beberapa ibu bertanya-tanya tentang bagaimana resep belajar Afra sehingga bisa mudah mengerti pelajaran yang disampaikan gurunya. Nah, kesempatan bagus! Akhirnya terbangunlah dialog-dialog. Pelan-pelan saya jelaskan kepada mereka tentang tips-tips belajar yang efektif dan menyertakan peran orang tua di dalamnya. Mohon dicatat, ibu-ibu tersebut hanya mengerti bahwa nilai akademis itu penting. Ini kampung, bro! Tentang akhlak anak-anaknya? Dialog-dialog akan terus berlanjut dan semoga akan membawa sedikit perubahan bagi mereka.
Saya tidak tahu apakah ini pas dikaitkan dengan paragraf di atas:
"Jika kau merasa bahwa hal di sekitarmu gelap, tidakkah kau curiga bahwa dirimulah yang dikirim Allah untuk jadi cahaya bagi mereka?" (Salim A. Fillah)
4. Peran Orang Tua
Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya, termasuk dalam hal pilihan sekolah. Dan sungguh saya sangat mendukung jika banyak orang tua yang berbondong-bondong memasukkan anaknya ke sekolah yang dianggap bisa memberi lebih, bisa menjadikan anak mereka shalih-shalihah, dsb, dll. Saya sendiri punya keponakan yang bersekolah di sebuah SD Islam Internasional yang lumayan wah biayanya. Hasilnya? keponakan saya itu terlihat matang dan shalihah, penampilannya khas akhwat yang menutup aurat dengan rapi sejak ia SD sampai sekarang sudah SMP. Sekolah pilihan kakak ipar saya itu sangat membantu cita-cita mereka dalam mendidik anaknya. Sementara kakak ipar saya dan istrinya merasa tidak mampu jika mendidik sendiri anaknya terutama berkaitan dengan agama.
Dan bagi kami yang menyekolahkan anak kami di sekolah negeri yang notabene sangat kurang pelajaran agamanya, bukan berarti kami merasa sudah mampu dan bisa melakukannya sendiri. Justru poinnya ada pada kewaspadaan agar kami terus belajar dan memberikan teladan di rumah.
Kami tetap mengontrol hafalan Quran Afra sehingga ia pun lancar melakukan setoran hafalan di TPA tempatnya mengaji dengan semangat. Kami mengajaknya mempelajari shirah Nabi Muhammad lewat buku dan sampai sekarang ia tidak pernah bosan membaca buku-buku shirahnya itu. Pun ia juga tak bosan nobar film kartun "Muhammad The Prophet" atau film "The Message" yang dibintangi oleh Anthony Quinn sampai meneteskan air mata. Kami mengajaknya untuk tertib shalat lima waktu sekaligus shalat sunnah rawatib, alhamdulillah sampai sekarang jarang sekali shalatnya bolong. Kami biasanya mengajaknya mampir ke masjid jika bepergian dan ia terbiasa berinfaq di sana. Ia yang kami ajarkan untuk membawa bekal dari rumah dan tidak jajan di sekolah, biasanya tidak memakan bekalnya sendiri, ada temannya yang 'kecipratan' rezeki. Dan hikmah menutup aurat sejak dini yang kami sampaikan kepadanya membuatnya bisa menahan rasa gerah (Afra termasuk anak yang 'sumukan') dan baru-baru ini ia mempengaruhi dua orang temannya untuk berjilbab ke sekolah. 😇 Alhamdulillah.
Bagaimana dengan hal-hal semacam outbound, cooking class, market day atau ekstrakurikuler? Halaman rumah plus kebun belakang kami luas untuk dijelajahi bersama teman-temannya, juga untuk berkebun. Proyek berkebunnya saat ini adalah melestarikan pohon ciplukan 😁 Karena itu tidak ada gadget baginya sampai nanti dia SMP, kalau pinjem emaknya bentar, boleh lah 😀 Setiap hari ia melakukan market day dengan berjualan es krim (akan saya tulis di next edition). Anak ini sepertinya seneng jualan, tidak seperti emaknya ✌ Cooking class pun begitu, ia sering saya libatkan untuk membuat makanan yang direquest-nya. Komputer dan robotika? tinggal panggil abinya. Dan saat ini kami sedang menyemangatinya untuk menekuni hobinya: menggambar. Pernah dia menerima pesanan gambar dari teman-temannya dan dengan sabar dikerjakannya.
Apa yang saya sampaikan di atas insya Allah bukan sebagai bentuk berbangga-bangga diri. Sungguh PR kami sebagai orang tua belum selesai dan masih sangat banyak ke depan. Saya hanya ingat bahwa sebenarnya rumah dan keluarga-lah sekolah pertama dan utama bagi anak-anak. Mengutip ayahkita.com yang berpendapat lebih tegas: "Karena anak tidak membutuhkan sekolah unggulan terakreditasi A tapi justru membutuhkan orang tua berakreditasi A."
Maka saudara-saudaraku, berbeda pendapat itu tentu saja boleh dan suatu keniscayaan atas pilihan-pilihan yang dijatuhkan. Pilihan-pilihan itu sangat tidak bisa dipukul rata karena ada alasan-alasan dibaliknya. Mari menyimak tutur seorang Bunda Kurnia Widhiatuti tentang anaknya yang bersekolah di SD Inpres, dilanjutkan dengan SMP Negeri dan akhirnya mondok di Gontor. Seorang Trainer Parenting yang sudah berkeliling di banyak kota di Indonesia ini ternyata ingin mengajarkan anaknya tentang kepayahan dan kesederhanaan saat menuntut ilmu. Beliau terinspirasi dari perkataan Imam Syafi'i: “Tidak akan beruntung orang yang menuntut ilmu kecuali yang menuntutnya dalam keadaan serba kekurangan. Aku dahulu mencari sehelai kertas pun sangat sulit. Tidak mungkin seseorang menuntut ilmu dengan keadaan serba ada dan harga diri yang tinggi kemudian ia beruntung.”
Saya ingin mengingatkan diri saya sendiri atas pilihan-pilihan saya pada apa pun, agar tidak sampai merendahkan pilihan orang lain, sepanjang pilihan mereka bukan pilihan yang haram dan bertentangan dengan syariat. Bukankah salah satu unsur dari kesombongan itu adalah merendahkan orang lain? Ia kadang tidak disadari menyusup ke dalam hati; sombong tanpa sadar.
Beberapa saat yang lalu, saya dan teman-teman DPA ODOJ Malang menyelenggarakan Grand Launching Buku "Putus" yang ditujukan untuk murid-murid SMP-SMA se-Malang Raya yang menghadirkan bintang tamu seorang Mahasiswa Berprestasi Nasional, Abdul Jabbar Jawwadurrohman. Ia bercerita bahwa pernah ditugaskan untuk mengajar anak-anak di perbatasan negeri ini. Anak-anak yang terbatas aksesnya untuk bisa bersekolah. Maka pesannya saat itu untuk yang hadir adalah agar tetap bersemangat pergi ke sekolah dan rajin belajar, karena tidak semua anak beruntung bisa bersekolah dengan mudah. Dan pesan yang saya tangkap: para orang tua di sana jangankan meributkan sekolah ini versus sekolah itu, melihat anaknya bisa bersekolah lancar saja sudah sangat bersyukur.
Fiuhh, panjang juga ternyata curhat saya 😁 Akhirnya, dalam pengamatan saya yang terbatas ini, gesekan paling seru adalah di tingkat SD. Jika sudah tingkat SMP ke atas sepertinya sudah tidak terlalu rame. 😅 Benarkah? Ah, saya hanya iseng mengamati pada saat musim SBMPTN, sepertinya hampir semua orang tua sepakat dan saling memberi selamat jika anak mereka lolos Perguruan Tinggi Negeri, hehe.
~Selesai~
Ditulis pada Jumat malam, saat tab agak trobel 😅
Tatiek Ummu Hamasah Afra
Bakso Ayam ala Ummu Afra. Dengan tambahan tahu putih, goreng, dan goreng gundul ^_^ |
Awalnya memang saya berniat membuat bakso ayam sih, bukan karena efek daging sapi mahal. Tapi bolehlah ini dijadikan alternatif saat daging sapi mahal seperti sekarang, karena rasanya juga tidak kalah sedap dengan bakso sapi. Pun untuk kuahnya, saya tetap menyertakan tulang sapi, disamping tulang dan kulit ayam.
Btw, kami sekeluarga sebenarnya kurang begitu suka makan daging merah jika hanya dimasak utuh berupa daging. Nah, jika dibikin bakso, baru deh sukaaaa.Tapi seringnya saat membuat bakso sapi, suka males mengantri di penyelepan daging di pasar tradisional. Agak ragu-ragu gimanaaa gitu :-P
Nah, kalau membuat bakso dari daging ayam, saya tak perlu repot-repot mengantri karena daging ayam kan lebih lembut jadi bisa saya blender sendiri. (Ceritanya belum punya chopper neh, hehe...) Jadi walau pun di resep berikut saya menyebutkan chooper, itu karena resep aslinya yang saya copas dr cookpad menyebutkan begitu. Besok jika sudah punya chopper, tinggal melaksanakan sesuai resep saja ^_^
BAKSO AYAM
600 gram fillet daging ayam
2 btr telur ayam (ambil putihnya)
100 gram tepung sagu
1 sdt merica bubuk
3 siung bawang putih
2 sdm bawang merah goreng
1 sdm garam
1 sdm saus tiram
1 sdm gula pasir
150 ml air es
1 sdt baking powder
1/4 sdt soda kue
1 sdm minyak goreng
2 ltr air untuk merebus
Es Batu secukupnya
Cara pembuatan:
1. Haluskan bawang putih dan garam. Sisihkan.
2. Panaskan air dalam panci untuk merebus, sementara kita siapkan bahan lainnya.
3. Gunakan chopper (bukan blender) utk menghaluskan bahan sbb: fillet ayam, putih telur, bawang merah goreng, bawang putih halus, gula pasir, saus tiram, merica dan air es (masukkan sedikit2). Proses hingga semua bahan menyatu rata dan menjadi adonan yang halus.
4. Tempatkan adonan ayam dalam wadah lalu campurkan sagu sedikit demi sedikit hingga rata. Masukkan baking powder, soda kue. Tambahkan minyak goreng. Aduk rata.
5. Sekarang adonan bakso siap dibentuk. Ambil segenggam adonan lalu lakukan gerakan memencet sehingga adonan keluar diantara jari jempol dan telunjuk. Ambil dengan sendok makan lalu masukkan ke dalam rebusan air.
6. Apabila bakso sudah mengapung, tandanya bakso sudah matang dan bisa diangkat. Boleh tunggu 1-2 menit untuk memastikan bakso matang sampai ke dalam.
7. Bakso yang sudah diangkat dimasukkan ke baskom yang berisi es batu. Diamkan dalam rendaman es beberapa saat, lalu angkat dan tiriskan.
8. Simpan bakso dalam wadah kedap udara. Bakso bisa tahan sampai 2 minggu Apabila disimpan dalam freezer dengan suhu -18 derajat C.
9. Untuk kuahnya, saya memakai campuran tulang ayam dan tulang sapi. Bumbunya adalah bawang putih dan daun bawang yang diiris halus ditumis, dihaluskan, kemudian di masukkan ke dalam kuah. Tambahkan gula pasir secukupnya.
