Museum Radya Pustaka dan Sebuah Kenangan Bersahaja

Sumber: IG @soloindonesia


Setiap kali mudik ke rumah mertua di Solo, Jawa Tengah, kami sekeluarga selalu menyempatkan untuk berkeliling ke beberapa tujuan wisata. Tentunya setelah silaturrahmi ke seluruh keluarga besar terlaksana. Daerah Solo Raya -seperti halnya Malang Raya- memiliki banyak destinasi wisata yang menarik. Mulai dari wisata alam, wisata budaya, sampai  wisata kuliner tersedia di sana, tinggal pilih saja. Jika Malang Raya mempunyai Batu, Solo Raya punya Karanganyar. Di daerah kami ada bakso Malang, di tanah kelahiran suami saya ada bakso Solo. Itulah mengapa saat berada di sana, saya seperti merasa di rumah sendiri. Yes, it feels like coming home.

Suatu hari, si kakak Afra mendekati saya sambil membawa sebuah majalah yang selesai dibacanya,
"Mi, lebaran ini kita berkunjung ke dua tempat ini, ya?" katanya sambil menunjuk dua lokasi wisata yang terdapat di majalah tersebut.
Saya membaca apa yang ditunjukkannya itu,
"Oh, Museum Batik Danar Hadi? Okelah, Insya Allah. Tapi yang Museum Sangiran ini letaknya agak jauh, Mbak. Itu di Sragen."
"Kan masih agak jauh, Mi. Belum jauh beneran," jawabnya.
Saya tersenyum saja sambil berkata "Insya Allah" sekali lagi.

Manfaat Mengunjungi Museum untuk Anak

Hmm, museum. Selama ini saya dan suami ternyata melewatkan yang satu itu. Pergi ke keraton Surakarta dan Masjid Agung-nya sudah, tapi lupa tidak menyempatkan diri untuk singgah di museum. Padahal banyak manfaat yang bisa didapatkan jika mengunjunginya, terutama bagi anak-anak yang rasa ingin tahunya tinggi seperti Afra, yaitu: 

1. Belajar tentang Sejarah

Apa yang tersaji di dalam museum umumnya adalah berbagai warisan budaya di masa lalu yang berusaha dilestarikan. Dengan pergi ke museum, anak kita dapat 'membaca' sejarah secara langsung melalui benda-benda yang dilihatnya yang biasanya disertai informasi tentang benda-benda tersebut.

2. Belajar tentang Syukur

Peninggalan di masa lalu berkaitan dengan kehidupan masa lampau yang tidak mudah dan penuh perjuangan. Si anak sebaiknya diajak merenungkan bahwa hidup di masa kini yang lebih mudah dijalani -salah satunya- adalah andil dari perjuangan para pendahulu kita di masa lampau itu. 

3. Belajar tentang Menjadi Tokoh

Apa yang ada di museum adalah peninggalan para tokoh yang mewariskan segala ilmu yang dikuasai pada masanya. Tanamkan pada anak bahwa orang yang berilmu akan bisa meninggalkan warisan berharga walaupun ia sudah tiada. Jangan menjadi orang yang biasa-biasa saja, tapi jadilah tokoh yang luar biasa yang melejit sesuai dengan minatnya!

4. Belajar tentang Kesederhanaan

Biaya tiket masuk ke museum umumnya terjangkau jika dibandingkan dengan wahana wisata kekinian. Tanamkan pada anak bahwa yang namanya rekreasi tidak sekedar ke tempat-tempat 'wah' saja, ke museum sebenarnya juga tidak kalah serunya. Tidak sekedar bersenang-senang, tapi sebaiknya ada ilmu dan pengalaman baru yang didapatkan dengan biaya murah meriah.

5. Belajar tentang Ketelatenan

Berbagai koleksi yang ada di museum adalah hasil ketelatenan dalam mengumpulkan benda-benda berikut fakta sejarah yang menyertainya. Telaten itu tidak mudah dan memang butuh kesabaran dalam menjalaninya. Nah, si anak bisa diajak untuk belajar menjadi seperti itu dalam kesehariannya, bukan?



Rencana Mengunjungi Museum Radya Pustaka

Setelah mengiyakan dua request Afra di atas, saya sendiri mencari tahu museum lain yang ada di Solo. Emaknya juga harus punya tujuan sendiri, dong. Pilihan saya langsung jatuh kepada Museum Radya Pustaka yang terletak di jalan Slamet Riyadi, tidak jauh dari Taman Sriwedari. Sebenarnya kami beberapa kali melewatinya tapi tidak mampir. Duh, padahal museum ini adalah museum tertua yang ada di Indonesia. Ada juga sih yang menyebutnya sebagai museum tertua kedua setelah Museum Nasional di Jakarta. 

