Karena Saya Ditakdirkan Menjadi Pemudik


Kata mudik begitu akrab dengan saya sejak kecil. Ya, aktivitas para perantau untuk kembali ke kampung halaman itu sudah sejak lama saya lakukan bersama keluarga. Ayah dan ibu saya adalah 'perantau' yang berasal dari Blitar lalu menetap di Malang. Bedanya, ayah pindah ke Malang sejak SMP. Sedangkan ibu ikut tinggal di Malang sejak menikah. Alhasil, setiap lebaran tiba kami sekeluarga harus mengunjungi rumah kakek dan nenek di Blitar. 

Mudik Ceria bersama Keluarga

Kami sekeluarga biasanya mudik pada pagi hari di hari kedua lebaran. Hari pertama tentu saja adalah waktu untuk bersilaturahmi dengan tetangga. Semua tetangga kami hapal dengan kebiasaan kami itu. Ya, tak banyak keluarga di kampung kami yang mudik. Mayoritas mereka memang berasal dari Malang, daerah dekat situ-situ saja. Saya rasa orang-orang tidak akan menyebut pergi ke kecamatan sebelah sebagai aktivitas mudik. Walaupun sah-sah saja, sih. 


Saat itu kendaraan umum masih ramai, baik bus kota atau angkot yang berurusan Malang-Blitar. Kami hanya punya satu buah motor, maka keberangkatan mudik pun harus dibagi. Biasanya saya dibonceng ayah menaiki sepeda motor. Adik saya bersama ibu menaiki bus atau angkot. Duh, senangnya saya diajak naik motor selama kurang lebih dua jam. Biasanya 'kan dibonceng ayah tidak terlalu jauh. Mudik lah yang membuat saya bisa menikmatinya. 

Saat itu pengendara motor tidak sebanyak seperti saat ini, jadi perjalanan cukup lancar jaya. Biasanya ayah mengajak saya berhenti sejenak di Bendungan Karangkates, menyaksikan keindahan wisata air itu. Lalu saya diajak juga makan di warung-warung tenda di dekat situ. Sebuah bonus yang jika saya ceritakan ke adik membuat dia iri. Hehe, maapin, yak. 

Kenapa saya yang diajak ayah naik motor saat mudik dan bukan adik saya? Saat itu adik saya masih kecil, belum boleh dibonceng dengan jarak perjalanan jauh. Sementara saya pernah punya hobi mabuk darat saat masih kelas 3 dan 4 SD jika naik angkot jarak jauh. Apalagi jika angkotnya berbau solar. Aduhhh... So, saya pun bersyukur bisa mudik dibonceng motor, tidak khawatir mabuk di perjalanan lagi.

Sesampainya di rumah eyang yang terletak di pedesaan, saya dan adik tak menyia-nyiakan waktu untuk bermain di sungai dekat rumah eyang. Sungainya besar dan jernih. Kami baru meninggalkan sungai saat sudah mulai kedinginan dan ibu sudah memanggil-manggil. Biasanya kami sekeluarga berkeliling ke rumah saudara pada sore harinya. Senang, apalagi dapat banyak angpau. Hehe... 

Agenda Mudik setelah Dewasa

Jika kisah mudik saya saat masih kecil adalah menuju rumah eyang, maka saya mudik ke rumah orang tua saat saya dewasa. Selepas SMK, saya bekerja dan meneruskan kuliah di Batam, Kepri. Jarak yang demikian jauh membuat rindu pada orang tua kerap menggebu. Namun saya tidak bisa sering-sering pulang. Berat di ongkos, pun ada jatah cuti yang membatasi diri.

Setelah sebelumnya saya cuti pulang kampung di hari biasa, saya menjalani mudik pada pertengahan Ramadan tahun 2005. Jauh-jauh hari saya sudah memesan tiket pesawat jurusan Surabaya tapi transit dulu di Jakarta. Saya lupa harganya. Mungkin sekitar Rp 600.000-an. Maskapai yang saya tumpangi saat itu adalah Adam Air yang kini sudah tidak beroperasi lagi.


Alhamdulillah, perjalanannya lancar jaya. Transit-nya pun hanya sebentar dan pesawat tidak delay. Sesampainya di Bandara Juanda, sudah menunggu ayah, ibu, dan dua adik-adik saya. Mereka menjemput saya dengan mencarter mobil tetangga. Saya masih teringat keharuan itu. Rindu yang menggebu pun berlalu dengan pertemuan itu. Maklum, terakhir kali saya cuti pulang kampung adalah dua tahun sebelumnya, pada bulan Agustus 2003.

Ternyata mudik saya saat itu begitu istimewa. Selain bisa berpuasa Ramadan bersama keluarga walaupun di setengahnya saja, ternyata ada seseorang yang datang melamar. Ya, dialah yang menjadi suami saya sekarang ini. Sungguh saya tidak menyangka dan tidak ada persiapan apa-apa. Eh, si dia yang merupakan rekan (tidak akrab) di tempat kerja malah membuat kejutan.