Selamat mencoba ^_^
Serenada Mapan (Sebuah Catatan di Ramadhan 1436 H)
- August 17, 2015
- By Tatiek Purwanti
- 0 Comments
Pertengahan Mei 2015 kemarin dirilis sebuah film pendek di youtube dengan judul 10 Alasan Pria Menunda Nikah, hasil karya anak-anak muda muslim kreatif yang cukup menarik perhatian. Alasan-alasan tersebut adalah: ngumpulin duit, belum punya rumah, masih kuliah, beda keyakinan, masih mau ngejar karir, nggak pede, orang tua nggak setuju, bingung pilih yang mana, ditolak dan belum siap. Ada beberapa poin yang jika dikerucutkan bisa menjadi sebuah kesimpulan: saya belum mapan. Benarkah menikah itu harus menunggu kita mapan dulu? Lalu apakah kondisi belum mapan itu menghalangi kita untuk meraih kemajuan dan kebahagiaan?
Saya jadi terkenang masa lalu. Saat itu, 14 Agustus 2000 saya menginjakkan kaki pertama kali di sebuah pulau nun jauh di sana, Batam. Pulau di sebelah Singapura, yang saat itu Merry Riana sedang menyusun mimpi sejuta dollarnya di sana. Saya, seorang gadis pendiam yang paling jauh hanya bepergian ke kota sebelah, karena suatu hal harus melupakan sejenak impian ideal yaitu berkuliah selepas lulus sekolah.
Saya jalani itu demi orang tua dan juga keinginan untuk mencari tahu tentang arti hidup dan arti cinta. Orang-orang menyebutnya sebagai sebuah pencarian jati diri. Ada banyak pertanyaan yang belum terjawab di masa remaja saya. Salah satunya tentang pacaran. Haruskah setiap remaja melakukannya? Apakah itu salah satu siklus hidup yang pasti dilewati setiap remaja seperti halnya lanjutan jenjang sekolah yang harus ditempuh; dari SMP ke SMA. Jika sudah tujuh belas tahun, maka boleh pacaran. Begitu kah? Walau pun saat itu masih ada kebingungan, entahlah saya tidak tertarik dengan 'kegiatan' itu. Jiwa remaja saya berkata bahwa itu konyol dan sia-sia. Saya tentu saja mengerti seperti apa makhluk ganteng itu. Tapi apa iya harus berpacaran dengan mereka yang kita akui kegantengannya? Saya berusaha terus mencari dan kelak saya temui jawaban itu di Batam.
***
"Welcome to Batam" Sumber: Tribun Batam |
BATAM: Bila Anda Tiba Anda Menyesal
BATAM: Bila Anda Tabah Anda Menang
Jargon itu begitu akrab di telinga. Pada akhirnya saya mengerti maksudnya. Kawasan industri itu, Batamindo atau sering disebut juga Mukakuning, adalah surga bagi para pencari kerja. Saat itu Upah Minimum Regional yang tertinggi di Indonesia ada di sana. Uang di tangan dan jauh dari orang tua, maka para buruh muda bebas jika ingin melakukan apa saja. Ada Plaza Batamindo dan tempat-tempat hiburan di luar kawasan industri itu -daerah Nagoya dan Sei Jodoh- yang memancing anak muda untuk berfoya-foya menghamburkan uang hasil bekerjanya. Jika itu dilengkapi dengan mengiyakan tawaran pergaulan bebas yang menjadi trend di sana, lengkaplah sudah kesenangan yang akan berujung penyesalan. Tiba di sana hanya untuk menyesal? Oh, No!
Saya ingin menjadi seperti yang kedua; tabah dan menang. Tapi bagaimana caranya? Setahun sudah saya berada di sana. Masuk kerja, pulang ke dormitori, makan, tidur, jalan-jalan, begitu seterusnya. Gersang. Sampai suatu hari saya mendapati oase itu pada wajah-wajah teduh berbalut jilbab lebar yang setiap hari saya temui di perusahaan multinasional tempat saya bekerja. Mereka adalah kakak-kakak akhwat yang memilih menyibukkan diri dengan aktifitas kebaikan di majelis taklim perusahaan. Mereka tidak sekedar bekerja untuk mendapatkan uang tapi juga terus belajar tentang agamanya dan mencoba menjadi 'Sang Pencerah' bagi sekitarnya. Mereka memang berbeda. Itulah sebabnya mereka tidak pernah saya temui berkeliaran di Taman Seribu Janji, sebuah lapangan rumput luas di area dormitori yang digunakan berpuluh pasang kekasih untuk mengobral janji-janjinya. Sepertinya saya mulai mengerti apa yang saya cari.
Kawasan Industri Batamindo (Mukakuning) sumber: sbf.org.sg |
Ketertarikan itu mendorong saya untuk menyimak sebuah kajian bertema jilbab bagi wanita muslimah. Kajian menyejukkan itu mengatakan bahwa inilah kewajiban yang harus dijalankan sebagaimana shalat lima waktu ditunaikan. Inilah perintah Allah Swt. karena Dia sayang kepada hambaNya. Anggapan lama saya bahwa orang yang berjilbab itu harus paham mendalam dulu tentang Islam, seketika musnah. Di kampung saya dulu, hanya teman-teman yang mondok di pesantren yang pede berjilbab. Yang bukan santriwati? Pasti akan dianggap aneh jika menutup auratnya. Ah, syiar yang tidak sempurna disampaikan dan dipahami. Lalu, buku bersampul ungu berjudul Revolusi Jilbab yang saat itu begitu fenomenal pun melengkapi referensi saya. Alangkah heroik perjuangan para muslimah muda di buku itu dalam mentaati Rabb-nya. Dan saya? Hampir tidak ada halangan berarti kecuali kejahilan yang selama ini membelenggu diri.
***
Tuhan, aku hanya manusia
Mudah berubah lagi dalam sekejap
Tuhan, aku ingin berubah
Dan ku bertahan dalam perubahanku
(Berubah, by EdCoustic)
Ramadhan tahun itu saya niatkan untuk berubah. Tapi, saya berpikir lagi. Mengapa harus menunda jika kepahaman sudah ada dan niat sudah bulat? Bagaimana jika ajal ternyata datang esok hari? Di awal Rajab itu, saya memandangi baju panjang saya di almari. Hanya beberapa, tentu saja belum ada gamis di sana. Pun hanya ada dua helai jilbab segi empat yang saya punya. Bismillah... Tanggal 2 Rajab 1422 H itu tidak akan saya lupakan. Ia menjadi hari pertama saya berhijrah menutup aurat. Saya justru lupa tanggal Masehinya. Ucapan selamat pun berdatangan dari beberapa teman, sebagai tanda bahwa saya baru saja memulai 'hidup baru'. Haru dan bersyukur. Ternyata jika kita mau, Allah Swt. akan menunjukkan jalan.
Belum ada handphone saat itu di kalangan kami, para buruh muda ini. Untuk memberitahu orang tua tentang perubahan diri, saya mengantri di wartel pada hari Ahad, saat dimana tarif Sambungan Langsung Jarak Jauh (SLJJ) berlaku paling murah. Ayah dan bunda pun terharu dan mendoakan. Mereka yang memang hanya sedikit paham tentang agama, mendorong saya untuk terus belajar. Maka berkiprah di majelis taklim perusahaan menjadi pilihan saya kemudian. Hal yang paling berkesan adalah saat menyelenggarakan seminar jilbab bersama teman-teman dengan pembicara Almh. mbak Nurul F. Huda yang saat itu tinggal di Batam.
Ba'da seminar itu, beberapa teman pun terdorong untuk menutup auratnya, tanda bahwa materi yang disampaikan saat itu sangat membekas dan menjawab segala keraguan. Welcome to our new life! Waktunya berubah ke arah lebih baik, kawan. Kami buruh muda ini, punya kesempatan yang sama untuk melakukan perbaikan diri sebagaimana para santri atau pun mahasiswa-mahasiswi. Kami yang tinggal berdesakan di dormitori, berenam belas orang, juga punya kewajiban untuk saling mengingatkan dalam kebaikan. Ini menjadi catatan saya bahwa kondisi 'belum mapan' bukanlah halangan untuk meraih kemajuan. Ramadhan tahun itu pun saya jalani dengan penuh senyuman.
Halangan pasca berjilbab itu pastinya ada. Pada akhirnya saya memahami bahwa itu adalah ujian 'kenaikan kelas'. Misalnya, ada seorang atasan yang sepertinya kurang suka dengan penampilan saya yang mengulurkan jilbab sampai ke dada dan memakai rok panjang. Kebetulan, seragam yang diberikan perusahaan hanya berupa atasan sehingga untuk bawahannya saya bisa memilih memakai rok. Saya menjawab bahwa pakaian saya itu tidak menghalangi pekerjaan saya yang memang tidak berhubungan dengan mesin, karena saya bertugas di sebuah ruangan Quality Control (QC). Beberapa sindiran kerap dilontarkan termasuk pilihan saya untuk tidak berpacaran. Sementara beberapa teman saya, satu per satu sudah menemukan gandengan. Sebuah keputusan yang mantap saya jalani karena akhirnya saya tahu bahwa tidak ada pacaran di dalam Islam. Kegusaran yang akhirnya terjawab sudah. Lebih yakin lagi setelah saya membaca sebuah buku Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan yang menjadi perbincangan menarik saat itu. Buku pertama ust. Salim A. Fillah itu yang membuat saya ingin segera menikah. Pahala dan gambaran keindahannya itu lho, Masya Allah.
***
"Dan orang-orang yang belum mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (diri) nya, hingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya..."
(QS. An Nur: 33)
Kajian-kajian bertema munakahat pun rajin saya hadiri. Dari situ saya tahu bahwa menikah juga perlu persiapan ilmu dan bersegera itu bukan berarti terburu-buru. Saya pun sadar bahwa masih banyak ilmu yang harus saya pelajari. Maka ajakan teman untuk menjadi santri kalong di sebuah ponpes di daerah Batuaji pun saya iyakan. Bergabung sebagai pengurus remaja masjid di kawasan industri itu, Remaja Masjid Kawasan Industri Batamindo (RMKIB) menjadi pilihan selanjutnya untuk belajar berorganisasi dalam skala lebih luas lagi. Tenggelam saya dalam keasyikan amanah-amanah dakwah di sana. Kebersamaan kami itu pernah dimuat di majalah Annida dengan judul Mujahid di Kawasan Industri Batamindo.
Masjid Nurul Islam Mukakuning, saat Sakura bermekaran di sana. Sumber: bujanglanang.blogspot.co.id |
Awal tahun 2005, menjelang usia 24 tahun, saya sedikit gelisah. Tahun itu ada rencana pulang kampung tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda jodoh akan tiba. Usia segitu di kampung saya tergolong kategori terlambat menikah versi manusia. Alamat nih, bakalan ditanya-tanya. Walau pun di antara teman-teman akhwat, usia segitu masih tergolong hal biasa jika masih sendiri. Kesendirian yang menguji kami untuk menjaga hati karena interaksi ikhwan dan akhwat dalam organisasi ini bisa dimanfaatkan setan untuk membelokkan niat. Resep saya saat itu adalah cukup dengan mengakui jika ikhwan A atau B itu baik dan shalih. Iya dong, masa ada orang baik dikatakan buruk? Dan cukup berhenti sampai di situ, jangan dilanjutkan dan dibayang-bayangkan! Termasuk juga menghindari interaksi yang memang tidak diperlukan.
Saya masih terus bergerak, menunggu dan berdoa. Oh, jodoh di manakah dirimu berada? Saat itu menjelang Ramadhan 1426 H, di bulan Oktober 2005, waktu mudik semakin mendekat. Daaaan... di luar dugaan saya, ada seorang ikhwan menyampaikan keinginan untuk bertaaruf dengan saya melalui guru ngaji saya, atas perantara seorang teman. Ikhwan itu, seorang rekan di majelis taklim dan di remaja masjid, yang saya sedikit tahu kebaikan akhlaknya. Maka adakah alasan saya untuk menolaknya? Debar-debar di dada kian terasa ketika taaruf dilakukan. Ba'da istikharah ada kemantapan hati yang menimbulkan ketenangan: dialah yang dikirimkan Rabb-ku. Sujud syukur padaMu, yaa Allah. Sungguh Engkau sebaik-baik pengatur urusan.
