Tunjangan Hari Raya yang Selalu Didamba
- June 03, 2019
- By Tatiek Purwanti
- 0 Comments
Tunjangan Hari Raya atau THR itu lumayan akrab buat saya. Sejak kecil, saya selalu mendapati wajah berbinar-binar ibunda setiap kali beliau menerima THR. Yang mendapatkan adalah ayah saya yang saat itu bekerja sebagai PNS. Segera saja, ibunda saya mengajak saya dan adik-adik untuk membeli baju baru. Bukan baju-baju mahal tapi sungguh amat berkesan bagi kami. Semua karena adanya THR.
Oia, saya pernah punya lagu parodi yang jadi favorit saat saya masih belia dulu, dinyanyikan oleh P-Project. Itu tuh, Denny Chandra, Iszur Muchtar, Daan Aria, dkk. Begini liriknya:
THR kuterima
Aku mau pulang mudik ke kampung halaman
Untuk rayakan hari lebaran dengan sanak famili
Koper telah terisi, semua kukemasi
Dibungkus begitu rapi
Sekodi celana, bermacam kaus kaki
Juga sepatu kelinci
...
Silakan cari video kocaknya di YouTube, ya :D
Begitulah. THR memang selalu membuat ceria. Siapa yang tidak bersyukur menerima tunjangan saat hari raya tiba, ya? Rasa syukur itu pun selalu saya rasakan setelah saya bekerja dan menerima THR sendiri. Saat saya resign dari pekerjaan pun, si THR ini tetap saja rajin menemui saya, hehe. Alhamdulillah. Tentu saja THR itu datang melalui suami yang bekerja di sebuah perusahaan.
Sejarah Tunjangan Hari Raya (THR)
Bagaimana sih awal mulanya pemberian THR itu? Nah, ternyata program THR di Indonesia pertama kali diselenggarakan sekitar tahun 1950-an, pada masa Kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi. Itu adalah wujud peningkatan kesejahteraan bagi para Pamong Praja (sekarang dikenal sebagai Aparatur Sipil Negara/ASN).
Besar THR yang diberikan saat itu adalah Rp 200. Jangan kaget dulu. 'Kan zaman dulu, uang sebesar itu sudah tergolong banyak. Jika dikonversikan dengan nilai rupiah sekarang, ya kira-kira sebesar Rp 1.100.000 sampai Rp 1.750.000. Dana tunjangan itu diberikan seperti sekarang, pada akhir bulan Ramadan.
Amankah kondisi? Ternyata tidak, saudara-saudara! Pemberian THR untuk para Pamong Praja itu menimbulkan kecemburuan pada kalangan pekerja dan buruh. Maka terjadilah unjuk rasa pada tanggal 13 Februari 1952.
Nah, sejak saat itulah THR tidak saja diterima oleh kalangan Pamong Praja/PNS/ASN saja. Para pekerja atau buruh perusahaan juga ikut merasakan 'nikmatnya' tunjangan menjelang lebaran.
Alhamdulillah, saya ikut membuktikan. Beberapa hari yang lalu THR dari perusahaan suami saya sudah turun. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya yaitu diberikan saat dua pekan menjelang lebaran.
Peraturan tentang THR
Bagi para ASN, menerima THR itu adalah sebuah anugerah yang hampir pasti 100% didapat. Tapi bagi para pekerja/buruh, itu belum tentu mereka terima. Misalnya, pekerja/buruh yang masa bekerjanya belum mencapai 12 bulan, maka mereka belum berhak atas THR. Saya dulu saat masih jadi karyawan baru juga begitu. Saat lebaran tiba, saya baru enam bulan bekerja. Alhasil, saya hanya menerima THR separuh dari THR utuh.
Adapun para pekerja/buruh yang sudah bekerja di atas 12 bulan tapi tidak menerima THR, berarti perusahaan tempatnya bekerja telah melakukan pelanggaran. Salah satu peraturan terbaru tentang THR ini tertuang pada Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja atau Buruh di Perusahaan.
Jumlah THR yang diterima para pekerja/buruh yang sudah memenuhi batas lamanya bekerja biasanya satu kali gaji pokoknya. Namun, perusahaan bisa juga memberikan lebih sesuai dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang sudah disepakati oleh perusahaan dan perwakilan perikat pekerja. Saya kira, banyak perusahaan bonafid yang melakukannya. Wuih, senyum para karyawannya tambah lebar, tuh.
THR Hanya Ada di Indonesia
Ya, THR hanya ada di sini, di Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim dan punya tradisi mudik, kaum muslimin sangat memerlukan dana lebih saat hari raya Idul Fitri tiba. Ini bukan tentang gaya hidup konsumtif sih menurut saya. Memang begitulah budaya kita.
Ada kepuasan tersendiri saat kita menyelipkan salam tempel untuk anak-anak tetangga dan para keponakan. Pun saat tamu-tamu yang berkunjung menyantap sajian lebaran yang kita hidangkan, yang hanya ada saat hari istimewa itu.
Ya, ya. Membeli baju lebaran, menyajikan kue-kue lebaran, dan memberi salam tempel bukanlah kewajiban. Tidak dilakukan pun tidak apa-apa. Sekali lagi ini adalah budaya dan tradisi yang memang membutuhkan dana lebih. Dengan adanya THR, pengeluaran tahunan itu mempunyai pos pemasukannya sendiri. Alhamdulillah, ya.
By the way, negara-negara lain punya program mirip THR yang disebut Holiday Allowance. Misalnya di Belanda, Holiday Allowance itu diberikan menjelang musim puncak Tulip bermekaran yaitu sekitar bulan Mei-Juni. Besarnya yaitu minimal 8 persen dari penghasilan bruto si pekerja. Tujuannya sama: agar para pekerja bisa menikmati liburan musim panas dengan dana cukup.
Nah, bagaimana dengan kaum muslimin yang bukan ASN atau pekerja? Secara mereka pun (biasanya) pos pengeluarannya bertambah saat jelang lebaran dan hari-H tiba. It's okay. Saya kira mereka pun punya jalan rezekinya sendiri. Pun banyak diantaranya justru adalah pemberi THR karena profesinya adalah pengusaha. Barakallah.
Selamat mengkalkulasi THR, teman-teman. Jangan lupa diatur sebaik-baiknya dan sisihkan untuk sedekah juga, ya.
Salam,
Tatiek Purwanti
Referensi:
https://www.kompas.com/nasional/read/2019/05/20/15380741/serba-serbi-thr-sejarah-penerapan-aturan-hukum-serta-hanya-di-indonesia
Sumber gambar: pexels
#bpnchallenge2019
#bpnramadhanchallenge
#BPNetwork
#bpnblogpostchallenge
#bpn30dayblogpost
#bpn30dayblogpostchallenge
#Day14
#bpnramadhanchallenge
#BPNetwork
#bpnblogpostchallenge
#bpn30dayblogpost
#bpn30dayblogpostchallenge
#Day14
0 comments