Keluarga besarnya yang datang jauh-jauh dari Solo akhirnya bertatap muka dengan keluarga besar saya. Alhamdulillah, saya mantap menerima lamarannya. Saya tidak ragu karena sedikit tahu kepribadiannya, plus kemantapan hati setelah saya melakukan salat istikharah.

So, mudik lebaran tahun 2005 adalah salah satu momen mudik paling istimewa. Such an unforgettable moment I've ever had. 

Mudik ke Solo Setelah Menikah

Saya dan suami menikah setelah lebaran tahun 2005 itu. Kilat, menikah tanpa pacaran. Lalu kami menetap di Batam sampai tahun 2010 dan memutuskan pulang kampung ke Malang pada akhir 2010. Ya, ke Malang untuk menemani ibunda yang sendirian. Ayah saya sudah berpulang sejak tahun 2007.

Alhasil, setiap lebaran tiba kami pasti mudik ke Solo, daerah asal suami saya. Tiga moda transportasi pernah kami coba yaitu mobil travel, kereta api, dan bus Rosalia Indah. Kecuali menaiki pesawat terbang tentunya. Terlalu dekat dan mahal, cyiin... Paling nyaman sih naik bus karena tidak harus berdesakan dengan penumpang lain; lebih lega.


Alhamdulillah, lebaran tahun kemarin kami sudah bisa mudik ke Solo dengan menaiki mobil sendiri. Serunya mudik berbekal google maps, hehe. Kami bisa mengatur sendiri hendak rehat dimana. Saat si kecil rewel pun kami bisa bebas berhenti sejenak. Kisah lengkapnya pernah saya tulis pada postingan di blog ini dengan judul Dari Jumat ke Jumat, Mudik Lebaran yang Selalu Diingat 

Mudik memang membutuhkan persiapan matang, dana yang cukup, stamina yang prima, dan kesabaran yang tinggi di perjalanan. Capek itu sudah pasti. Tapi saya begitu menikmatinya. Ya, karena sejak kecil saya terbiasa jadi pemudik, kini saya tidak kaget lagi. 

Saya mudik dengan gembira, bagaimana dengan teman-teman semua?

Selamat mudik, ya! 


Salam, 
Tatiek Purwanti


Sumber gambar: instagram, pexels

#bpnchallenge2019 
#bpnramadhanchallenge 
#BPNetwork 
#bpnblogpostchallenge 
#bpn30dayblogpost 
#bpn30dayblogpostchallenge
#Day18

You Might Also Like

8 comments

  1. Bener banget mbak, dan aku sudah mengambil bagian itu untuk pulang tiga tahun ini dengan atau tanpa siapapun juga

    ReplyDelete
  2. Saya kebalikan... nggak pernah mudik, sekolah kuliah kerja lalu menikah dan berkeluarga di kota yang sama. Saya merasakan keseruan membaca cerita mudiknya.. salam untuk keluarga ya...

    ReplyDelete
  3. Mudik memang cerita yang seru banget. Aku lebih seneng perjalanan darat, selain lebih hemat di ongkos, kita bisa mampir² buat kulineran hahaha
    Mohon maaf lahir dan batin ��

    ReplyDelete
  4. Naaa ini...baru tahun ini ikut²an mudik. Padahal udh engga ada siapa² di kota asal usul suami, Malang. Ya dicari saja siapa²nya...sepupu ibu, sepupu suami. Senang...

    ReplyDelete
  5. Waktu kecil sering mudik dalam kota mbak.heheeh cuma 1 jam perjalanan. Ujung selatan kota ke ujung utara kota. Tapi sekarang mah udah ga mudik. Dapet suami tetangga desa sendiri soalnya.hehehehh

    ReplyDelete
  6. Aku pernah sekali-kalinya mudik lebaran naik mobil sepupu dari Jkt ke Jogja, macet parah di Nagreg. Dan butuh waktu lebih dari 24 jam untuk nyampe rumah. Badan udha remuk redam hahaha... bar kui mbalik Jakarta naik bis, duduknya njepit depan toilet, kagak bisa tidur wkwkwk.
    Bar kui kapok mudik lebaran naik bis. Ganti haluan pake kereta atau pas udah ada kendaraan sendiri ya bawa sendiri. Apalagi udah ada anak, jadi enggak repot bawa barang2.

    ReplyDelete
  7. Aku Tim Hobi Mudik, hehehe.Tiap tahun berjuang menabung agar bisa mudik. Apalagi skrg masih ada orangtua. Pokoknya mudik hampir wajib. Kami rela menahan keinginan apapun demi mudik. Semoga rezeki untuk mudik selalu ada ya, Mbak. Amiin

    ReplyDelete
  8. Waktu masih jadi perantau itu, mudik adalah penyemangat dalam bekerja hehehe..
    2019 ini, tahun pertama kami tanpa mudik. Kami pernah mudik naik pesawat, kapal laut, dan seringnya bawa mobil. Dari anak masih bayi sampe jelang ABG.

    ReplyDelete