Motor untuk Remaja, Seberapa Perlunya?

PhotoGrid_1508298696723

Suatu pagi di bulan kemarin, terdengar teriakan loper koran menghiasi heningnya kampung saya. Ia menjajakan dagangannya dan menyebut sebuah peristiwa. Saya hapal, jika sampai loper koran masuk ke kampung seperti itu artinya ada kejadian ‘penting’ menyangkut penduduk di sekitar saya. Beberapa waktu sebelumnya saat terjadi kasus pedofilia yang menimpa anak kampung sebelah, si loper juga melakukan hal serupa. Nah, kalau sekarang ada kasus apa?

Semakin dekat, suara si loper semakin jelas terdengar. Akhirnya saya paham bahwa ia sedang menyebut peristiwa kecelakaan yang menimpa cucu tetangga saya di ujung kampung sana. Walaupun saya sudah mendengar kronologinya dari mulut ke mulut, rasanya akan lengkap jika saya juga tahu liputan jurnalistiknya. Maka koran lokal Malang itu pun segera berpindah ke tangan saya setelah saya membayarnya. Si loper berlalu dengan riang, saya mulai mencari-cari berita yang dimaksud.

“Laka Tunggal, Satu Tewas”. Begitu judul berita di halaman 19 yang memuat peristiwa cucu tetangga saya itu. Saya menghela napas, lagi-lagi peristiwa kecelakaan karena motor yang menimpa remaja. Ya, cucu tetangga saya yang berusia 17 tahun itu mengalami luka serius sehingga harus dirawat di UGD Puskesmas kecamatan sebelah. Sementara teman akrabnya yang masih berusia 14 tahun harus kehilangan nyawa, meninggal di tempat kejadian karena cedera di kepala. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Sehari sebelumnya, ia membonceng temannya dan tidak dapat mengendalikan laju motornya sehingga menabrak pembatas tengah jalan raya. Teman yang diboncengnya itu terlempar dan kepalanya terbentur dengan keras.

Mengutip laman otomania.gridoto.com pada Oktober tahun lalu, remaja adalah kelompok umur yang paling sering mengalami kecelakaan lalu lintas. Disebutkan bahwa rentang usianya adalah antara 15-19 tahun dengan mengendarai kendaraan beroda dua atau sepeda motor. Kombes Pol, Korlantas Polri, Unggul Sedyantoro mengatakan, "80 persen kecelakaan sepeda motor, terlibat jenisnya paling banyak adu banteng. Selain itu, karena kurang sempurna saat ingin mendahului, dan kurang waspada saat manuver." Menurutnya, itu adalah gambaran masih buruknya cara berkendara dan perlu ada pembinaan.

Menurut pengamatan saya, ada beberapa hal yang menyebabkan remaja tergoda atau bahkan keranjingan naik motor. 

1. Pengaruh lingkungan

Pada awalnya, mungkin si remaja tenang-tenang saja dibonceng motor oleh orang tuanya. Tapi bisa jadi ia tergiur untuk memiliki motor sendiri saat menyaksikan teman-temannya berseliweran menaiki si kuda besi. Enggak bisa naik motor? Enggak gaul, dong!

2. Jarak Sekolah yang Jauh

Sudah lazim saya saksikan remaja yang duduk di bangku SMP pun berani ke sekolah dengan naik motor sendiri. Jarak yang tidak mungkin ditempuh dengan jalan kaki menjadi alasannya. Angkot banyak juga, sih. Tapi ngetem-nya itu lho. Mana tahan!

3. Pembiaran Orang Tua

Mungkin maksud para orang tua yang membiarkan anaknya berkeliaran sendiri dengan motornya adalah agar si anak mandiri. Malu dong, udah gede kok diantar enyak-babe 😅

4. Mager alias Malas Gerak

Pernah saya berpapasan dengan seorang anak muda yang mengendarai motor menuju deretan toko di pinggir jalan. Jawabnya: ingin membeli pulsa. Padahal jarak rumahnya dan toko tersebut kira-kira 300 meter saja. Saya yang sedang berjalan kaki hanya geleng-geleng kepala.

5. Terpaksa

Ada kalanya si remaja terpaksa mengendarai motor karena berada dalam kondisi darurat. Misalnya: ia harus menjadi tulang punggung keluarga lalu berdagang ke tempat-tempat jauh dengan menaiki motor bututnya.

Lalu Sebaiknya Bagaimana?

