Ayat-Ayat Cinta 2: Saatnya We Time Bareng Afra
- January 11, 2018
- By Tatiek Purwanti
- 2 Comments
Afra dan emaknya mejeng bareng Mas Fahri :D |
Per
tanggal 7 Januari 2018, perolehan penonton film Ayat-Ayat Cinta 2 (AAC 2) sudah
mencapai dua juta lima ratus ribu sekian. Itu adalah sebuah pencapaian yang
sangat bagus untuk ukuran box office film Indonesia. Saya yang menonton AAC 2
pada tanggal 30 Desember 2017 yang lalu ikut menyumbang angka itu, lho :) Maka
rasanya sayang jika acara menonton di bioskop tersebut tidak dikenang di sini.
Apalagi sebelumnya saya juga sudah membaca novel sekaligus meresensinya. Jika
ditambah menonton filmnya, fix
sudah saya sebagai pecinta Fahri, eeh.. gak ding. Saya mah pecinta Hari (nama
misua) :D
Baca
juga: Yang Kedua: Ayat-ayat Cinta dan Anakku
AAC
2 adalah film perdana yang saya tonton sejak terakhir menonton dua tahun-an yang lalu. Lama amat
jaraknya? Iyess… Terakhir saya pergi ke bioskop bersama suami sebelum hamil
dulu, nonton SYTD alias Surga Yang Tak Dirindukan. Lho, Fedi Nuril lagi? Hehe…
bukan Fedi Nuril-nya sebenernya, sih. Menonton itu juga dengan alasan yang
hampir sama dengan AAC 2 yaitu ingin membandingkan antara film dengan novelnya.
Setelah SYTD berlalu, tentu saja saya lebih fokus ke hamil (harus bedrest) dan ngurus baby.
Bioskop udah jadi pilihan kegiatan yang ke sekian. Walaupun sempat ada keinginan
menonton dua film yang pernah saya sebut di blog ini, tapi batal. Hiks…
Kali ini saya menonton AAC 2 berdua saja dengan Afra. Setelah berunding dengan suami, itu jadi pilihan yang terbaik. Menurut suami saya, suara menggelegar di dalam bioskop tidak bagus untuk pendengaran si adek Akmal yang sekarang berusia 17 bulan. Maka suami mengizinkan saya menonton berdua saja dengan Afra dan dia bermain-main dengan Akmal di rumah. Toh cuma sekitar dua jam-an saja berpisah dengan adek, kata suami. Jarak rumah ke gedung bioskopnya sekitar sebelas kilometer-an. Suami saya rela tidak menonton karena menurutnya saya yang lebih tepat menontonnya dan ia merasa cukup dengan membaca novelnya. Yups, saya memang berencana untuk menulis hasil menontonnya di blog. Okelah kalo begitu. Suami saya baik banget, kan?
Difotoin ma Afra :) |
So,
menonton AAC 2 menjadi we time untuk saya dan Afra. Ini juga menjadi momen
pertamanya pergi ke bioskop. Putri saya yang menjelang usia 11 tahun itu memang gemar
menonton film. Tentu saja ia senang sekali diajak ke Mandala 21, gedung bioskop
yang kami tuju. Sebelumnya ia berkali-kali melihat iklan AAC 2 di televisi dan
sangat tertarik ingin menontonnya. Rating usia penonton AAC 2 sebenarnya untuk
13+ dan Afra belum mencapai usia tersebut. Tapi dari segi ‘kematangan’ insya
Allah Afra sudah siap. Bahkan untuk menunjukkan kesungguhannya, Afra juga telah
menamatkan membaca novel AAC 2 setebal 690 halaman dalam waktu empat hari. Tentu
saja ia membaca itu sambil terus bertanya kepada saya tentang berbagai
kosakata yang baru diketahuinya. Anak yang menjelang fase aqil baligh memang perlu pendampingan orang tua tentang hal-hal yang ingin
diketahuinya dan menarik minatnya.
Dapat seat di H8 dan H9 |
Kami
hampir saja kehabisan tiket jika tidak datang sedikit lebih awal. Ekspektasinya
sih kami bisa mendapatkan tempat duduk paling belakang, posisi favorit saya
jika menonton bioskop. Tapi kami harus menerima kenyataan berada di seat nomor
tiga dari depan. Studio 3 tempat diputarnya AAC 2 full pada Sabtu siang itu.
Alhamdulillah, kami bisa nonton dengan nyaman. Sepanjang film diputar, saya
berdecak kagum, berdebar-debar, menangis, tersenyum, dan bertanya-tanya akan
jalan ceritanya. Afra yang duduk di samping saya terlihat juga merasakan hal
yang sama. Nah, inilah hal-hal yang saya rasakan selama saya menonton AAC 2:
- Berdecak kagum
Setting-nya
yang berada di Skotlandia membuat saya mengucap tasbih, indah sekali.
Jadi tahu juga kemegahan Edinburgh itu seperti apa. Btw, sebelum menonton AAC 2
ini saya dan Afra melakukan ‘pemanasan’ dengan menonton film The Water Horse di
rumah. Film lawas tersebut juga mengambil setting di Skotlandia dengan panorama
danau dan desanya yang memesona.