Museum Radya Pustaka ini didirikan oleh Kanjeng Raden Adipati Sasradiningrat IV di dalem Kepatihan ('rumah dinas' Patih) pada tanggal 28 Oktober 1890. Beliau pernah menjabat sebagai Patih Pakubuwana IX dan Pakubuwana X, para raja dari Kasunanan Surakarta. Dari dalem Kepatihan, lokasi museum dipindahkan ke tempat yang sekarang ini pada tanggal 1 Januari 1913. Dulunya, gedung museum ini adalah tempat tinggal seorang warga Belanda yang bernama Johannes Busselaar. Bentuk bangunan aslinya tetap dipertahankan, hanya mengubah beberapa bagian seperti menghilangkan bagian kamar mandi. Saya akhirnya membayangkan sebuah rumah tua megah yang jarang ditemui saat ini.


Kanjeng Raden Adipati Sasradiningrat IV (Sumber: wikipedia)

Sesuai dengan arti namanya, yaitu radya yang berarti pemerintah dan pustaka yang berarti surat, museum ini awalnya adalah tempat menyimpan surat-surat kerajaan. Lama kelamaan, koleksi museum tidak hanya surat-surat saja tapi juga berbagai benda yang berhubungan dengan kerajaan yang menarik untuk dipelajari. Sebelum beneran ke sana, saya mengintip hal-hal apa saja yang akan saya jumpai dari awal masuk museum sampai ke ruangan terakhirnya.


  • Patung Rangga Warsita

Patung yang berwujud patung dada Raden Ngabehi Rangga Warsita ini terdapat di halaman museum. Pernah mendengar istilah 'zaman edan'? Beliaulah yang mempopulerkannya lewat sebuah karya sastra yang bernama Serat Kalatidha. Untuk mengenang pujangga besar keraton Surakarta yang hidup pada abad ke-19 ini, diresmikanlah patung beliau oleh Presiden Soekarno pada tahun 1953. Di depan dan di belakang patung Rangga Warsita ini terdapat prasasti yang menggunakan aksara Jawa. Bolehlah nanti saya mengetes diri sendiri apakah masih bisa membaca ha-na-ca-ra-ka dan kawan-kawannya dengan lancar :)

Patung dada Raden Ngabehi Rangga Warsita di halaman depan museum (Sumber: wikipedia)

  • Berbagai Jenis Wayang

Wayang kulit -yang terbuat dari kulit sapi atau kambing- pernah akrab dengan masa kecil saya karena kakek dari pihak ayah adalah seorang dalang. Saya dulu biasa mengobrak-abrik isi kotak besar yang berisi bermacam-macam tokoh wayang dan memainkannya sesuka hati saya, hehe. Kenangan bersahaja tapi indah itu pasti akan hadir kembali begitu saya masuk di ruangan pertama museum ini.

Ada berbagai jenis wayang kulit seperti wayang purwa, wayang gedog, wayang madya, dan wayang beber yang ditampilkan di sana. Selain itu, ada juga wayang klithik yang terbuat dari kayu dan wayang suket yang terbuat dari rumput. Pun ada wayang dari manca negara yaitu wayang nang dari Thailand yang ikut meramaikan koleksi museum Radya Pustaka.

Wayang-wayang tersebut 'hidup' karena 'diberi nyawa' oleh seorang dalang. Setelah dewasa, saya baru menyadari betapa hebatnya seorang dalang itu. Ia adalah seorang pelaku seni bertutur yang membawakan pertunjukan 'boneka' yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Tak heran jika UNESCO menetapkan wayang sebagai The Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity pada tanggal 7 November 2003. Saya bangga menjadi cucu seorang dalang. Saya merindukanmu, Kakek... Duh, jadi terharu :'(

Wayang kulit yang dipajang (Sumber: usemayjourney.wordpress.com)


  • Logam Berharga, Arca, Joglo, dan Orgel

Ruangan kedua diisi oleh berbagai jenis senjata yang terbuat dari logam. Ada pula arca-arca dan miniatur rumah Joglo, rumah khas dari Jawa Tengah. Bentuk khas rumah Joglo sudah mulai langka ditemui saat ini, walaupun di Jawa Tengah sendiri. Nah, di antara ruang kedua dan ketiga, dipajang sebuah orgel atau kotak musik. Orgel tersebut adalah milik Paku Buwana IV (1788-1820) yang merupakan hadiah dari Napoleon Bonaparte. Wih, saya jadi membayangkan bahasa apa yang mereka gunakan saat itu untuk berkomunikasi. Any idea?

Ruangan Tosan Aji yang berisi senjata dari logam dan miniatur rumah Joglo (Sumber: indonesiakaya.com)
  • Keramik dan Piring Sewon

Masuk ke ruangan ketiga, ada bermacam-macam keramik yang dipajang. Keramik-keramik itu adalah peninggalan masa penjajahan Belanda. Sedangkan aneka piring sewon dipajang di dinding-dindingnya. Sewon artinya seribu atau keseribu. Piring itu dibuat untuk memperingati seribu hari meninggalnya seorang anggota kerajaan, sebuah ritual khas Jawa. 


