Saya mungkin termasuk yang terlambat
membeli dan membaca novel yang bersampul unik ini, Damar Hill. Sebenarnya sih
sudah tertarik dari awal saat infonya diposting di wallfacebook penulisnya,
Bulan Nosarios. Tapi saat itu jatah membeli buku sedang jatuh kepada si kakak,
Afra. Ya sudahlah, saya mengalah dulu. Juga ada kesempatan mendapatkan novel
ini secara free saat Mbak Dian Restu Agustina mengadakan giveaway di blog-nya.
Ehh, bukan rezeki saya ternyata. It’s okay. Akhirnya Damar Hill pun berada
dalam genggaman saya pada akhir Desember 2017 yang lalu.
Saya kira setiap orang selalu punya
tempat-tempat istimewa di hatinya. Biasanya itu berkaitan dengan tanah
kelahiran, kota tempat kuliah, daerah yang pernah lama disinggahi, atau sebuah
belahan bumi yang sangat ingin dikunjungi. Ada yang ingin menambahkan?
Jika
ada pertanyaan tentang jenis olahraga favorit saya, maka saya akan
menggolongkannya dahulu menjadi olahraga favorit zaman old dan zaman now. Walau
pun bukan seseorang yang hobi banget berolahraga dan bukan pula atlit, ada deh
olahraga yang saya sukai. Saat saya masih kecil, ayah saya gemar melakukan
Senam Kesegaran Jasmani (SKJ) di rumah. Saya pun meniru gerakan senam beliau sebisa
saya. Waktu itu TVRI sedang rutin menayangkan siaran Olimpiade di Seoul. Saya
pun terkagum-kagum dengan para atlit yang berlomba menampilkan bakat
terbaiknya. Ada yang ingat itu tahun berapa?
Beberapa waktu yang lalu saat menghadiri
sebuah acara, saya bertemu dengan salah seorang kenalan ibunda saya. Kami
berbincang-bincang sebentar dan sebelumnya beliau menanyakan kabar ibu saya.
Saya menjawab bahwa ibu saya sehat, hanya kadang-kadang kakinya terasa
pegal-pegal. Beliau menimpali bahwa hal yang sama juga dirasakannya. Tapi
beliau mengatakan bahwa dengan mengkonsumsi dua buah kapsul herbal tertentu setiap
hari, pegal-pegal di kakinya bisa berkurang. Beliau enggan memeriksakan
keluhannya tersebut secara medis karena baginya terapi obat herbal seperti itu
sudah cukup. Anda pernah menjumpai situasi yang demikian?
Januari masih tersisa lima hari
lagi. Demikian juga dengan hujan. Masih belum ada tanda-tanda ia ingin undur
diri. Hujan, tidak sedikit yang bersungut-sungut karena kedatangannya. Tapi
tidak terhitung pula yang menyukai kehadirannya. Bagi para pecinta hujan,
biasanya mereka mengawalinya dengan doa. Agar hujan datang membawa rahmat, dan
bukan bencana. Ada pula yang menjadikannya sumber inspirasi. Maka hujan
tertuang dalam berbagai deskripsi warna-warni yang berwujud puisi, lagu, cerita
pendek, hingga novel. Resensi buku saya kali ini pun ingin berbicara tentang
hujan dan seorang gadis kesepian yang mencintainya.
Putih itu cantik.
Anda setuju? Saya setuju. Hal yang pertama kita tangkap saat melihat seseorang
adalah wajahnya. Ada standar kecantikan yang tertanam di alam bawah sadar bahwa
perempuan cantik salah satunya adalah yang mempunyai kriteria tersebut. Walaupun
saya tidak menghadirkan persentase penilaian tentang ini, iklan produk
kecantikan yang menampilkan sosok perempuan berkulit putih bisa mewakilinya.
Hampir tidak pernah saya jumpai produk kecantikan yang bintang iklannya
berkulit gelap. Ada yang tahu kenapa? Menurut saya pribadi, perempuan berkulit
putih memang cocok mengenakan busana dengan warna apa pun. Padu padan make-up juga
lebih fleksibel pilihan warnanya bagi mereka.