Bandara Hang Nadim. Sumber: charlesryan77w.blogspot.com |
Pekan kedua Ramahan tiba. Debar-debar itu terus menyertai sejak dari bandara Hang Nadim hingga ke Juanda. Saat tiba di rumah, orang tua awalnya sedikit terkejut saat saya menyampaikan keinginan untuk segera menikah. Anaknya yang pendiam dan tidak pernah bercerita tentang gandengan, tiba-tiba mantap ingin menghadiahi mereka seorang menantu. Mereka menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada saya saat di pekan selanjutnya datang rombongan dari Solo, Jawa Tengah ke rumah kami. Keluarga ikhwan itu datang melamar tanpa si ikhwan. Ya, karena jatah cuti ikhwan tersebut sudah habis sehingga tidak bisa mudik. Hal tersebut tidak mengurangi kehangatan silaturrahim di antara keluarga kami. Berbuah jawaban 'bersedia' yang terlontar dari mulut saya. Sekaligus penetapan tanggal dan tempat pernikahan kami: 25 Syawal nanti di Batam.
***
DisatukanNya Adam dan Hawa
Dianugerahkan Yusuf bagi Zulaikha
DibahagiakanNya Muhammad-Khadijah
Indahnya pertalian cinta
(Tali Cinta by Lail-C Nasheed Team, Batam)
Hari bersejarah bagi kami pun akhirnya tiba, 25 Syawal 1426 H atau 27 November 2005. Masjid Nurul Islam menjadi tempat akad nikah dan walimah yang indah. Sebuah pernikahan yang saya impikan; sederhana dengan hiburan nasyid dan rebana, dikemas secara syar'i oleh teman-teman panitia, terpisah antara tamu perempuan dan laki-laki dan yang paling penting adalah proses menujunya tidak kami lalui dengan pacaran. Alhamdulillah. Itu menjadi syiar yang saya dambakan selama ini. Beberapa teman di perusahaan yang dulu penasaran dengan prinsip saya, akhirnya memahami bahwa judul buku pertama ustadz Salim A. Fillah itu benar adanya.
Jadi raja dan ratu sehari 😍 |
Dan inilah suami saya, ikhwan sederhana yang menyewakan sebuah rumah mungil untuk kami tempati bersama. Ia juga belum mempunyai motor sehingga saat itu ia menyewa motor untuk membawa kami ke mana pun. Kondisi yang tidak menghalangi kami untuk merayakan cinta. Bulan madu yang paling kami ingat justru saat sebagian kawasan Batam dilanda banjir besar. Penduduk Kampung Aceh -sebuah kampung yang mayoritas terdiri dari para perantau dari Aceh- saat itu berbondong-bondong mengungsi ke masjid Nurul Islam. Sepulang bekerja, saya dan suami akhirnya menuju ke sana dan memilih menginap di masjid, bergabung dengan para relawan. Keesokan harinya saat kami pulang ke rumah ba’da subuh, ternyata rumah kontrakan kami juga terendam banjir tetapi airnya sudah hampir surut. Sebelumnya kami tidak tahu bahwa kawasan itu termasuk daerah rawan banjir. Maka hari itu kami mengajukan izin tidak masuk kerja untuk membersihkan rumah kami.
Jadi saudaraku, berkurangkah kebahagiaan kami dengan kondisi yang secara fisik belum mapan itu? Sungguh, sakinah yang kami rasakan membuat segalanya terasa nyaman dan mapan. Sejak awal saya memang meniatkan untuk mendampingi seorang pejuang yang berakhlak baik. Bagi saya, pernikahan itu bukan garis finish, justru itulah awal dari perjuangan bersama. Kami terpacu untuk menggapai impian yang tertunda; kuliah. Ya, suami saya juga belum bisa menikmati bangku kuliah sebelumnya. Pernah ada sebuah buku berjudul KKN (Kuliah, Kerja, Nikah). Untuk kami, urutannya berubah menjadi Kerja, Nikah, Kuliah.
Tantangan selanjutnya adalah membagi waktu, mengatur gaji kami untuk biaya kuliah dan belajar berkontribusi di masyarakat yang suasananya tentu saja berbeda dengan lingkungan dormitori saat kami masih lajang. Ada taman baca anak-anak di lingkungan perumahan kami yang perlu pembenahan. Di akhir pekan, saya bergabung menjadi tutor di sebuah lembaga bimbingan belajar yang juga terdapat di lingkungan kami. Atmosfer yang berbeda dan itulah yang saya sebut upaya membangun jiwa.
Alhamdulillah, anugerah indah itu kami dapatkan setelah melalui bulan ke tujuh pernikahan. Kehamilan yang sebenarnya berat di tri semester pertama justru memacu semangat belajar saya. Berharap agar kelak si kecil menjadi seorang pembelajar. Si kecil cantik yang hadirnya menjadikan kami semakin bersemangat dalam berusaha. Ia lahir pada tanggal 7 Maret 2007 dan kami beri nama Hamasah Afra Qonita, agar ia senantiasa taat kepada Allah dan rasulNya, bersemangat, dan bergembira.
***
Anak muda...
Menikahlah sebelum mapan.
Agar anak-anak Anda dibesarkan bersama kesulitan-kesulitan Anda.
Agar Anda dan anak-anak Anda kenyang merasakan
betapa ajaibnya kekuasaan Allah.
Jangan sampai Anda meninggalkan anak-anak
yang tak paham bahwa hidup adalah perjuangan.
(Adriano Rusfi, Psi)
Setiap menjelang Ramadhan, kenangan itu kembali hadir dalam ingatan. Bulan Syawal nanti genap sepuluh tahun usia pernikahan kami. Pahit dan manisnya perjuangan silih berganti kami lalui. Kami berusaha berbaik sangka kepadaNya bahwa segala kemudahan yang datang adalah karena berkah yang tercurah dan ujian yang menyapa adalah sarana belajar bersabar dan terhapusnya dosa-dosa.
Sejak empat tahun lalu kami meninggalkan Batam dan menetap di kota saya, Malang. Kami menyebutnya sebagai sebuah ikhtiar untuk keluar dari zona nyaman. Beberapa teman menanyakan tentang keputusan kami yang dinilai berani untuk melepaskan status sebagai karyawan permanen di perusahaan dan memulai lagi dari nol. Birrul walidain. Orang tua kami sudah mulai sepuh dan merasa berbahagia jika kami berada tidak jauh dari mereka. Inilah pembelajaran bagi kami selanjutnya.
Saya sendiri, setelah selama tiga tahun mengabdi di sebuah sekolah, kini menyadari bahwa peran saya sebagai ibu masih perlu banyak pembenahan. Saya memutuskan berhenti bekerja dan terus berikhtiar pun bersabar menunggu hadirnya anak kedua yang kehadirannya masih ditangguhkan Allah Swt. Ini adalah kondisi belum mapan kami yang kerap dipertanyakan: Koq masih satu, sih? Kami tetap memegang prinsip ini: jika sakinah dihadirkan maka mapan pun dirasakan. Insya Allah.
Pakisaji, Malang, 9 Juni 2015/ 22 Sya'ban 1436 H
Tatiek Ummu Hamasah Afra
Jaim. Yang jelas bukan j' aime yang bikin jantung berdebar, hehe. Istilah yang kali pertama saya kenal pada saat awal masuk SMK. Jaga Image, sepantaran dengan kata-kata borju atau jeles yang ngetren saat itu. Mengutip dari wikipedia, jaim diartikan sebagai suatu perilaku untuk menyembunyikan sikap yang sebenarnya dengan mengharapkan orang lain menganggap subjek sebagai seseorang yang memiliki kepribadian yang tenang dan berwibawa.
Saya pernah menonton sebuah acara talkshow yang mendatangkan seorang artis muda yang ceria dan bersuara lumayan keras. Ketika ditanya oleh sang pembawa acara,
"Bisa gak sih kamu agak kalem?"
"Lah, ngapain gue jaim-jaim. Ya begini nih gue," jawab si artis sambil tertawa-tawa.
Pengertian jaim yang seperti itu memang lumrah beredar di sebagian masyarakat kita. Apa adanya saja lah, kira-kira begitu. Mereka yang berpendapat seperti ini biasanya memang akan bersikap atau mendukung sikap yang cenderung rame, heboh, seru, suka-suka gue, dan yang sejenisnya. Biasanya mereka juga anti bersikap kalem dan tenang karena itu bukan karakter dasar mereka. Menurut saya, hal tersebut sah-sah saja karena pada dasarnya manusia itu akan nyaman dengan bersikap yang apa adanya. Yang tidak tepat adalah jika menuduh orang yang bersikap kalem sebagai orang yang jaim. Karena sebagaimana para anti-jaim ingin dimaklumi dengan karakter dasarnya, manusia-manusia kalem juga punya karakter dasar mereka sendiri.
Saya pernah membaca sebuah pendapat bahwa jaim itu tetap perlu dilakukan sebagai bentuk kesopanan sikap kita. Seorang pelamar kerja yang aslinya bersifat heboh yang sedang diinterview oleh calon bosnya, pastinya ia akan cenderung menampilkan sikap manis dan penuh takzim. Bukankah ini bagian dari jaim yang menunjukkan kesopanan?
Beberapa waktu yang lalu, seorang pemimpin membuat heboh masyarakat dengan sikap beliau yang blak-blakan dan cenderung berkata-kata kasar. Banyak yang mendukung sikapnya karena menurut mereka sang pemimpin itu mah begitu orangnya :-D sudah dari sononya! Tapi tidak sedikit yang kontra dengan sikap beliau tersebut mengingat kapasitas beliau sebagai pemimpin. Seharusnya semarah apa pun dan sesulit apa pun kondisi yang dihadapi, sikapnya harus tetap tertata. Woles dikit lah, Pak! :-D
Dalam kasus di atas, saya termasuk pihak yang kontra. Saya tidak bisa membayangkan jika sikap beliau ditiru oleh anak-anak kecil :-( Nah, ini yang saya tangkap dalam lanjutan definisi jaim oleh wikipedia di atas. Bahwa jaim lebih dimaksudkan pada sikap untuk menjaga perilaku agar tetap tenang dalam menghadapi situasi yang sulit.
Teringat kisah seorang pemimpin teladan yang sebenarnya mempunyai karakter dasar keras dan temperamental. Tapi beliau mau mengubahnya karena takut kepada Rabb-nya dan ingat akan amanah memimpin yang sedang dipegangnya. Maka terlantunlah doa,
"Allahumma inni ghaliizhun, falayyin-ni."
"Ya Allah sesungguhnya aku ini kasar, maka lembutkanlah aku."
Beliaulah Al Faruq, yang bahkan syaitan pun takut kepadanya, Umar bin Khaththab radhiyallahu 'anhu.
Jadi, jaim-lah untuk menunjukkan kesopanan, menjadi teladan dan dalam rangka mengajak kepada kebaikan. Jangan sekali-kali jaim untuk pencitraan!
~~~
Tatiek Ummu Afra
Menulis adalah aktivitas makna, sebelum kegiatan mengumpulkan lafaz-lafaz. Karena itu, menurut Ibnul A’rabi, kata ‘tulisan’, kadang dipakai secara bahasa untuk menyebut pengetahuan. Seperti yang nampak pada makna ayat Al-Qur’an, “Apakah ada pada sisi mereka pengetahuan tentang yang ghaib lalu mereka menuliskannya?” Para ulama menjelaskan, bahwa kata menuliskannya, maksudnya apakah mereka mengetahuinya lalu mengabarkannya untuk orang-orang?”
