Tentang Sejarah dan Kerinduan: Kakekku Pahlawan
- October 03, 2017
- By Tatiek Purwanti
- 5 Comments
Selain ayah, biasanya sosok kakek menjadi laki-laki paling berpengaruh dalam hidup kita. Dalam perhitungan mahram sudah jelas, bahwa jika seorang ayah tidak bisa menjadi wali bagi pernikahan putrinya, (meninggal atau tidak diketahui rimbanya) maka orang pertama yang berhak menjadi walinya adalah sang kakek. Bahkan dalam shirah Rasulullah, sosok Abdul Muthalib selalu disebutkan sebagai kakek yang penyayang. Keberadaan Abdul Muthalib amat penting bagi tumbuh kembang seorang anak yatim piatu seperti beliau.
Besok, tanggal 3 Oktober, menjadi momen yang mengingatkan saya pada almarhum kakek. Nama beliau Atmo Pawiro, khas nama seorang laki-laki Jawa. Kami, cucu-cucunya, memanggil beliau dengan sebutan Mbah Kakung. Beliau sudah berpulang ke rahmatullah pada tanggal 2 Januari 2013 yang lalu. Lalu kenapa justru tanggal esok hari yang mengingatkan saya pada beliau?
Tak lain karena tanggal 3 Oktober 1943 adalah hari lahir tentara PETA atau tentara Pembela Tanah Air. Tentunya kita masih ingat bahwa PETA atau Kyodo Boei Giyugun adalah kesatuan militer bentukan Jepang yang bertujuan untuk menghalau serangan tentara sekutu. Dan kakek saya yang berasal dari Blitar itu dulunya adalah salah satu anggota tentara yang menjadi cikal bakal TNI itu.
Masih ingatkah teman-teman tentang peristiwa pemberontakan PETA di Blitar pada Jepang yang dipimpin oleh Shodancho Supriyadi? Perlawanan itu dipicu tindakan sewenang-wenang Jepang pada para Romusha atau pekerja paksa yang dikerahkan untuk membangun benteng pertahanan. Juga perlakuan biadab mereka pada para wanita yang ditangkap dan dijadikan Jugun Ianfu atau pemuas seks tentara Jepang :’(
Tercatat dengan tinta emas sejarah bahwa pada tanggal 14 Februari 1945 pukul 03.00 WIB, pasukan Supriyadi menembakkan mortir ke Hotel Sakura yang menjadi kediaman para perwira Jepang. Markas Kenpetai juga ditembaki senapan mesin. Tapi ternyata aksi itu tidak membuahkan hasil karena Jepang telah mencium rencana itu sebelumnya. Kedua tempat yang dijadikan sasaran serangan itu sudah tak berpenghuni.
Walaupun akhirnya sebanyak 78 orang perwira PETA berikut anak buahnya ditangkap dan dipenjara, aksi itu tetap meninggalkan kenangan akan gigihnya sebuah perjuangan. Motto PETA semula adalah "Indonesia Akan Merdeka”. Sebuah poster bertuliskan itu tertempel gagah. Tapi salah seorang bhudancho (bintara PETA) merobek poster tersebut dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia Sudah Merdeka!”. Sungguh heroik dan menggetarkan jiwa.
Walaupun akhirnya sebanyak 78 orang perwira PETA berikut anak buahnya ditangkap dan dipenjara, aksi itu tetap meninggalkan kenangan akan gigihnya sebuah perjuangan. Motto PETA semula adalah "Indonesia Akan Merdeka”. Sebuah poster bertuliskan itu tertempel gagah. Tapi salah seorang bhudancho (bintara PETA) merobek poster tersebut dan menggantinya dengan tulisan “Indonesia Sudah Merdeka!”. Sungguh heroik dan menggetarkan jiwa.
Memang tidak semua tentara PETA diterjunkan dalam gerakan perlawanan itu, termasuk kakek saya yang selamat dari pengejaran Jepang. Setelah PETA dibubarkan pada tanggal 18 Agustus 1945, kakek saya melanjutkan hidupnya sebagai petani. Ya, berjuang di ranah yang sebenarnya tak kalah menantang. Karena beras dan beraneka hasil bumi yang dihasilkan dari sawah beliau yang luas itu telah ikut berkontribusi dalam penyediaan pangan lokal. Bukankah profesi petani itu juga berpeluang besar mendulang pahala sedekah saat burung-burung mencicipi tanamannya?
Pahlawan memang tidak selalu gugur di medan perang. Pun kakek saya yang menghadap Tuhannya di atas tempat tidur rumah sakit, berpuluh tahun kemudian setelah Indonesia merdeka. Beliau tetaplah pahlawan bagi keluarga besar kami. Sosoknya yang penyabar adalah penyeimbang yang tepat untuk nenek saya yang cenderung ceplas-ceplos. Kegigihan beliau sebagai kepala keluarga dalam menafkahi istri serta kedelapan anaknya adalah contoh keteladanan yang nyata. Beliau pun akhirnya tetap digelari sebagai veteran seperti eks pejuang kemerdekaan yang lainnya.
Monumen PETA di Blitar |
Jangan melupakan sejarah. Kalimat itu akrab di telinga kita sebagai peringatan agar kita tidak melupakan masa lalu dan belajar dari hikmahnya. Bung Karno pernah berkata pada pidato terakhirnya di tahun 1966, ”Jas merah alias jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Pada sejarah kita belajar tentang masa lalu yang indah. Manis dan pahitnya adalah pelajaran berharga. Terapkan saja rumus dasarnya pada zaman kita. Niscaya hasil akhirnya akan mendekati sama.
Maka mengingat kakek saya adalah mengingat sebagian sejarah perjuangan bangsa Indonesia sekaligus sejarah hidup beliau sendiri. Sebagaimana Maia Estianty yang membanggakan kakek buyutnya, Haji Omar Said Tjokroaminoto, maka saya pun bangga atas kiprah kepahlawanan kakek saya.
Kami merindukanmu, Mbah Kakung. Semoga Allah Ta’ala menerima segala pengorbanan dan amal ibadahmu serta mengampuni segala dosamu. Aamiin.
Salam cinta pada sejarah,
Tatiek Purwanti
⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫⚪⚫
#ODOPOKT1
Tulisan ini diikutsertakan dalam program One Day One Post Blogger Muslimah Indonesia
5 comments
Teringat almarhum kakek juga jadinya... mendengar kisah perjuangan membuat kita sadar betapa kesusahan zaman dulu itu nyata dan kemerdekaan sebagai hasilnya sungguh harus dipertahankan.
ReplyDelete"Pada sejarah kita belajar tentang masa lalu yang indah. Manis dan pahitnya adalah pelajaran berharga. Terapkan saja rumus dasarnya pada zaman kita. Niscaya hasil akhirnya akan mendekati sama."
ReplyDeleteSetujuuu...! Jadi nggak perlu perdebatan panjang, apalagi saling tendang ...Karena dari sejarah kita belajar menjadi lebih baik lagi.
Betuuuul, Mbak. Belajar dari sejarah berarti belajar dari pengalaman. Sisi negatifnya ya dibuang saja, yang bermanfaat diambil dan diterapkan. Mekaten 😊
DeletePerjuangan Kakeknya sangat luar biasa, mba. Bangga yah menjadi salah satu keluarga pelaku dan saksi sejarah
ReplyDeleteIzin untuk referensi nulis ya mbak..
ReplyDelete