Orang Jawa mempunyai akronim yang pas untuk bulan Januari yaitu ‘hujan
sehari-hari’. Dan itu tepat sekali. Pada bulan ini, sinar matahari hanya
sesekali menampakkan diri. Hujan dan suasana dingin hampir setiap hari
mewarnai, membuat saya melakukan berbagai cara untuk menghalau rasa dingin yang
menerpa. Salah satu yang saya lakukan adalah menyeduh minuman hangat. Walaupun
tidak setiap kali hujan saya melakukannya, sih. Biasanya saya menyeduh teh
hijau beraroma melati atau cappuccino panas. Mamma mia... Saya menyukai kedua
jenis minuman tersebut, tapi sebenarnya ada yang lebih saya sukai dan saya
meminumnya setiap hari. Apa itu? Jeniper! (tanpa Lopez).
Saya lupa
kapan persisnya saat saya tidak sengaja melihat video lewat facebook yang
mempertontonkan adegan kekerasan yang membuat miris. Seorang anak perempuan
usia SMP yang awalnya diejek-ejek oleh kerumunan teman sekolahnya, lalu
berlanjut dengan dipukul, dijambak dan… ah, saya tidak tega menontonnya sampai
selesai. Saya tidak habis pikir dengan orang (anak?) yang merekam adegan itu.Kok ya tega dan diam saja atas tindakan tidak benar yang dilihatnya. Sebuah PR besar menanti kita sebagai orang tua dan
anggota masyarakat yang pastinya ingin anak kita tumbuh besar di lingkungan
baik-baik saja. Kenyataannya, dunia di
luar sana kadang tidak seramah yang kita sangka.
Setiap kali mudik ke rumah mertua di Solo, Jawa
Tengah, kami sekeluarga selalu menyempatkan untuk berkeliling ke beberapa
tujuan wisata. Tentunya setelah silaturrahmi ke seluruh keluarga besar terlaksana.
Daerah Solo Raya -seperti halnya Malang Raya- memiliki banyak destinasi wisata
yang menarik. Mulai dari wisata alam, wisata budaya, sampai wisata
kuliner tersedia di sana, tinggal pilih saja. Jika Malang Raya mempunyai Batu,
Solo Raya punya Karanganyar. Di daerah kami ada bakso Malang, di tanah
kelahiran suami saya ada bakso Solo. Itulah mengapa saat berada di sana, saya
seperti merasa di rumah sendiri. Yes, it feels like coming home.
Ahmad senang sekali karena libur
semester telah tiba. Anak kelas tiga SD yang tinggal di Surabaya itu berlibur
sekeluarga ke rumah pamannya di Deli Serdang, Sumatera Utara. Paman Haryo
namanya. Ia tinggal di desa yang indah dan berudara sejuk. Paman Haryo beternak burung Puyuh di halaman belakang rumahnya.
Per
tanggal 7 Januari 2018, perolehan penonton film Ayat-Ayat Cinta 2 (AAC 2) sudah
mencapai dua juta lima ratus ribu sekian. Itu adalah sebuah pencapaian yang
sangat bagus untuk ukuran box office film Indonesia. Saya yang menonton AAC 2
pada tanggal 30 Desember 2017 yang lalu ikut menyumbang angka itu, lho :) Maka
rasanya sayang jika acara menonton di bioskop tersebut tidak dikenang di sini.
Apalagi sebelumnya saya juga sudah membaca novel sekaligus meresensinya. Jika
ditambah menonton filmnya, fix
sudah saya sebagai pecinta Fahri, eeh.. gak ding. Saya mah pecinta Hari (nama
misua) :D
Bertahun-tahun yang lalu saya
membaca sebuah artikel pendek yang ditulis oleh M. Irfan Hidayatullah tentang
membangun makna lewat remah kata. Ketua Umum Forum Lingkar Pena periode
2005-2009 itu menyebutkan bahwa kata adalah kendaraan bagi makna. Ya, berbagai
kata yang dikumpulkan oleh seorang penulis dimaksudkan sebagai sarana penyampai
makna. Metaforanya menurut saya unik, yaitu:
Mursidi menyalami beberapa pemuda yang
berpamitan pulang. Mereka adalah teman satu kampus Anggara. Acara tahlilan di
rumah Pak Gunawan, majikannya, baru saja selesai. “Sudah ada kabar dari Warsih?” Pak Gunawan yang duduk di
sampingnya bertanya untuk kesekian kalinya. Mata pria paruh baya itu masih
terlihat sembab. “Belum, Pak,” Mursidi menjawab cepat, sengaja. Agar
ragu-ragunya tidak terlihat.
Assalamualaikum. Hai, perkenalkan. Saya Tatiek Purwanti, seorang istri sekaligus ibu dari 2 orang anak. Saya pernah bekerja dan kuliah di Batam dari tahun 2000-2010. Sekarang saya bersama keluarga tinggal di Malang, Jawa Timur.