Ketika Rasulullah mengatakan kepada penduduk Yaman, “Aku mengutus untuk kalian seorang penulis”, menurut Ibnul Atsir, maksudnya adalah seorang yang berilmu. Ibnul Atsir menjelaskan penggunaan kata penulis dalam hadits tersebut, “Karena pada umumnya, siapa yang memiliki kemampuan menulis di masa itu, maka ia dipastikan memiliki ilmu dan pengetahuan. Terlebih ketika itu, jumlah para penulis sedikit. Karenanya keberadaan mereka sangat disegani.”
Ayat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah juga berbicara tentang supremasi pengetahuan dan kaitannya dengan kepenulisan. Bahwa Allah, adalah Tuhan yang telah mengajari manusia apa-apa yang mereka tidak ketahui, dengan pena. “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan pena. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
Imam Qatadah mengatakan, “Pena adalah karunia yang sangat besar dari Allah. Tanpa itu, agama ini tidak akan tegak. Hidup tidak akan berjalan. Adalah kemurahan Allah telah mengajari hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak ketahui. Mengantarkan mereka dari gelap jahiliyah ke cahaya Islam, dan mengingatkan keutamaan ilmu kepenulisan karena manfaatnya yang besar yang tidak bisa memenuhi keseluruhan manfaat itu melainkan Allah sendiri.”
Kini, dengan apa kita menulis bukan lagi soal. Tapi apa yang kita tulis. Meminjam istilah Aljahiz, “Pena adalah salah satu dari dua lisan. Pena menghasilan pesan yang lebih membekas, sedang lisan lebih banyak menghasilkan kesalahan perkataan.”
Alat tulis kita tidak semata pensil yang kita raut atau pena yang kita isi ulang. Dengan teknologi digital dan bisa terkoneksinya sesama kita setiap waktu, alat tulis kita ada di mana-mana. Tetapi pertanyaan yang tak mudah dijawab, apakah yang kita tulis adalah supremasi pengetahuan atau bukan.
Source: Tarbawi
Menulis tidak bisa dilepaskan dari makna. Meski ada penyair dan penulis di negeri ini yang bermadzhab sebaliknya. Mereka bersikukuh bahwa ‘kata tidak harus dibebani dengan pesan makna’. Tentu ada beberapa tokoh yang dianggap rujukan dalam soal ini, mulai dari ahli semiotika di luar negeri maupun dari para penyair dan penulis sendiri. “Kata-kata bukan alat pengantar pengertian,” begitu sebagian prinsip mereka.
Meyakini kata-kata tidak harus dibebani dengan makna, artinya, kata apapun, bahkan yang sangat porno, jorok, kasar, bahkan menjijikkan, dianggap tidak masalah. Sebab, kata-kata tersebut dianggap berdiri sendiri dari makna. Maka, tidak heran para pemuja keyakinan tersebut, merasa biasa saja membuat karya-karya tulis, cerita pendek, atau novel yang isinya seputar sex, kelamin, dan hubungan lawan jenis. Dan, dengan bangga mereka menolak disebut penulis porno.
Pandangan seperti itu belum tentu bisa diterima oleh keyakinan umum orang. Selain, keyakinan seperti itu pada praktiknya sangat sulit untuk diterapkan. Rasanya kita bukan penganut aliran itu. Lebih lanjut, jika kita seorang Muslim, agama kita menjelaskan bahwa setiap kata ada pertanggungjawabannya. Itu artinya ada korelasi antara lafaz dan makna.
Jadi, kata-kata punya maksudnya. Menulis itu lebih dari upaya merangkai fakta, menulis adalah ikhtiar menemukan dan mengikat makna. Bahkan kata-kata sering punya kedalaman pesan, seperti yang tampak pada nasehat seorang bijak berikut ini:
Kata paling agung adalah lafaz Allah
Kata paling mendalam adalah jiwa
Kata paling panjang adalah keabadian
Kata paling kuat adalah kebenaran
Kata paling lapang adalah kejujuran
Kata paling lembut adalah cinta
Kata paling mulia adalah cita-cita
Kata paling cepat adalah waktu
Kata paling nyata adalah realitas
Kata paling utama adalah kesetaraan
Kata paling tipis adalah perasaan
Kata paling indah adalah kesetiaan
Kata paling kasar adalah kerasnya hati
Kata paling awet adalah kenangan
Kata paling berharga adalah ibu
Kata paling meriah adalah sukses
Kata paling dekat adalah sekarang
Kata buruk adalah kenistaan
Kata paling manis adalah taubat
Kata paling sulit adalah kesempurnaan
Kata paling sejuk adalah salam
Kata paling akhir adalah kematian
Source: Tarbawi
Menulis, kata Kurt Anderson, adalah sebuah perjuangan. ”It’s a very moment-to-moment struggle,” kata novelis ini. Betapa tidak, kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf, adalah hasil sebuah kemauan dan kesungguhan. Betapa banyak orang punya potensi, tetapi sedikit yang mencoba. Betapa banyak orang punya ide, tetapi sedikit yang rela berbagi. Banyak yang mampu, tetapi sedikit yang mau. Banyak yang berlatih, tetapi sedikit yang sungguh-sungguh.
Jadi, dimensi pertama dari ’perjuangan’ di sini adalah kemauan untuk menulis. Kemauan untuk menuangkan pikiran atau perasaan dalam sebuah tulisan. Ini tak ada hubungannya dengan siapa kita atau apa profesi kita. Pun tak terkait dengan apa yang kita punya. Setidaknya orang pernah berpikir dan berperasaan, maka itu akan menjadi bahan tulisan yang tak ada habisnya. Sayangnya, perkembangan budaya menjadikan ini semakin tidak mudah. Teknologi yang memupuk tradisi ‘kecepatan’ dan ‘kepraktisan’ telah membuat kita bahkan enggan untuk menuliskan sebuah kata secara lengkap.
Dimensi kedua, adalah kemauan untuk menulis dengan cara lebih baik. Ahmad Tohari pernah bercerita tentang perjuangan seorang lelaki tua yang ingin menulis. Penulis Novel Ronggeng Dukuh Paruk itu, suatu waktu, didatangi seorang purnawirawan yang ingin belajar menulis. Nasihat Kang AT–begitu dia biasa disapa, sederhana, “Belajarlah dengan menulis buku harian.” Nasihat yang agak aneh mungkin. Seorang kakek-kakek disuruh menulis buku diary ala anak SMA. Tapi kesungguhan mengalahkan segalanya. Pria tua itu pun patuh. Singkat cerita, selang beberapa bulan kemudian, cerpen pria itu dimuat oleh surat kabar ternama.
Dimensi perjuangan dari menulis berikutnya adalah kesadaran bahwa menulis adalah sebuah laku moral. Kesadaran bahwa menulis adalah kanal untuk berkomunikasi dengan orang lain, sehingga setiap huruf yang ditulisnya akan membawa pertanggungjawaban. Karenanya, menulis bermakna tak sekadar ekspresi tetapi juga berbagi. Tak semata narsis tapi juga katarsis. Inilah jalan perjuangan para guru dan pemikir yang telah membagi sekaligus mengabadikan ilmu dan ide-idenya dalam tulisan. Mereka lah para pejuang pena.
Source: Tarbawi
Ilmu itu buruan, dan tulisan adalah talinya
Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Adalah kedunguan engkau memburu kijang
Lalu engkau biarkan ia lepas di antara hamparan
(Imam Syafi’i)
Maka ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Adalah kedunguan engkau memburu kijang
Lalu engkau biarkan ia lepas di antara hamparan
(Imam Syafi’i)
Ada berbagai-bagai tempat untuk kita memburu ilmu. Di lembar-lembar literatur ada ilmu. Di hamparan kehidupan nyata ada ilmu. Di pengalaman pahit atau manis ada ilmu. Di tengah berbagai informasi melimpah ada ilmu. Memburu ilmu seperti dimaksud Imam Syafi’i menegaskan sebuah proses dari memilih, memilah, lalu mengambil mana yang benar-benar berguna dan bermanfaat bagi bertumbuhnya pengetahuan kita. Berburu selalu punya kata kunci: ketepatan.
Pada masa Imam Syafi’i, di mana tradisi menghapal masih sangat kuat, ia telah menjelaskan pentingnya mentransformasikan pengetahuan ke dalam tulisan. Maka tulisan, di masa itu, barangkali tidak menjadi pengingat lupa, tapi tulisan merupakan sarana sangat berharga bagi terjadinya proses pewarisan ilmu-ilmu luhur yang sangat fundamental. Di mana seorang guru, menulis sendiri maupun disalin perkataannya oleh para muridnya, telah membuat kita bisa menikmati begitu banyak karya-karya rujukan dari para ulama-ulama besar di masa lalu. Maka Imam Syafi’i tercatat sebagai penulis pertama buku paling penting dalam bidang usul fiqih, Arrisalah.
Maka, mencintai ilmu dan pengetahuan, perlu dilengkapi dengan mencintai menulis. Apalagi bila kita bukan generasi yang hidup dengan tradisi menghafal. Di era dunia digital, di mana teknologi begitu memudahkan kita untuk saling terhubung, kita mungkin tidak kekurangan alat untuk mengikat ilmu dengan tulisan. Ada begitu banyak ‘tali’; seperti keyboard atau keypad yang menyertai kemana saja kita pergi. Kita hanya perlu memastikan, bahwa yang kita tulis adalah sesuatu yang bermanfaat.
Source: Tarbawi
Menjelang akhir Januari 2015 yang lalu beredar rangkaian foto menghebohkan yang menggambarkan seorang siswa SMP sedang ‘menembak’ kekasihnya yang masih berstatus sebagai siswi SD dan dilakukan di lingkungan sekolah yang ditonton teman-temannya. Sontak dunia sosial media menjadi ramai. Bahkan akhirnya hal ini diangkat sebagai berita di sebuah situs internet karena tema tersebut sedang menjadi trending topic di kalangan netizen. Dalam berita tersebut dipastikan mereka memang pacaran, bukan kakak beradik seperti yang dikira-kira sebagian orang yang masih mencoba tidak percaya.
Kali pertama membacanya, saya langsung beristighfar berkali-kali. Sedemikian jauhnya kah anak-anak sekarang memaknai tentang arti cinta tersebut? Jika di zaman saya masih bersekolah di SMK, gambaran ‘menembak’ calon pacar di depan umum sepertinya hanya ada di acara reality show televisi semacam “Katakan Cinta” yang notabene pelakunya adalah para siswa SMA atau mahasiswa, sekarang bahkan anak-anak yang seharusnya masih berkutat dengan seabrek tugas belajar dan ekstrakurikuler sudah berani merancang reality show-nya sendiri dan akhirnya ditonton oleh umum.
Dalam kasus itu tentu kita berpikir, bagaimana mungkin mereka dengan bebas melakukan aksi tersebut di sekolah? Salahkah sekolahnya? Mungkin iya. Karena walaupun itu dilakukan di jam istirahat, tak seharusnya siswa yang bukan penghuni sekolah tersebut bisa masuk seenaknya. Apalagi bukan untuk kepentingan keluarga. Yang paling menjadi pertanyaan besar seharusnya adalah bagaimana peran orang tua mereka selama ini. Ibu Fifi Proklawati Jubilea, pendiri dan pimpinan Jakarta Islamic School (JISc), berkata bahwa lingkungan yang terdekat dengan anak adalah keluarga, kemudian yang kedua adalah sekolah. Jika sekolah bagus dan keluarganya bagus maka akan tercipta lingkungan yang mantap. Jika keluarga biasa/tidak bagus dan sekolahnya bagus, maka menjadi ½ mantap. Jika keluarga bagus dan sekolah tidak bagus, maka jadinya ¾ mantap. Artinya dengan keluarga yang bagus, anak lebih besar potensi selamatnya walaupun mungkin lingkungan sekolahnya tidak bagus.
