Ahmad senang sekali karena libur
semester telah tiba. Anak kelas tiga SD yang tinggal di Surabaya itu berlibur
sekeluarga ke rumah pamannya di Deli Serdang, Sumatera Utara. Paman Haryo
namanya. Ia tinggal di desa yang indah dan berudara sejuk. Paman Haryo beternak burung Puyuh di halaman belakang rumahnya.
“Telurnya banyak sekali, Paman,” kata
Ahmad.
“Ya, Ahmad. Paman memanen telurnya
setiap hari,” jawab Paman Haryo sambil mengambil telur-telur Puyuh dari
kandang.
Tiba-tiba Adhim, kakak Ahmad yang duduk
di kelas lima SD, berteriak,
“Paman! Ada burung tergeletak di
halaman depan!”
Ketiganya segera menuju ke halaman
depan. Di sana ada seekor burung berukuran cukup besar dan berbulu hitam,
tergolek lemah di tanah.
“Oh, ini burung Elang Hitam,” kata
Paman Haryo sambil mengangkat burung itu dengan hati-hati. “Sayapnya terluka.
Mungkin tadi ada orang yang menembaknya.”
“Kasihan sekali, ya,” sahut Ahmad.
“Burung Elang Hitam termasuk satwa
langka yang dilindungi pemerintah. Jika ia berkeliaran seperti ini, artinya ada
yang memelihara burung ini sebelumnya,” jelas Paman Haryo.
“Kalau begitu Paman pelihara saja
nanti. ‘Kan burungnya jatuh di sini,” usul Adhim.
“Jangan dong, Kak,” sergah Ahmad.
“Kembalikan saja kepada pemiliknya.”
“Anak-anak, burung ini akan Paman rawat
dulu dan besok akan Paman laporkan ke BBKSDA,” Paman Haryo menengahi. Ia
membersihkan luka burung itu dengan alkohol.
“Apa itu, Paman?” tanya Ahmad.
“Kepanjangannya adalah Balai Besar
Konservasi Sumber Daya Alam. Itu adalah instansi yang bertugas mengawasi
peredaran ilegal satwa dan tumbuhan langka,” jelas Paman Haryo lagi.
Ahmad dan Adhim menyimak penjelasan
paman mereka.
“Burung Elang Hitam ini seharusnya
hidup di Taman Margasatwa, bukan di kandang seperti burung Puyuh. Ia tercipta
sebagai burung buas dan berhak kembali ke habitat asalnya,” lanjut Paman Haryo.
“Kalau nekat memelihara satwa langka
bisa dipenjara ya, Paman?” tanya Adhim.
“Iya, dong. ‘Kan ada undang-undang yang
mengatur tentang satwa langka,” jawab Paman Haryo.
Ahmad dan Adhim mengangguk-angguk paham.
“Oh iya. Elang Hitam ini bertelurnya
tidak sebanyak burung Puyuh, lho,” sambung Paman Haryo
“Telurnya sedikit ya, Paman?” tanya
Ahmad.
“Sedikit sekali. Ia hanya bertelur
sebutir dalam dua tahun. Nah, bayangkan jika ia dikurung di sangkar dan tidak
bertemu lawan jenisnya. Mereka tidak bisa kawin dan tentu saja tidak akan ada
telur yang dihasilkan,” jawab Paman Haryo.
Ternyata luka Elang Hitam cukup dalam.
Paman Haryo berencana membawa burung itu ke dokter hewan di pusat kecamatan.
“Paman akan mengajak ayah kalian ke
dokter hewan. Nah, sekarang kalian ke dapur saja. Bibi Ratna dan ibu kalian
memasak sate telur Puyuh,” kata Paman Haryo.
Ahmad dan Adhim bersorak gembira.
Setelah mereka mendapat pengetahuan baru tentang Elang Hitam yang merupakan
satwa langka, mereka bisa menikmati sate telur Puyuh yang lezat. []
Cerita anak di atas sebenarnya saya kirimkan untuk rubrik Nusantara Bertutur harian Kompas yang biasanya hadir setiap hari Minggu. Pada
edisi Desember 2017 yang lalu, Nusantara Bertutur (Nubi) mengambil tema “Cinta
Puspa dan Satwa Langka Nasional”. Saya pun mencoba mengirimkan naskah cerita
pendek ke media massa setelah bertahun-tahun lalu pernah melakukannya. Kalau
dulu puisi-puisi saya pernah nampang di sebuah majalah anak-anak, maka kali ini
cerita anak di atas ditolak. Hiks...
Sumber: wikipedia |
Tapi saya segera menyadari bahwa memang ada kekurangan
pada cerita di atas sehingga tidak layak untuk dimuat. Salah satunya adalah
kurang spesifiknya daerah asal si satwa langka. Menurut wikipedia, Elang Hitam
ini banyak tersebar di kawasan Sunda Besar, Sulawesi, dan Maluku. Kenapa saya justru
menyebutkan Deli Serdang pada cerita tersebut? Sebenarnya sih karena cerita di
atas terinspirasi dari berita di sebuah portal tentang terancamnya habitat
Elang Hitam di Sumatera Utara. Kekurangan yang lain? Pasti ada dan redaktur
Nubi pastinya lebih berhak menilai. :)
Alhamdulillah, saya akhirnya tetap enjoy saja karena
sebenarnya saya telah berusaha. Bukankah seseorang itu disebut gagal jika ia
berhenti berbuat dan berhenti belajar? Cerita anak tersebut masih bisa saya ‘terbitkan’
sendiri di blog ini, hehe. Insya Allah, masih ada manfaat yang bisa diambil
dari cerita di atas. So, blog ini tidak hanya bercerita tentang mulusnya sebuah
jalan tapi juga tentang batu-batu kerikil yang menghiasi jalan yang saya lalui.
Nah, bagi Anda yang berminat mengirimkan naskah cerita
anak ke Nusantara Bertutur, simak saja ketentuan pada fans page Nusantara Bertutur ini. Setiap bulan akan
ada tema yang berbeda, maka hanya 4-5 cerita anak saja yang pasti dimuat di
Kompas setiap bulannya. Insya Allah, saya akan terus berusaha lagi dengan
gembira. :)
Salam,
6 comments
Terus mengirim, Mbak, Saya juga belum berhasil. hehe. Semangat !
ReplyDeleteHehe, insya Allah. Apalagi saya baru sekali mencoba. Menantang banget, nih si Nubi
DeleteWah, saya berapa kali ditolak...huwaaa! Tapi sekali ditolak, seribu kali bertindak ..jiaah..hahaha..Yuk, semangat lagi ah!
ReplyDeleteHihi, jangan sampe pake dukun ya, Mbak :D Yuk, ahh seru-seruan ngirim lagi
DeleteMakasih infonya mbak tatik, padahal ceritanya menarik lho
ReplyDeleteSama-sama, Mbak. Yuk, ikutan kirim. Btw, yang lolos lebih menarik lagi ceritanya :D
Delete