Piring Sewon (Sumber: IG @soni_nug)


  • Perpustakaan dan Johannes Albertus Wilkens

Ruangan keempat ini termasuk yang memancing rasa penasaran saya. Di dalamnya ada bermacam buku berbahasa Belanda dan Jawa dan sedikit buku berbahasa Indonesia, yang terawat dan tersimpan rapi. Tentu saja para pengunjungnya hanya boleh membaca buku-buku itu di tempat. Lalu siapa itu Johannes Albertus Wilkens? Ia adalah seorang ahli bahasa yang membuat kamus bahasa Jawa-Belanda yang patungnya terpajang di antara ruang keempat dan kelima museum ini.

Perpustakaan Radya Pustaka (Sumber: indonesiakaya.com)

  • Patung dan Gamelan 

Masuk ke ruangan kelima, ada berbagai jenis patung yang terbuat dari perunggu dan gamelan. Yang terakhir disebut adalah berbagai jenis alat musik yang juga terbuat dari perunggu, biasanya mengiringi pertunjukan wayang dan seni karawitan. Ini juga pasti akan mengingatkan saya pada almarhum kakek dan almarhum bapak. Dua lelaki yang sangat mencintai budaya Jawa, yang darah seni begitu mengalir deras di dalam tubuh mereka. I really miss both of them :'(

Gamelan perunggu (Sumber: IG@tonoindra)





  • Gamelan Agung, Gamelan Genderan, dan Alat Tenun 

Ruangan keenam adalah ruangan paling luas di museum Radya Pustaka. Di dalamnya terdapat gamelan agung yang merupakan koleksi gamelan milik Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat IV, pendiri museum ini. Selain itu, ada juga gamelan genderan yakni satu set gamelan yang dirangkai seperti meja sehingga bisa dimainkan oleh satu orang saja. Terakhir, dipajang juga alat tenun tradisional di situ.


  • Canthik Perahu Rajamala

Canthik, bukan cantik. :) Artinya adalah hiasan yang dipasang di ujung depan dan belakang perahu. Wujudnya adalah kepala raksasa Rajamala -tokoh pewayangan- yang terkenal kesaktiannya saat berada di air. Canthik itu terbuat dari kayu jati yang diambil dari hutan Danalaya, hutan khusus milik Keraton Surakarta. 

Canthik Perahu Rajamala (Sumber: yolie-indonesia.com)


Pembuatannya atas perintah dari Paku Buwana V yang saat itu hendak melamar putri Bupati Cakraningrat di Sumenep, Madura. Saat itu alat transportasi yang biasa digunakan adalah perahu. Maka perahu Rajamala pun menyusuri Bengawan Solo, Sungai Brantas, Laut Utara Jawa sampai ke selat Madura untuk sebuah perayaan cinta. Duh, romantis. Tapi jangan salah, Canthik tersebut juga konon diliputi suasana mistis. Apalagi di ruangan ketujuh tempat diletakkan si Canthik, suasananya memang remang-remang. Ah, saya jadi semakin penasaran ingin melihatnya. 


  • Maket Makam Para Raja

Ruangan kedelapan adalah ruangan terakhir alias ruangan paling belakang. Di sana terdapat maket atau model bangunan makam para raja yang dimakamkan di pemakaman Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Seperti yang kita ketahui bahwa Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta pada awalnya adalah satu tubuh yaitu Kerajaan Mataram yang dipecah pasca perjanjian Giyanti, atas prakarsa VOC. Perjanjian itu disebut-sebut sebagai upaya pelemahan kerajaan Mataram yang saat itu adalah kerajaan terbesar di tanah Jawa, terjadi pada tanggal 13 Februari 1755. Akhirnya, wilayah sebelah timur menjadi milik Paku Buwana dan wilayah sebelah barat menjadi bagian Pangeran Mangkubumi. Tapi mereka dan keturunannya tetap dimakamkan di kompleks pemakaman yang sama.

Maket makam para raja di Imogiri (Sumber: indonesiakaya.com)


Baru menulis ini dan merencanakan berkunjung ke Museum Radya Pustaka saja rasanya sudah luar biasa. Pastinya akan banyak tambahan pengetahuan dan pengalaman yang akan  saya dapatkan. Oh iya, jadwal operasionalnya adalah hari Selasa sampai hari Ahad, mulai pukul 08.30 sampai 13.00 WIB. Menurut info yang saya dapat, HTM-nya cuma lima ribu rupiah. Saya belum tahu apakah di hari ketiga atau keempat lebaran, museum tersebut akan dibuka seperti hari-hari biasa. Semoga saja. 



Salam,








Tulisan ini diikutsertakan dalam program Tantangan #SatuHariSatuKaryaIIDN 

Referensi:
indonesiakaya.com
wikipedia
brilio.com



You Might Also Like

4 comments

  1. Saya suka melihat benda2 bersejarah di museum...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Siiplah... Semoga saya bisa rutin juga ke museum nantinya

      Delete
  2. wah.. sayang banget ya, waktu aku ke solo gak mampir ke sini Mbak... soalnya aku gak tau ada museum sekeren ini.. duhh

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah, kapan2 kalo ke Solo lagi mampir aja, Mbak. Sayang kalo dilewatkan

      Delete