Saya mempunyai seorang putri yang bulan Maret 2015 nanti genap berusia delapan tahun. Setiap membaca atau mendengar berita tentang perilaku anak-anak yang nyeleneh, apalagi yang berpacaran dini seperti kasus di atas, kadang ada rasa was-was juga. Tapi alhamdulillah putri saya, Afra, sejauh ini sudah mengenal batasan-batasan hubungan dengan lawan jenis. Saya dan suami bahkan mulai mengajaknya berbincang tentang ini sejak ia berusia empat tahun. Ya, sekarang pada umumnya usia aqil baligh anak datang lebih awal daripada masa lalu kita yang sekarang menjadi orang tua. Maka kami pun mengambil ancang-ancang lebih awal untuk medampinginya menghadapi masa itu.
- Cinta Kepada Allah Itu Nomor Satu
Kata cinta yang hari ini mengalami penyempitan makna yang hanya seputar hubungan laki-laki dan perempuan perlu kita luruskan. Karena itulah yang pertama harus kita kenalkan kepada anak adalah cinta kepada Yang Maha Tinggi, Allah SWT. Saya dan suami dulu memulainya dengan banyak mengajak anak saya jalan-jalan, tidak harus ke tempat yang jauh. Jalan-jalan pagi sekeluarga menjelajah kampung-kampung sebelah yang kebetulan masih asri dan menawan. Kami mengajaknya mengamati matahari yang terbit dari timur, burung-burung yang berkicau, kerbau yang mulai berkubang di lumpur, rerumputan yang menghijau, bunga-bunga yang berbau harum dan kesegaran udara yang bisa dihirup di pagi hari. Kami mulai menanamkan prinsip ‘Allah Yang Paling Hebat’ sebagai kesimpulan dari rasa kagum terhadap kehebatan Allah SWT dalam menciptakan itu semua. Maka dengan prinsip itu, anak akan lebih mudah diarahkan untuk patuh kepada aturan-aturan Allah SWT yang mulai kami kenalkan. Misalnya: “Mbak Afra kan cinta sama Allah, ngaji yuuk…” atau “Anak shalihah, pingin dicintai Allah kan? Shalat bareng yuk…” dan yang senada dengan ini, “Malu lah sama Allah. Masak gitu hayooo…”
Diselingi juga dengan mengajarinya gubahan lagu “Satu-Satu Aku Sayang Ibu” menjadi “Satu-Satu Aku Cinta Allah” yang mudah diingat anak sebagai gambaran tingkatan cinta yang sebenarnya.
Satu-satu aku cinta Allah
Dua-dua cinta Rasulullah
Tiga-tiga cinta abi ummi
Satu dua tiga, jalan masuk surga
- Orang tua Sebagai Role Model
Dimulai dengan mengajaknya membuka-buka album pernikahan kami dan kami bercerita bahwa saya dan abinya dulu tidak berpacaran, tetapi ta’aruf lalu sebulan kemudian menikah. Entahlah, pada saat ia berusia empat tahun itu yang jelas ia sudah mengenal kosa kata pacaran dari lingkungan sekitar. Kebetulan ada saudara yang kerap membawa pacarnya ke rumah. Mungkin juga dari obrolan teman-teman bermainnya yang lebih besar. Karena memang ia juga bermain dan berbaur dengan anak-anak di kampung saya. Maka segera saja saya mengenalkan konsep ‘pacaran setelah menikah’ dan ‘pacaran itu dosa’ dengan bahasa yang bisa dimengertinya. Saat ia memasuki bangku TK, beberapa temannya saling menjodoh-jodohkan satu sama lain. Wow, anak TK gitu lho! Tapi saat giliran anak saya yang dijodoh-jodohkan, dengan tegasnya ia berkata, “Aku sama dia lho temenan aja! Apa itu pacaran? Kata ummiku dosa, tau!” Begitulah yang ia ceritakan sepulang dari sekolah dan membuat saya tersenyum.
Maka jika kita sebagai orang tua mempunyai kisah tentang ta’aruf dan menikah tanpa pacaran, kita sudah menjadi role model yang pertama dianutnya. Ada keteladanan yang bisa diikutinya kelak dan ada prinsip sejak dini yang bisa ia pegang. Menurut sebagian ahli tafsir, Nabi Yusuf As. yang dimampukan Allah SWT untuk menolak ajakan zina istri Al ‘Aziz adalah karena beliau terbayang wajah ayahandanya, Nabi Ya’qub As. Betapa keteladanan itu bisa sangat membekas pada diri anak saat ia dewasa. Berbahagialah orang tua yang anaknya jadi teringat dengan kebesaran Allah SWT saat mengingat orang tuanya.
Tentu saja bagi para orang tua yang dahulu sempat melewati masa berpacaran dan tidak ingin anaknya seperti itu, juga belum terlambat untuk memulai. Ada kisah pernikahan Rasulullah Muhammad dan ibunda Khadijah yang bisa diceritakan kepada anak. Bahwa Rasulullah menghabiskan masa muda untuk berprestasi dalam perdagangan dan muamalah lalu menikah di saat yang tepat dan mendapatkan jodoh yang tepat tanpa pacaran. Manfaatkan waktu emas untuk berkisah yaitu sebelum tidur karena di waktu ini suasana pada umumnya nyaman dan rileks. Serta lakukan secara teratur karena dengan pengulangan-pengulangan, si anak akan semakin mudah memahami pola yang ingin kita sampaikan melalui daya ingat cemerlang di masa golden age-nya.
Saya sendiri berusaha mengajaknya berdialog dari hati ke hati tentang sosok laki-laki yang baik yang boleh diidolakan. Rasulullah SAW tentu saja menjadi yang pertama. Selanjutnya adalah sosok abinya. Sejauh ini memang ia sangat dekat dengan abinya walau pun abinya bertugas di luar kota. Hari Sabtu dan Ahad saat abinya pulang menjadi primetime bagi mereka. Sering saya membiarkan mereka bercengkrama berdua. Pengalaman saya membuktikan jika seorang anak perempuan sudah nyaman dengan sosok Hero seorang ayah, niscaya ia tak akan mudah mencari sosok Hero lain di luar sana kelak. Dan jika sudah waktunya, lelaki pilihan sebagai suami tak jauh dari sosok baik sang ayah. Itu yang terjadi antara saya dan ayah saya dulu.
- Akhlak Yang Baik Adalah Prestasi
Krisis yang menimpa anak-anak di atas dan juga generasi muda saat ini adalah krisis akhlak. Sekali lagi, orang tua berperan penting dalam pemberian contoh dan pengarahan ke arah akhlak yang baik. Kaitannya dengan persiapan aqil baligh anak, akhlak pertama yang harus dimiliki anak adalah menghargai tubuhnya sendiri. Kami dulu mengajari anak untuk bersyukur terhadap tubuh sempurna yang dikaruniakan Allah SWT padanya. Dengan mengajaknya merasakan nikmatnya bisa berjalan, berlari, memegang, berbicara, mendengar dan melihat. Kami tanamkan prinsip ‘Tubuhku ini berharga’ sehingga tak boleh ada orang lain yang sembarangan memegang tubuhnya pada bagian-bagian yang kami jelaskan sebagai kehormatan bagi wanita dan anak perempuan. Kebetulan ada animasi tentang itu yang membuatnya lebih paham akan pesan yang kami sampaikan.
Maka sejak pra-TK ia mulai merasa malu jika mandi dengan pintu terbuka dan kami membelikannya piyama anak berbahan kain handuk agar saat keluar kamar mandi tubuhnya tertutupi. Juga saat berganti pakaian, ia akan menutup pintu kamarnya. Pernah ada beberapa temannya yang bermain-main di sekitar rumah dan hendak menyusulnya, disuruhnya menunggu di luar saja karena ia sedang berganti pakaian. Saat bermain di luar, pasti ia berpakaian lengkap. Jika memakai rok, ia akan meminta memakai celana sepanjang lutut sebagai dalamannya. Sungguh menyedihkan karena saya pernah menemui beberapa anak perempuan yang dibiarkan orang tuanya bermain-main dengan celana pendek dan kaus singlet saja. Begitu pun saat mengikuti saya ke luar rumah, ia akan meniru saya memakai jilbab. Dilanjutkan dengan pengenalan terhadap haid sejak ia duduk di kelas satu. Tentunya dengan penyampaian yang mudah dipahaminya.
Tontonan dan bacaan membawa pengaruh besar dalam perkembangan akhlak anak. Maka akhlak kedua yang harus dimiliki anak adalah menyukai tontonan dan bacaan yang sehat. Keluarga kami termasuk yang memiliki televisi di rumah tapi tentu saja jam menonton untuknya kami batasi satu jam saja. Pun sinetron cinta-cintaan tidak jelas atau tayangan kekerasan bukanlah menu di televisi kami. Sebenarnya ia lebih kami arahkan untuk menonton VCD kartun anak bertema Islam seperti Syamil dan Dodo di laptop dengan durasi satu jam juga. Kebetulan anak kami adalah anak bertipe visual, mudah menangkap pesan yang disampaikan lewat tayangan video atau gambar bergerak. Ia tidak bosan memutarnya berulang-ulang sampai hafal dialog tokoh-tokohnya. Suatu saat ia berkata, “Mi, aneh ya orang-orang yang takut hantu. Lha kan ruh orang mati itu ada dalam genggaman Allah. Mana bisa jalan-jalan?” Ternyata ia mendapatkan informasi itu dari film kartun Islam yang ditontonnya.
Semakin dewasa ia, warna yang ia dapat dari teman-temannya juga mulai beragam. Beberapa temannya ada yang jadi penggemar girls band, dangdut sampai sinetron semacam Ganteng-Ganteng Serigala. Mereka tentu saja terpapar itu dari orang tuanya yang menyetel televisi tanpa batasan waktu atau tanpa kontrol. Tapi jika teman-temannya itu bermain di rumah, mereka segan untuk sekedar bernyanyi lagu-lagu picisan atau meminta diputarkan program televisi yang biasa mereka tonton di rumah. Rupanya anak kami mewanti-wanti peraturan yang kami berlakukan padanya kepada teman-temannya itu. Sewaktu ia masih duduk di bangku TK, ada sedikit kisah tentang lagu-lagu picisan yang dihafal teman-temannya dan waktu itu dinyanyikan mereka keras-keras di depan rumah. Anak saya langsung menegur, “Ngapain nyanyi lagunya orang dewasa? Nanti kamu tambah tua lho!” Tapi sebagian dari temannya tetap cuek bernyanyi sehingga membuatnya kesal dan masuk ke dalam rumah. Ia menangis dan mengadu kepada saya. Saya jelaskan bahwa ia sudah benar dan tidak apa-apa jika temannya tidak mau berhenti karena mungkin orang tua mereka belum memberi tahu tentang itu. Ia pun mulai tenang menghadapi kenyataan hasil ‘dakwahnya’.
Sebagai anak yang serba ingin tahu tentang film kartun, beberapa waktu yang lalu ia juga tergoda untuk menonton film kartun seperti Rapunzel atau Frozen. Ia kami perbolehkan menonton dengan kami dampingi. Jauh-jauh hari kami sudah mengisahkan tentang nabi Musa dan para penyihir Fir’aun. Jadi ia sudah punya gambaran bahwa sihir itu bathil. Penasarannya terobati, tapi ia juga bisa menangkap pesan-pesan positif yang kami sampaikan dari film itu. Pada umumnya anak perempuan memang menyukai hal-hal berbau princess, begitu juga anak kami. Maka jauh-jauh hari juga kami membelikannya bacaan tentang kisah putri-putri Islam yang tertutup auratnya dan santun akhlaknya seperti Putri Jihan, kumpulan putri dari kesultanan Islam, kisah para putri yang diambil namanya dari Asmaul Husna, juga kisah tentang ‘Aisyah ra. yang banyak tersebar di buku cerita yang kami belikan sebagai gambaran putri yang cerdas dan shalihah. Ia sudah punya gambaran ideal para putri dan semoga prinsip itu terus dipegangnya. Saya ingat sebuah pelajaran mendidik anak yang disampaikan oleh Pak Adriano Rusfi, Psi bahwa orang tua harus meng-imunisasi anaknya terhadap gangguan dari luar dan bukan men-sterilisasinya.