Dari keseluruhan alasan yang saya sebutkan di atas, harus kita kembalikan dulu kepada peraturan yang berlaku. Bukankah syarat seseorang untuk berkendara itu harus memiliki SIM? Jika tidak memilikinya tetapi berani berlaga di jalan raya, kesimpulannya jelas: ia salah.

Saya masih ingat saat masih bekerja dulu, ada razia yang ditujukan untuk remaja di bawah umur yang saat itu berlalu lalang di jalan raya dengan motor mereka. Saat itu tengah marak berita tentang anak artis yang masih remaja yang menabrak orang dengan mengendarai mobilnya. Hmm, biasanya jika ada kejadian barulah ada tindakan. Seharusnya razia seperti itu rutin dilakukan, bukan? Hingga saat ini saya masih sering melihat anak-anak berseragam SMP berseliweran dengan motor mereka di jalan raya. Bebas-bebas saja. Saya kira, mereka belum berusia 17 tahun, deh.

Anjuran seorang kepala daerah agar anak disekolahkan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari rumah bisa menjadi pertimbangan orang tua. Juga ada yang meyediakan bus sekolah gratis sebagai sarana pergi ke sekolah. Kedua kebijakan itu bisa meminimalisir kemungkinan remaja menuju sekolahnya dengan bermotor ria. Tentu saja tidak ada larangan bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya dimana saja. Tapi jika akhirnya jarak sekolahnya jauh dan masih duduk di tingkat SMP, sebaiknya orang tua bersedia mengantar jemputnya. Memakai angkot atau bus sebenarnya juga masih jadi pilihan andalan. Beberapa anak tetangga saya tetap memilih ‘cara konvensial’ itu dan sejauh ini mereka oke-oke saja.

Mengendarai motor tidak hanya sekedar menggeber gas, tapi juga ada rem yang harus difungsikan maksimal. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala tiap kali disalip oleh si remaja yang kencang sekali mengendarai motornya. Wuzzz… bablas angine! Maka jika angka kecelakaan pada remaja masih tinggi, tidakkah itu karena kontrol emosi mereka yang belum matang? Jika merujuk pada konsep aqil baligh yang merupakan tugas orang tua, seharusnya remaja sudah mencapai aqil-nya saat baligh-nya tiba. Jika akalnya belum matang atau belum sempurna, jangan coba-coba melepasnya sendirian di jalan raya. Tidak hanya membahayakan diri si remaja tapi juga orang lain di sekitarnya.

Semoga kita sebagai orang tua bisa menjadi lebih bijaksana dengan melihat fenomena ini. Sebagaimana pisau yang bermanfaat tapi juga bisa menyayat, maka membiarkan anak remaja bermotor belum tentu akan terlihat hebat. Berikan izin pada anak remaja kita di saat yang tepat. Sebelum kita menyesal dan semuanya terlambat.


Salam orang tua bijak,

Tatiek Purwanti
⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪

#ODOPOKT16

Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia



Referensi:

https://otomania.gridoto.com/read/038173/remaja-paling-sering-kecelakaan-lalu-lintas

You Might Also Like

4 comments

  1. Di dalam komplek perumahan saya ada sekolah SMP dan SMK. Dan itu banyak sekali yang bawa motor sendiri. Dan saat bubaran..hadeh, kebut-kebutan, parkir sembarangan, jarang yang pakai helm, ..beberapa kali warga protes ke pihak sekolah, katanya sudah dikasih himbauan. Bukan larangan. Yang heran juga, ortunya itu kok ya tega yaaa..Padahal mereka kebanyakan bukan usia yang sudah punya surat ijin mengemudi. :(

    Padahal, saya: anak bonceng motor pakai helm, naik mobil pakai seatbelt dan harus duduk di belakang, sampai cukup umur (aturan internasional umur 13 tahun)...Idealis memang kelihatan, tapi karena kami pernah tinggal di negara yang menjunjung tinggi aturan keselamatan berkendara, ya mencoba patuh untuk kebaikan sendiri:)

    ReplyDelete
  2. Ow kalo aturan internasional 13 tahun ya, Mbak?
    Nah, saya dukung mbak Dian tuk jadi ojek cantik deh 😊 Insya Allah saya susul kalo si kakak udah SMP nanti.
    PR besar memang persoalan motor ini. Mana kreditnya mudah sekali saat ini 😅

    ReplyDelete
  3. Miris juga bacanya :(. Semoga kesadaran dan kepedulian masyarakat semakin meningkat ya, Mbak. Bukan lagi membenarkan yang biasa, tapi harus membiasakan yang benar.

    ReplyDelete
  4. Aamiin. Iya, Mbak. PR besar di sekitar kita, nih.

    ReplyDelete