- Berdebar-debar dan menangis
Sound
effect-nya yang mantap membuat sebuah scene di Gaza, Palestina seperti
sungguhan. Suara bom yang meledak seakan berada di ruangan itu, spontan air
mata saya menetes. Perang dan penjajahan selalu menorehkan pilu. Semoga
Palestina segera merdeka, seperti kata Fedi Nuril pada cover twitter-nya: “From
the river to the sea, Palestine will be free”.
Btw, Afra
sendiri punya tiga buku komik tentang anak-anak Palestina karya Fatharani
Yasmin yang isinya bagus dan mendidik. Ditambah dengan membaca novelnya, ia
cukup paham mengapa Aisha harus pergi ke Palestina sebagai relawan.
- Tersenyum dan Lega
Ada adegan bercanda antara Hulusi dan Misbah yang membuat saya tersenyum, Afra pun
bereaksi yang sama. Lalu saya merasa lega dengan penjelasan Fahri tentang alasannya
menolong nenek Catarina yang seorang Yahudi. Menurutnya, yang harus ditentang
itu paham Zionisme-nya, bukan ras-nya apalagi orang per orangnya. Sebuah narasi
tentang perdamaian yang cocok dengan kondisi saat ini. Ada tambahan
pembelajaran bagi Afra bahwa orang baik dan salih pun tetap bisa bertoleransi
dengan sesamanya.
Doktor Fahri sedang mengajar (Sumber: OST AAC 2) |
- Bertanya-tanya
Salah satu
yang ingin saya tonton adalah adegan debat ilmiahnya. Di novel ada dua momen
debat yaitu di Edinburgh dan di Oxford. Sayang sekali hanya ada sesi debat di
Edinburgh dan menurut saya itu kurang panjang durasinya. Yups, salah satu
sumber ilmu di novelnya berada pada bab debat ilmiahnya. Pas baca novelnya, di
bagian ini juga Afra banyak sekali pertanyaannya.
Sosok Sabina menurut saya juga kurang parah tingkat kerusakan wajahnya dan seharusnya suaranya juga rusak. Jika ‘masih cantik’ seperti di filmnya, sangat wajar banyak penonton yang berkomentar mengapa Fahri sampai tidak mengenali istrinya sendiri.
Tak ada gading yang tak retak. Tak ada karya yang benar-benar sempurna. Dan karena ini bukan review, saya tidak bermaksud menguliti isi filmnya. Termasuk tentang sosok Fahri yang terlalu sempurna digambarkan di dalam film ini. Iya sih, saya sendiri belum pernah bertemu orang sebaik Fahri seumur hidup. Lha, siapa saya yang hanya menginjak secuil bumi? Hehe… Tapi bukan berarti sosok seperti itu tidak ada di belahan lain bumi ini. Mungkin ada tapi kita eh.. saya tidak tahu dan tidak kenal orangnya.
Btw, sebenarnya ada satu adegan yang jleb buat saya. Adegan ini menunjukkan bahwa sebenarnya Fahri juga ada sisi rapuh dan galaunya. Yaitu saat ia selesai salat dan justru meminta nasihat dari Misbah. Inti nasihatnya adalah semua kebaikan bisa tidak bernilai jika tidak ikhlas karena Allah. Nah...
Fahri saat meminta nasihat Misbah (Sumber: OST AAC 2) |
Sosok yang
baik dan penuh teladan adalah salah satu yang ingin saya perkenalkan kepada
Afra. Seperti buku-buku anak yang tuntas dibacanya yang selalu mengenalkan pada
nilai kebaikan, maka saat usianya bertambah ia tetap butuh pelajaran itu. Maka
menonton AAC 2 bareng Afra jadi salah satu sarana saya mempraktikkan
pendampingan pada anak usia 11-15 tahun atau pra aqil baligh menurut teori
Fitrah Based Education (FBE).
Tokoh baik yang perlu dikenalkan pada anak ada pada poin 5 (Sumber: Harry Santosa, FBE) |
Alhamdulillah,
selesai menonton kami mampir sebentar ke toko buku di dekat situ. Afra tentu
saja gembira karena koleksi bukunya bertambah, bekal untuk keesokan
harinya. Ya, menjelang pergantian tahun kami sekeluarga memilih untuk berada di
rumah saja. We time sudah, family time pun menunggu.
Salam,
2 comments
Mbak, saya baru mau nonoton minggu depan bareng ibu-ibu tetangga..Kalau film genre begini seringnya kelewatan nonton. Karena nonton itu di rumah artinya family time, jadi film anak-anak..Emak Bapak ngikuuut! kwkwkw
ReplyDeleteSaya setuju, apapun review yang menyatakan Fahri terlalu sempurna bla bla bla..bagi saya sah-sah saja..Fiksi gitu lho, yang penting pembelajaran apa yang bisa dipetik dari filmnya.
Semoga masih tayang ya, Mbak. Kalo saya milih akhir tahun kemarin karena misua liburnya panjang, Afra juga masih liburan.
DeleteAda 3 review dari mbak2 blogger yang saya baca. Ada benarnya tapi juga banyak terlalunya, hehe. Mungkin karena ada perbedaan genre favorit. Yo wis lah, sah-sah saja. Alhamdulillah, saya kelar menemani Afra 'belajar' di bioskop. Yups, nilai kebaikannya yang paling saya sorot sih.