Penerapan akhlak baik yang menjadi benteng baginya kami anggap sebagai prestasi. Kami tidak terlalu risau dengan prestasi akademiknya yang memang sejauh ini tergolong baik. Kami berusaha menghargai dan memuji praktik akhlak baik yang dijalankannya dan mengarahkannya atau memberi punishment yang mendidik jika ia belum memahami atau melanggar. Sungguh PR ini masih banyak dan panjang sebagaimana tantangannya ke depan juga mungkin lebih berat daripada yang kami hadapi. Kami pun terus belajar menjadi orang tua yang memberi keteladanan terlebih dahulu. Ya Allah, bimbinglah kami.
“Sesiapa punya anak wanita, dididik baik-baik, diajarkan akhlaq terpuji, dinikahkan dengan lelaki shalih; baginya dua pahala.” (HR. Muslim)
“Wahai anakku, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kata ini sebagai nasihat buatmu. Jagalah hak-hak Allah, niscaya Allah pasti akan menjagamu. Jagalah dirimu dari berbuat dosa terhadap Allah, niscaya Allah akan berada di hadapanmu. Apabila engkau menginginkan sesuatu, mintalah kepada Allah. Dan apabila engkau menginginkan pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa apabila seluruh umat manusia berkumpul untuk memberi manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu melakukannya kecuali apa yang telah dituliskan oleh Allah di dalam takdirmu. Juga sebaliknya, apabila mereka berkumpul untuk mencelakai dirimu, niscaya mereka tidak akan mampu mencelakaimu sedikitpun kecuali atas kehendak Allah. Pena telah diangkat dan lembaran takdir telah kering.” (HR. Tirmidzi)
~~~
Malang, 05 Februari 2015/15 Rabiul Akhir 1436 H
Sepenuh cinta untuk putriku, Hamasah Afra Qonita Syazwina
Tatiek Ummu Hamasah Afra
*tulisan lama yang belum sempat teraplod ^_^v
Pexels.com |
Mungkin Anda pernah mendapatkan broadcast message dalam bahasa Jawa tentang seorang pemuda yang disuruh ibunya pergi shalat Jumat. Saya lupa siapa nama si tokoh. Sebut saja namanya Jupri. Padahal baru saja si Jupri pamitan ke ibunya, eeh… dia balik lagi ke rumah.
“Lha shalat Jumat-nya baru mau dimulai kok kamu malah pulang, Jup?” tanya sang bunda.
“Aku takut, Mak. Lha Khatibnya barusan bilang begini: ‘Saudara-saudara, yang bawa hape dimatiin saja!’ Daripada aku dibunuh, ya mending pulang saja. Soalnya aku bawa hape dan tak taruh di celana nih, Mak.” Jawab si Jupri.
Kisah fiktif ini lumayan membuat senyum dikulum. Karena ada seseorang yang dengan polosnya menerjemahkan secara mentah perkataan orang lain. Padahal yang dimaksud sang Khatib tentu saja adalah mematikan hape, bukan matiin atau membunuh orangnya :D
Jika yang di atas adalah rekaan belaka, maka saya pernah mengalami kisah nyatanya. Suatu siang, saya diantar oleh suami untuk janjian dengan seorang teman. Ternyata beliau belum pulang dari aktivitasnya. Kami memutuskan untuk berkeliling sebentar sambil menunggu beliau kembali ke rumah. Tak lama kemudian azan Dhuhur berkumandang. Kebetulan ada masjid yang tidak jauh letaknya dari tempat kami berkeliling, berada di sekitar Pasar Besar Malang.
Ini pertama kalinya saya mampir ke situ. Jamaah wanitanya tidak terlalu banyak dan rata-rata sudah paruh baya, sepertinya penduduk sekitar. Di belakang masjid memang ada perkampungan penduduk. Tidak ada yang aneh sampai saya selesai mengucapkan salam dan berzikir. Saya mundur dari shaf dan melihat keluar, ke arah parkiran. Suami saya belum berada di sana rupanya. Saya putuskan untuk berada di dalam dulu sambil menunggu sms dari teman saya. Saya mengeluarkan tab dari tas dan mengecek inbox, masih belum ada. Saya teruskan membuka aplikasi Alquran karena saya tidak membawa mushaf saat itu.
Saya baru membaca sebagian dan merasa ada seseorang lewat di depan saya sambil berbicara dengan nada mengomel. Saya belum ngeh, sampai kemudian saya mendongak dan mendapati seorang wanita paruh baya –mungkin seusia ibu saya- sedang memandang tajam ke arah saya sambil menunjuk tulisan di dinding masjid: MATIKAN HP SAAT MASUK MASJID.
“Wong masuk masjid kok menghidupkan hape… bla…bla…bla…” Beliau masih melanjutkan kicauannya ternyata. Saya menelan ludah, memasukkan tab ke tas dan melihat beliau berlalu ke arah pintu keluar. Wow, saya melakukan kesalatan fatal rupanya.
Ya sudahlah, saya memutuskan segera keluar saja dari situ. Daaan… di depan pintu keluar, ternyata si ibu masih di situ. Masih dengan wajah tak ramahnya dan mengomel dengan nada yang tidak enak didengar. Saya mencoba mendekat dan menjelaskan maksud saya mengeluarkan tab tadi. Berharap juga bisa membuka obrolan tentang maksud peraturan yang tertulis di dinding masjid itu. Eeh, beliaunya memotong perkataan saya dan terkesan tidak mau tahu sambil menghindar. What an unforgettable moment, hiks :(
Saya termasuk orang yang suka mampir ke masjid jika bepergian dan baru kali ini mendapati peraturan kaku ditambah sikap tidak bersahabat dari salah seorang jamaah –jamaah senior kali, hihi- Karena yang saya tahu, maksud dari peraturan yang tertulis di dinding itu tentu saja mematikan hape saat shalat sedang berlangsung agar tidak mengganggu jalannya ibadah jika tiba-tiba ada ringtone berbunyi. Saat masih menjadi pengurus sebuah Remaja Masjid dulu, malah ada pilihan selain itu: … Atau Ubah Ke Nada Getar.
Saya menduga si ibu memang ‘terlalu disiplin’ dan memahami peraturan yang tertulis secara tekstual, sama seperti si Jupri. Begitu haramnya perbuatan seseorang yang menghidupkan hapenya di masjid bagi beliau dan tak termaafkan pula tindakan seperti itu. Atau peraturannya memang seperti itu? Sayangnya saya tidak sempat bertanya kepada takmirnya. Selain terburu-buru pergi, juga ada sedikit rasa shock karena barusan dimarahin orang, hihi…
Saat menceritakan hal itu kepada suami, maka ada hikmah yang kami temukan bersama. Ya, pelajarilah adab sebelum berilmu. Terus terang, sikap si ibu itu berbahaya jika diterapkan kepada jamaah yang kebetulan mampir ke situ dan mempunyai pemahaman seperti saya. Mereka bisa kapok datang ke masjid itu lagi. Jika ada ‘jamaah baru’ yang dianggap melanggar peraturan, seharusnya diingatkan dengan nada baik-baik. Bukankah seorang muslim harus menunjukkan kemuliaan Islam yang sesungguhnya?
Dan tentang hape, baiklah. Memang lebih baik membawa mushaf saat bepergian sehingga saat ingin tilawah di masjid, kita bercerai sejenak dengan si hape. Tentang larangan mematikan hape saat di masjid, pemahaman saya masih sama; itu berlaku saat shalat berlangsung. Selesai shalat, kita boleh membukanya tapi tetap memastikan bahwa saudara-saudara kita yang mungkin sedang menjadi makmum masbuk tidak terganggu dengan tat-tit-tut suara hape kita.
Begitupun saat mengikuti kajian di dalam masjid, kadang kita memang memerlukan hape untuk mengambil gambar pemateri atau merekam isi taujihnya. Lebih baik kita memang fokus mendengarkan dan mencatat daripada sibuk whatsapp-an atau bbm-an, lha kan niatnya ngaji! Itulah yang saya alami saat mengikuti sebuah kajian di sebuah masjid di jalan Kahuripan, Malang. Masjid yang lebih ‘bersahabat’ karena saya tidak menemui adanya larangan itu, baik pada saat kajian berlangsung, pada saat kajian selesai dan dilanjutkan dengan shalat Dhuhur.
Note: Untuk ibu itu yang saya tidak tahu siapa namanya; Terima kasih atas pelajarannya ^_^
Tatiek Ummu Hamasah Afra
RUBRIK TAFSIR ODOJERS
Edisi Jum'at, 26 Desember 2014
Tafsir Surat Al Baqarah: 8-10
➰Sifat orang munafik (1)➰
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ [8] يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ [9] فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ [10]
📝Arti ayat📝
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.[8] Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.[9] Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.[10]
📝Tafsir Ayat📝
Kita memasuki pembahasan mengenai sifat-sifat orang munafik. Sifat orang munafik jauh berbeda dengan sifat orang beriman yang berbudi luhur dan tidak bisa juga disamakan dengan sifat orang kafir yang memusuhi Islam secara jelas.
Namun dapat kita ketahui, sifat orang munafik lebih buruk dari sifat-sifat yang ada. Sungguh orang seperti ini tidak kita temukan sedikit pun di hatinya keberanian untuk menerima kebenaran.
Mereka mengatakan iman kepada Allah dan hari akhir, namun sejatinya mereka tidak dalam keimanan sedikitpun.
Orang munafik selalu berbeda antara perkataan dengan apa yang diperbuat.
Karena itu, Allah Swt memperingatkan kita terhadap orang-orang munafik, agar tidak tertipu oleh sikap dan perbuatan mereka.
✨Ayat 8 ✨
Allah SWT berfirman,
( ومن الناس من يقول آمنا بالله وباليوم الآخر وما هم بمؤمنين )
"Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,' pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman."
Maksudnya, mereka menyatakan keimanan sebatas pada lisan saja, namun di balik perkataan mereka tak ada satupun iman di hati mereka.
Allah juga berfirman,
( إذا جاءك المنافقون قالوا نشهد إنك لرسول الله) [Munafiqun: 1 ]
"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata 'kami mengakui bahwasanya kamu benar-benar Rasul Allah'."
Sesungguhnya mereka berkata demikian jika datang dihadapanmu saja, tapi tidak demikian jika di belakangmu.
Maka terhadap orang-orang seperti ini, Allah langsung yang menyebut mereka sebagai seorang pendusta bahkan bukan bagian orang-orang beriman.
(والله يشهد إن المنافقين لكاذبون ) [Munafiqun: 1 ]
"Allah mengetahui bahwasanya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta"
(وما هم بمؤمنين )
"Sesungguhnya mereka bukan orang-orang beriman"
✨Ayat 9✨
Allah berfirman : ( يخادعون الله والذين آمنوا ) "Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman" yaitu dengan menampakkan keimanan kepada Allah dan menyembunyikan kekufuran. Mereka membohongi Allah SWT sebagaimana mereka membohongi orang beriman.
Atas perbuatan mereka tersebut, Allah Swt membalikkan keyakinan mereka: ( وما يخدعون إلا أنفسهم وما يشعرون ) "dan tidaklah mereka menipu melainkan menipu diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak sadar"
karena bencana tipu daya itu akan kembali menimpa diri mereka sendiri. Di dunia, rahasia mereka akan Allah SWT bukakan kepada Nabi-Nya, sedangkan di akhirat mereka akan menerima hukuman setimpal.
Berkata Sa'id dari Qotadah, sifat orang munafik itu ada pada banyak hal : memiliki akhlak tercela, tidak sesuai perkataan dengan perbuatan, pagi begini dan sore begitu, selalu berubah-rubah layak nya kapal yang diterpa angin yang setiap kali ia tertiup, pun ikut bergoyang.
✨Ayat 10✨
Allah SWT berfirman, ( في قلوبهم مرض فزادهم الله مرضا ) "Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya"
Penyakit apakah yang dimaksud?
As-Suddi menceritakan dari Ibnu Mas'ud dari Annas, ia mengatakan: '(penyakit) yaitu berupa keraguan lalu Allah tambah dengan keraguan lagi."
Sedangkan menurut Ikrimah penyakit tersebut berupa riya.
Berkata Abdurrahman bin Zaid bin Aslam : (di dalam hati mereka ada penyakit) ini penyakit agama dan bukan penyakit yang terdapat pada jasad atau tubuh, penyakit ini menimpa orang munafiq dengan keraguan dihati mereka ketika masuk ke dalam Islam.
Maka ketika mereka ragu dengan Islam maka Allah tambah keraguan mereka.
(فأما الذين آمنوا فزادتهم إيمانا وهم يستبشرون وأما الذين في قلوبهم مرض فزادتهم رجسا إلى رجسهم ) [At-Taubah: 124 ، 125 ]
"Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira ● Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah tambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir."
(وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ)
"Bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta"
Wallaahu'alaam bishshawwab
Sumber:
📖Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim (Ibn Katsir)
📖Tafsir Fii Zhilal Al Qur'an (Sayyid Quthb)
Diterjemahkan Oleh:
Muhammad Hamzah
RTO/03/26/12/2014/tsaqafahislamiyahodoj
Edisi Jum'at, 26 Desember 2014
Tafsir Surat Al Baqarah: 8-10
➰Sifat orang munafik (1)➰
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آمَنَّا بِاللَّهِ وَبِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ [8] يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ [9] فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ [10]
📝Arti ayat📝
Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian," padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman.[8] Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.[9] Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.[10]
📝Tafsir Ayat📝
Kita memasuki pembahasan mengenai sifat-sifat orang munafik. Sifat orang munafik jauh berbeda dengan sifat orang beriman yang berbudi luhur dan tidak bisa juga disamakan dengan sifat orang kafir yang memusuhi Islam secara jelas.
Namun dapat kita ketahui, sifat orang munafik lebih buruk dari sifat-sifat yang ada. Sungguh orang seperti ini tidak kita temukan sedikit pun di hatinya keberanian untuk menerima kebenaran.
Mereka mengatakan iman kepada Allah dan hari akhir, namun sejatinya mereka tidak dalam keimanan sedikitpun.
Orang munafik selalu berbeda antara perkataan dengan apa yang diperbuat.
Karena itu, Allah Swt memperingatkan kita terhadap orang-orang munafik, agar tidak tertipu oleh sikap dan perbuatan mereka.
✨Ayat 8 ✨
Allah SWT berfirman,
( ومن الناس من يقول آمنا بالله وباليوم الآخر وما هم بمؤمنين )
"Di antara manusia ada yang mengatakan: 'Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian,' pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman."
Maksudnya, mereka menyatakan keimanan sebatas pada lisan saja, namun di balik perkataan mereka tak ada satupun iman di hati mereka.
Allah juga berfirman,
( إذا جاءك المنافقون قالوا نشهد إنك لرسول الله) [Munafiqun: 1 ]
"Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata 'kami mengakui bahwasanya kamu benar-benar Rasul Allah'."
Sesungguhnya mereka berkata demikian jika datang dihadapanmu saja, tapi tidak demikian jika di belakangmu.
Maka terhadap orang-orang seperti ini, Allah langsung yang menyebut mereka sebagai seorang pendusta bahkan bukan bagian orang-orang beriman.
(والله يشهد إن المنافقين لكاذبون ) [Munafiqun: 1 ]
"Allah mengetahui bahwasanya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta"
(وما هم بمؤمنين )
"Sesungguhnya mereka bukan orang-orang beriman"
✨Ayat 9✨
Allah berfirman : ( يخادعون الله والذين آمنوا ) "Mereka menipu Allah dan orang-orang beriman" yaitu dengan menampakkan keimanan kepada Allah dan menyembunyikan kekufuran. Mereka membohongi Allah SWT sebagaimana mereka membohongi orang beriman.
Atas perbuatan mereka tersebut, Allah Swt membalikkan keyakinan mereka: ( وما يخدعون إلا أنفسهم وما يشعرون ) "dan tidaklah mereka menipu melainkan menipu diri mereka sendiri, sedangkan mereka tidak sadar"
karena bencana tipu daya itu akan kembali menimpa diri mereka sendiri. Di dunia, rahasia mereka akan Allah SWT bukakan kepada Nabi-Nya, sedangkan di akhirat mereka akan menerima hukuman setimpal.
Berkata Sa'id dari Qotadah, sifat orang munafik itu ada pada banyak hal : memiliki akhlak tercela, tidak sesuai perkataan dengan perbuatan, pagi begini dan sore begitu, selalu berubah-rubah layak nya kapal yang diterpa angin yang setiap kali ia tertiup, pun ikut bergoyang.
✨Ayat 10✨
Allah SWT berfirman, ( في قلوبهم مرض فزادهم الله مرضا ) "Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya"
Penyakit apakah yang dimaksud?
As-Suddi menceritakan dari Ibnu Mas'ud dari Annas, ia mengatakan: '(penyakit) yaitu berupa keraguan lalu Allah tambah dengan keraguan lagi."
Sedangkan menurut Ikrimah penyakit tersebut berupa riya.
Berkata Abdurrahman bin Zaid bin Aslam : (di dalam hati mereka ada penyakit) ini penyakit agama dan bukan penyakit yang terdapat pada jasad atau tubuh, penyakit ini menimpa orang munafiq dengan keraguan dihati mereka ketika masuk ke dalam Islam.
Maka ketika mereka ragu dengan Islam maka Allah tambah keraguan mereka.
(فأما الذين آمنوا فزادتهم إيمانا وهم يستبشرون وأما الذين في قلوبهم مرض فزادتهم رجسا إلى رجسهم ) [At-Taubah: 124 ، 125 ]
"Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira ● Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka Allah tambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir."
(وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ)
"Bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta"
Wallaahu'alaam bishshawwab
Sumber:
📖Tafsir Al-Qur'an Al-'Azhim (Ibn Katsir)
📖Tafsir Fii Zhilal Al Qur'an (Sayyid Quthb)
Diterjemahkan Oleh:
Muhammad Hamzah
RTO/03/26/12/2014/tsaqafahislamiyahodoj
RUBRIK TAFSIR ODOJERS
Edisi Jumat, 19 Desember 2014
🌻Tafsir Surat Al Baqarah 6-7
[Tiga Model]
Lima ayat pertama dalam mukadimah surah Al Baqarah merupakan gambaran sifat orang yang bertakwa, dua ayat berikutnya berbicara mengenai sifat-sifat orang kafir, dan tiga belas ayat selanjutnya berbicara mengenai sifat-sifat orang munafik.
Pada edisi yang lalu, telah kita bahas mengenai super model manusia utama [Golongan Manusia Yang Memperoleh Kemenangan]. Pada edisi kali ini akan kita bahas mengenai model manusia yang kedua.
Qauluhu ta'ala:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang kafir (yang tidak akan beriman), sama saja bagi mereka: Engkau (Muhammad) beri peringatan kepadanya atau engkau tidak beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
(Dengan sebab keingkaran mereka), Allah telah mengunci hati mereka serta pendengaran mereka, dan juga penglihatan mereka; dan bagi mereka pula disediakan azab siksa yang amat besar.
Setelah Allah menceritakan tentang golongan yang muttaqin, Allah datangkan pula tentang golongan yang kafir. Agar kita dapat membedakan antara kedua sifat ini dengan jelas.
Dan ini juga membuktikan tentang mukjizat al Quran yang membedakan antara ahli saadah (bahagia) dan ahli syaqawwah (derita), membedakan antara kemenangan dan kekalahan.
Dua ayat di atas jelas menceritakan ciri-ciri orang kafir, yakni:
-Tidak mengindahkan peringatan
-Tidak beriman kepada Allah walaupun setelah diberi peringatan
Peringatan apa?
✎ Tentang keberadaan dan keesaan Allah Swt.
✎ Dan perkara-perkara ghaib: surga dan neraka.
Mereka ini sangat berbeda dengan sifat yang ada pada golongan muttaqin yang beruntung.
Golongan ini juga:
-Allah menutup hati mereka, pendengaran dan penglihatan mereka.
-Dan bagi mereka disediakan azab yang amat besar.
Mendapat azab yang pedih, inilah pengakhiran golongan ini.
Semoga kita semua tidak termasuk dalam golongan ini dan berusaha mengajak keluarga dan sahabat agar istiqamah dalam beriman kepada Allah azza wa jalla.
Wallahu'alam bishshawwab
Sumber:
1. Tafsir fi zilal Quran : Said Quthb
2. Sofwatut tafasir : Muhammad Ali AsSobuni
Penerjemah:
Ezzah Syahira (dept. Training psdm odoj)
RTO/ 01/19/12/2014/dept.trainingpsdmodoj
Edisi Jumat, 19 Desember 2014
🌻Tafsir Surat Al Baqarah 6-7
[Tiga Model]
Lima ayat pertama dalam mukadimah surah Al Baqarah merupakan gambaran sifat orang yang bertakwa, dua ayat berikutnya berbicara mengenai sifat-sifat orang kafir, dan tiga belas ayat selanjutnya berbicara mengenai sifat-sifat orang munafik.
Pada edisi yang lalu, telah kita bahas mengenai super model manusia utama [Golongan Manusia Yang Memperoleh Kemenangan]. Pada edisi kali ini akan kita bahas mengenai model manusia yang kedua.
Qauluhu ta'ala:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَنْذَرْتَهُمْ أَمْ لَمْ تُنْذِرْهُمْ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya orang-orang kafir (yang tidak akan beriman), sama saja bagi mereka: Engkau (Muhammad) beri peringatan kepadanya atau engkau tidak beri peringatan, mereka tidak akan beriman.
خَتَمَ اللَّهُ عَلَىٰ قُلُوبِهِمْ وَعَلَىٰ سَمْعِهِمْ ۖ وَعَلَىٰ أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ ۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
(Dengan sebab keingkaran mereka), Allah telah mengunci hati mereka serta pendengaran mereka, dan juga penglihatan mereka; dan bagi mereka pula disediakan azab siksa yang amat besar.
Setelah Allah menceritakan tentang golongan yang muttaqin, Allah datangkan pula tentang golongan yang kafir. Agar kita dapat membedakan antara kedua sifat ini dengan jelas.
Dan ini juga membuktikan tentang mukjizat al Quran yang membedakan antara ahli saadah (bahagia) dan ahli syaqawwah (derita), membedakan antara kemenangan dan kekalahan.
Dua ayat di atas jelas menceritakan ciri-ciri orang kafir, yakni:
-Tidak mengindahkan peringatan
-Tidak beriman kepada Allah walaupun setelah diberi peringatan
Peringatan apa?
✎ Tentang keberadaan dan keesaan Allah Swt.
✎ Dan perkara-perkara ghaib: surga dan neraka.
Mereka ini sangat berbeda dengan sifat yang ada pada golongan muttaqin yang beruntung.
Golongan ini juga:
-Allah menutup hati mereka, pendengaran dan penglihatan mereka.
-Dan bagi mereka disediakan azab yang amat besar.
Mendapat azab yang pedih, inilah pengakhiran golongan ini.
Semoga kita semua tidak termasuk dalam golongan ini dan berusaha mengajak keluarga dan sahabat agar istiqamah dalam beriman kepada Allah azza wa jalla.
Wallahu'alam bishshawwab
Sumber:
1. Tafsir fi zilal Quran : Said Quthb
2. Sofwatut tafasir : Muhammad Ali AsSobuni
Penerjemah:
Ezzah Syahira (dept. Training psdm odoj)
RTO/ 01/19/12/2014/dept.trainingpsdmodoj
RUBRIK TAFSIR ODOJERS
Edisi Jumat, 12 Desember 2014
🌷Tafsir Qur'an Surat Al Baqarah: 1-5
[Menjadi Mukmin yang Memperoleh Kemenangan]
(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ الم)
(ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ) (الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ)
(وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ)
(أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)
(Al Baqarah: 1-5)
✨Subhanallah..
Surat terpanjang dalam al Quran ini diawali dengan satu ayat yang cukup indah dan memberi kesan mendalam kepada jiwa. Supaya jiwa ini yakin dan terus berusaha menjadi sebaik-baik hamba Allah SWT.
(ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ)
Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
[Surat Al Baqarah: 2]
Allah berfirman lagi:
(الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ)
Yaitu mereka yang beriman pada yang ghaib, melaksanakan solat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
[Surat Al Baqarah: 3]
(وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ)
Dan mereka yang beriman dengan al Quran yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab yang diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya hari akhirat.
[Surat Al Baqarah: 4]
✨La hawla wa laa quwwata illa billah...
Nah, jelas di sini Allah telah memberikan panduan untuk menjadi insan yang bertaqwa.
Al Muttaqiin
Inilah ciri seorang Muslim yang memperoleh kemenangan.
Kenapa dengan menjadi golongan yang bertaqwa dikatakan sebagai golongan mukmin yang memperoleh kemenangan?
Maksud asal at taqwa diambil dari kata dasar: ittiqa' berarti: pencegahan untuk melindungi. Seseorang itu mencegah apa saja kemudaratan untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dalam tafsir mushaf Al Masar, taqwa diartikan sebagai: mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Seandainya kita melaksanakan segala perintah di atas dengan penuh keimanan, kitalah golongan yang senantiasa di bawah petunjuk Allah dan golongan ini adalah mereka yang Al Muflihun.
(أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)
Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[Surat Al Baqarah: 5]
الفﻻح:
Kemenangan atau kejayaan menurut Abu Ubaidah: كل من أصاب شيئاً من الخير فهو مفلح: siapa yang memiliki sesuatu yang baik maka dialah yang beruntung.
Memiliki sesuatu yang baik:
Inilah Al Muttaqiin.
Yang beruntung:
Inilah al Muflihun
✨Kenapa harus berusaha menjadi mukmin yang bertaqwa? Tidak cukupkah kita menjadi mukmin saja?
Dan ketahuilah bahwa tiada balasan terbaik menjadi mukmin yang bertaqwa melainkan mendapat DERAJAT TERTINGGI di JANNATUN NA'IIM.
Wallaahu'alaam bisshawwab
Sumber: Kitab Sofwatut Tafasir-Muhammad Ali AsSobuni.
Ditulis oleh: Ezzah Syahira (dept. Training PSDM ODOJ)
RTO/01/12/12/2014/dept.training
Edisi Jumat, 12 Desember 2014
🌷Tafsir Qur'an Surat Al Baqarah: 1-5
[Menjadi Mukmin yang Memperoleh Kemenangan]
(بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ الم)
(ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ) (الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ)
(وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ)
(أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)
(Al Baqarah: 1-5)
✨Subhanallah..
Surat terpanjang dalam al Quran ini diawali dengan satu ayat yang cukup indah dan memberi kesan mendalam kepada jiwa. Supaya jiwa ini yakin dan terus berusaha menjadi sebaik-baik hamba Allah SWT.
(ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ)
Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
[Surat Al Baqarah: 2]
Allah berfirman lagi:
(الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ)
Yaitu mereka yang beriman pada yang ghaib, melaksanakan solat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.
[Surat Al Baqarah: 3]
(وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ)
Dan mereka yang beriman dengan al Quran yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab yang diturunkan sebelum engkau, dan mereka yakin akan adanya hari akhirat.
[Surat Al Baqarah: 4]
✨La hawla wa laa quwwata illa billah...
Nah, jelas di sini Allah telah memberikan panduan untuk menjadi insan yang bertaqwa.
Al Muttaqiin
Inilah ciri seorang Muslim yang memperoleh kemenangan.
Kenapa dengan menjadi golongan yang bertaqwa dikatakan sebagai golongan mukmin yang memperoleh kemenangan?
Maksud asal at taqwa diambil dari kata dasar: ittiqa' berarti: pencegahan untuk melindungi. Seseorang itu mencegah apa saja kemudaratan untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dalam tafsir mushaf Al Masar, taqwa diartikan sebagai: mengikuti segala perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya.
Seandainya kita melaksanakan segala perintah di atas dengan penuh keimanan, kitalah golongan yang senantiasa di bawah petunjuk Allah dan golongan ini adalah mereka yang Al Muflihun.
(أُولَٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ ۖ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ)
Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
[Surat Al Baqarah: 5]
الفﻻح:
Kemenangan atau kejayaan menurut Abu Ubaidah: كل من أصاب شيئاً من الخير فهو مفلح: siapa yang memiliki sesuatu yang baik maka dialah yang beruntung.
Memiliki sesuatu yang baik:
Inilah Al Muttaqiin.
Yang beruntung:
Inilah al Muflihun
✨Kenapa harus berusaha menjadi mukmin yang bertaqwa? Tidak cukupkah kita menjadi mukmin saja?
Dan ketahuilah bahwa tiada balasan terbaik menjadi mukmin yang bertaqwa melainkan mendapat DERAJAT TERTINGGI di JANNATUN NA'IIM.
Wallaahu'alaam bisshawwab
Sumber: Kitab Sofwatut Tafasir-Muhammad Ali AsSobuni.
Ditulis oleh: Ezzah Syahira (dept. Training PSDM ODOJ)
RTO/01/12/12/2014/dept.training
Kadang sebuah resep masakan dipraktikkan secara tak sengaja. Itulah yang terjadi hari ini di dapur saya. Karena ada daging ayam sisa di kulkas yang belum tau ingin diolah menjadi apa, akhirnya saya putuskan untuk disulap menjadi nugget, salah satu camilan sekaligus lauk favorit anak saya. Pas banget ada wortel dan tahu juga. Tancaaaappp ^_^
Nugget Ayam dan Wortel
Bahan:
100 gram wortel, parut halus
100 gram daging ayam giling
100 gram tahu, haluskan
100 gram tepung terigu
2 butir telur ayam
2,5 sendok teh garam
1 sendok teh merica bubuk
1 sendok teh gula pasir
1 sendok teh kaldu bubuk Alsultan (bubuk kaldu non MSG)
4 siung bawang putih, haluskan
2 batang daun bawang, iris halus
Bahan pencelup dan pelapis:
50 gram tepung terigu
100 ml air
100 gram tepung panir
Cara membuat:
1. Campur wortel, daging ayam, tahu, terigu dan daun bawang, sisihkan
2. Kocok telur ayam bersama garam, merica bubuk, gula, kaldu bubuk Alsultan, dan bawang putih hingga tercampur rata.
3. Masukkan ke dalam campuran wortel dan daging ayam, aduk hingga tercampur rata.
4. Siapkan loyang persegi yang sudah diolesi minyak goreng. Masukkan adonan nugget, kemudian kukus selama 30 menit.
5. Setelah matang, dinginkan, angkat dari loyang dan potong sesuai selera.
6. Campurkan bahan pencelup berupa air, terigu dan sedikit garam.
Masukkan potongan nugget ke dalam bahan pencelup kemudian lumuri dengan tepung panir.
7. Goreng dengan api sedang sampai matang.
8. Nugget ayam dan wortel siap disantap ^_^
Tatiek Ummu Hamasah Afra ^_^
Keluarga yang hangat, gambaran dari good parenting. Perwujudan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah |
Seorang anak yang sejak kecilnya tidak diperhatikan oleh orang tuanya, apalagi mengalami trauma entah karena ketakutan, kesedihan, atau kemarahan, otak akan mengeluarkan zat cortisol yang akan mengaktifkan fungsi batang otak atau otak reptil (menyerang, bertahan, atau lari). Keadaan ini akan memperlambat perkembangan bagian otak lainnya, serta dapat mempengaruhi sistim imun, sehingga tubuh mudah terserang penyakit, serta dapat memperlambat proses belajar. Sebaliknya, apabila seorang anak merasa dicintai, aman, dan gembira, otak akan mengeluarkan zat neurotransmitter yang akan mempercepat perkembangan otak, meningkatkan sistim imun sehingga tubuh lebih sehat, serta proses belajar lebih efektif.
Bayangkan kalau seorang anak dibesarkan oleh orang tua yang tidak hangat dan lingkungan yang penuh tekanan dalam waktu yang lama, sehingga otak reptilnya yang akan lebih dominan berfungsi. Sebuah riset otak yang dilakukan oleh Dr. Bruce D. Perry menunjukkan bahwa mereka yang memiliki fungsi batang otak dan otak tengah dominan, cenderung gemar melakukan kekerasan. Sebaliknya, fungsi bagian otak limbik (emosi/cinta) dan korteks (berpikir) mereka lemah. Sedangkan manusia yang bijak adalah mereka yang dapat menggunakan akalnya dengan baik serta memiliki empati atau rasa cinta yang tinggi, yang ditunjukkan oleh fungsi otak korteks dan limbik yang dominan. Semuanya ini dipengaruhi oleh pengalaman masa kecil mereka.
Hasil penemuan Dr. Perry menunjukkan bahwa manusia yang agresif, impulsive, atau violent, mempunyai lapisan korteks yang lebih tipis dibandingkan manusia yang jiwanya sehat, termasuk juga bagian otak reptilnya yang lebih tebal. Jadi, apa yang difirmankan oleh Allah Swt dalam Alquran adalah benar bahwa perilaku manusia bisa seperti hewan, bahkan bisa lebih buruk lagi (QS. Al Furqan: 44). Jangan-jangan merebaknya budaya kekerasan, saling mencurigai, dan serakah (korupsi) di negeri tercinta ini, mungkin disebabkan oleh manusia-manusianya yang memiliki otak reptil dominan. Karena yang membuat keputusan untuk melakukan kekerasan adalah para individu manusia, yaitu yang bersumber dari otak manusia. Oleh karena itu, apa yang dikatakan oleh Prof. Marian Zeitlin tentang keluarga dan perkembangan anak adalah benar. Beliau mengatakan: "Alangkah mudahnya membuat sebuah bangsa bisa maju, yaitu dengan sebuah kebijakan untuk menghimbau agar semua ibu hendaknya menyusui bayinya, mendekap dan memeluk mereka, memberikanciuman dan kata-kata manis, selalu menatap mata mereka dengan mesra, bernyanyi untuk mereka, bermain dengan mereka, serta jangan bosan mengucapkan I love you."
Membangun sebuah bangsa yang beradab harus dimulai dari bagaimana menciptakan lingkungan yang kondusif bagi para individu untuk dapat berkembang secara optimal, yaitu dengan good parenting.
Good parenting adalah serangkaian tindakan-tindakan kecil yang dapat membuat seorang anak merasa diterima, disayang, didorong, diasah, dan diasuh untuk menjadi manusia yang berkembang secara optimal, baik fisik, jiwa, kognitif, emosi, maupun spiritualnya.
Oleh: Dr. Ratna Megawangi
~Cuplikan Kata Pengantar dalam buku "Hikmah Mempesona dari Anakku"~
Ditulis ulang oleh Tatiek Ummu Hamasah Afra
Senin, 16 Maret 2015